Tentang "Bullying" dan "Being Bullied"

Kamis, 12 Juli 2018 | 06:48 WIB
0
833
Tentang "Bullying" dan "Being Bullied"

Sejak wawancara wartawan terkemuka Desi Anwar dengan saya di Metro TV tahun 2012, di mana saya membuka diri sebagai pengidap Tourette & Asperger’s Syndrome, banyak orang tua telah mengirim pertanyaan ke saya tentang kemungkinan anak mereka mengidap sindrom yang sama.

Sejak itu saya telah bertemu puluhan orangtua beserta anaknya, dimana saya bisa bertukar pikiran & pengalaman. Saya bukan ahli autisme dan Asperger’s Syndrome karena sindrom itu sangat kompleks, jadi mereka dan saya sama2 belajar dari tukar pengalaman ini.

Ada satu hal yang menjadi satu paket dengan sindrome di atas, yaitu “bullying” (“perundungan” adalah istilah yang baru saya temukan dari berita di Media Indonesia. Baca juga wawancara saya dengan mereka di sini  dari teman-teman sekelas mereka. Siapapun pengidap sindrom dari spektrum autisme pasti akan dianggap “aneh”, sehingga menjadi sasaran empuk untuk perundungan.

Merundung dan dirundung adalah bentuk pelecehan yang menoreh luka yang mendalam pada jiwa seseorang. Banyak anak-anak bahkan teman masa kecil yang telah menjadi dewasa masih suka bermimpi buruk baik sebagai korban ataupun keinginan untuk merundung seseorang sebagai sarana untuk menunjukkan superioritas mereka dalam situasi yang dirasakan menuntut mereka yang berasal dari rasa rendah diri mereka.

Saya baru tahu setelah saya lulus sekolah, bahwa para perundung juga mengalami penderitaan, sehingga mereka butuh melakukannya.

Itu sebabnya saya memaafkan mereka yang telah melakukannya ke saya waktu saya masih kecil/remaja. Bahkan saya melihat banyak kasus, korban perundungan (yang ‘survive’ tentu saja) bisa lebih tegar dalam meniti karir dan kehidupan kita, sehingga kelihatannya banyak yang lebih sukses.

Paling tidak, saya melihat mereka yang dulu melakukannya ke saya, ada beberapa yang ternyata tidak terlalu sukses, paling tidak dalam karir mereka.

Tidak ada yang bisa terbiasa/menyesuaikan diri dengan baik memori perundungan ini dalam kehidupan dewasa. Trauma dan efeknya tetap bersama kita selamanya.

Namun saya percaya kita bisa dengan tulus dan penuh kasih membantu seorang perundung atau korban perundungan untuk berdamai dengan dirinya sendiri, bukan dengan melecehkan atau menghakiminya tetapi dengan mendengarkan keluhan mereka dan menerima cerita mereka dengan apa adanya.

Memang hal itu tidak akan secara instan “menyembuhkannya”, tapi cara kita itu diharapkan akan membantu mereka mengurangi (bukan melupakan, karena itu hal yang mustahil) trauma atas apa yang terjadi pada mereka dan membuat memori kejadian itu menjadi tidak terlalu menyakitkan dalam kenangan mereka.

Jika seseorang terus menerus menjadi korban, ia akan dipenuhi rasa malu atau rendah diri. Jika ia (terlalu) sensitif, rasa malu itu akan membuatnya menyalahkan dan akhirnya menyerang diri mereka sendiri, bahkan sampai bunuh diri.

Jadi, bahkan jika anda tidak menyadarinya, perundung di masa kanak-kanak telah mengubah hidup mereka yang jadi korbannya … dari karier hingga hubungan antar manusia sampai usia lanjut, bahkan selamanya.

***

Ananda Sukarlan