Rekor nasional: 10,17 detik.
Moh Zohri: 10.18 detik.
Berarti Zohri perlu lebih cepat 0,01 detik lagi. Untuk bisa menyamai kecepatan Suryo Agung Wibowo. Pemegang rekor nasional asal Solo itu.
Tapi Zohri sudah sangat hebat. Juara dunia lari 100 meter. Di Tampere, Finlandia. Tanggal 11 Juli barusan. Untuk kategori umur di bawah 20 tahun.
Video Zohri pun viral. Dengan cepat. Ke seluruh negeri. Anak miskin dari Lombok, NTB, ini top. Berhasil mencuri perhatian. Di tengah heboh piala dunia sepakbola.
[embed]https://twitter.com/twitter/statuses/1017162218662715392[/embed]
”Saya mencapai rekor 10,17 saat umur saya 26 tahun,” ujar Suryo Agung Wibowo kepada Suhendrik yang saya tugasi untuk Disway.
Suhendrik adalah wartawan olahraga Bandung Ekspres. Yang kenal Suryo. Saat Suryo sudah pindah jalur: dari lari ke sepakbola. Bermain sebagai penyerang untuk klub Persikab Bandung. Tahun 2014.
Suryo kini berumur 34 tahun. Tempat tinggal: Bintaro, Tangerang Selatan. Anak: dua orang. Pekerjaan: staf di Kemenpora.
”Sebelum Zohri berangkat ke Finlandia saya sempat bertemu. Saya banyak bicara dengan ia,” kata Suryo.
Nasehat utama yang diberikan Suryo ke Zohri: konsentrasi pada diri sendiri. Jangan pedulikan sekitar. Jangan pedulikan pelari lain. Jangan pedulikan omongan orang.
Pelari itu ternyata seperti pembalap: lebih banyak berlomba dengan diri sendiri.
Rekor nasional Suryo itu belum ada yang memecahkan. Sampai sekarang. Padahal Suryo mencapai 10,17 detik itu di tahun 2009. Hampir sepuluh tahun. Baru anak Lombok ini yang berhasil mendekatinya. ”Saya yakin Zohri akan mengalahkan saya. Dalam waktu dekat,” kata Suryo.
Zohri kini baru berumur 18 tahun. Tapi tinggi badannya sudah menyamai Suryo: 170 cm. Tentu Zohri masih bisa tumbuh. Bisa 172-175 di puncak pertumbuhannya nanti.
”Dengan tungkai yang lebih panjang Zohri akan mencapai jarak lebih jauh dari langkah saya,” ujar Suryo. Tinggal tehnik larinya. Dan latihannya. Dan gizinya. Dan mental juaranya.
Itulah sebabnya Pemda NTB memberikan tempat tinggal. Di asrama atlet di Mataram. Agar bisa terus latihan lari yang benar.
Zohri sudah jarang pulang ke desanya. Yang miskin itu. Ibu-bapaknya sudah meninggal. Di rumah tidak ada orang lagi. Dua kakaknya sudah berkeluarga. Sudah punya rumah masing-masing.
Kedua kakaknya itu juga sudah bekerja: di pulau Gili Trawangan. Di daerah wisata terkenal itu. Di seberang pantai Senggigi.
Dari hasil kerjanya itu kedua kakak Zohri punya kehidupan lebih baik. Bisa membangun rumah masing-masing. Persis di sebelah rumah orang tua mereka.
Tinggal Zohri yang mewarisi rumah itu: sebuah rumah yang dindingnya anyaman bambu. Bolong-bolong. Nyaris reot. Di rumah itulah Zohri lahir, tumbuh dan menjadi remaja.
Danrem Lombok sudah meninjau rumah itu. Sudah akan merehabnya. Dan, kalau Zohri setuju, boleh masuk TNI. Tanpa tes. Serta tetap bisa terus jadi atlet lari.
[caption id="attachment_18844" align="alignleft" width="506"] Suryo Agung Wibowo[/caption]
Suharli, wartawan olahraga Lombok Pos yang saya minta mewawancarai beberapa pihak di NTB sudah dua kali ke rumah Zohri. Arahnya: kita ke Senggigi dulu. Terus ke utara. Sekitar 40 menit. Dengan sepeda motor. Ketemulah desa Pemenang.
Di desa itulah Zohri sekolah. Ternyata selama di SD belum kelihatan bakat lari Zohri. Ia tidak suka atletik.
Tamat SD Zohri masuk SMP. Di desa yang sama. Sampai kelas dua pun belum tampak: minatnya pada atletik.
Baru di kelas 3, Bu Rosida, guru olahraga di SMPN 1 Pemenang ‘menemukannya’. Alumni IKIP Mataram ini kadang sabar. Kadang juga keras. Dalam menghadapi Zohri.
Awalnya, kata Bu Rosida, Zohri itu menjengkelkan. Ia tidak mau ikut pelajaran olahraga: karena pakai aturan-aturan. Sesuai dengan proses di kurikulum olahraga.
Maunya Zohri: langsung saja ke olahraganya. Dan itu berarti sepakbola. Ia memang seperti Suryo. Suka sekali sepakbola.
[irp posts="18819" name="Miskin Harta Namun Kaya Prestasi, Itulah Lalu Muhammad Zohri"]
Tapi, sebagai siswa, Zohri harus ikut dasar-dasar olahraga ini: trilomba. Tolak peluru, lempar cakram/lembing dan lari 100 meter.
Saat itulah Bu Rosida tahu: untuk lari Zohrilah juaranya.
Maka ketika ada kejuaraan kabupaten bu Rosida tidak perlu lagi melakukan seleksi. Langsung tunjuk Zohri.
Sejak itulah bu Rosida jadi pembina Zohri. Sampai tamat SMP. Menjuarai kejuaraan daerah lari 100 meter. Tanpa sepatu. Kaki telanjang. Nyeker.
Setelah jadi juara daerah itulah Zohri diminta pindah: ke ibukota NTB. Untuk sekolah di SMAN II Mataram: tinggal di asrama atlet.
Di SMA inilah Zohri sangat menonjol. Sudah menyadari bahwa dia calon bintang.
Ia juga diminta membiasakan diri pakai sepatu. Tapi saat lomba pertama Zohri kalah: karena pakai sepatu. Lalu ia copot sepatunya. Untuk penampilan berikutnya: juara.
Saat umur 16 tahun tingginya 167 cm. Catatan waktunya: 11,12 detik (Kejurda).
Umur 17 tahun, tingginya 169. Catatan waktunya: 10,27 (di Popnas).
Umur 17 tahun, tinggi 169, catatan waktu sama: 10,27 (di kejuaraan Asia junior di Jepang).
Umur 18, tinggi 170, catatan waktunya: 10,18 detik. (Di Finlandia kemarin itu).
Besok Zohri kembali dari Tampere. Kota yang indah 160 km di utara Helsinki. Dengan medali emas internasional di lehernya.
Ia juga memasuki tahun pelajaran baru: naik ke kelas tiga SMA.
Kita monitor terus: kapan Zohri bisa mengalahkan rekor Suryo Agung Wibowo. Yang tinggal 0,02 detik lagi.
Tahun depan?
Tahun depannya lagi?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews