Wajah Asian Games dan Asian Games yang Mengubah Wajah Jakarta

Senin, 9 Juli 2018 | 08:26 WIB
0
763
Wajah Asian Games dan Asian Games yang Mengubah Wajah Jakarta

Wajah Ibukota Jakarta yang Anda saksikan sekarang bisa seperti ini sesungguhnya karena Asian Games -pesta olahraga bangsa-bangsa Asia itu.

Saat hendak membeli satu rumah tua di daerah Tebet, Jakarta Selatan, sepuluh tahun lalu, saya kaget disodori dokumen oleh pemilik rumah lama. Bukan sertifikat hak milik, bukan juga girik. Ia menyebutnya Surat Asian Games. Untuk ditingkatkan statusnya menjadi sertifikat, notaris harus datang ke Sekretariat Negara, lalu ke badan pertanahan.

Akhirnya saya tahu, penduduk awal Tebet ini, adalah warga pindahan dari kawasan sekitar Senayan, Jakarta Pusat.

Mereka dipindah di sekitar tahun 1960 saat Indonesia tengah menyiapkan diri menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, karena Senayan dan kampung di sekitarnya akan diubah menjadi kompleks olahraga.

Ya, Asian Games yang digelar 56 tahun silam itu telah mengubah wajah Jakarta.

Syahdan, baru beberapa tahun merdeka dari penjajahan, Presiden Soekarno telah percaya diri mengajukan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV, dan terpilih setelah mengalahkan Pakistan dalam pemungutan suara di Komite Olimpiade Internasional.

Presiden Soekarno segera menyiapkan proyek raksasa. Sang proklamator datang ke Sovyet meminta bantuan dan memperoleh pinjaman 10,5 juta dolar AS -- hutang yang kemudian dibayar lunas dengan karet alam dalam tempo dua tahun.

Kawasan olahraga di Jakarta Pusat pun dibangun. Warga dari empat kampung, Petunduan, Senayan, Kebun Kelapa dan Bendungan Hilir, dipindahkan ke kawasan baru Tebet dan Slipi.

Awal tahun 1960, Soekarno sendiri yang meletakkan batu pertama pembangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno. Masa persiapan menyambut Asian Games itu hanya dua tahun, maka pembangunan dikebut. Sebanyak 14 insinyur Indonesia dan 12.000 pekerja sipil dan militer bekerja siang dan malam bergantian dalam tiga shift.

Hanya dalam 2,5 tahun Indonesia berhasil membangun kompleks olahraga terbesar di Asia Tenggara kala itu dengan Stadion Utama berarsitektur “temu gelang” untuk sepak bola yang bisa menampung 100.000 penonton. Di dalam kompleks ini juga dibangun Istana Olahraga (Istora), Stadion Renang, Stadion Madya, Stadion Tenis, dan Gedung Basket.

Bukan hanya stadion dan gedung olahraga, tapi juga infrastruktur lain. Tak jauh dari Senayan, ada daerah berupa rawa-rawa yang kemudian disulap menjadi jembatan sepanjang 1.509 meter dan lebar 30 meter, yang menghubungkan jalan utama dari Slipi ke Cawang, dari kawasan istana ke arah selatan. Jembatan itu begitu cantik, melingkar membentuk helai daun paku air semanggi, maka Soekarno menyebutnya Jembatan Semanggi.

Untuk penginapan tamu terhormat yang akan datang, Indonesia membangun Hotel Indonesia yang berlantai 15, dan ruas jalan di depannya -kini Jalan M.H. Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman- diperlebar. Tepat di seberang hotel baru itu, didirikan tugu dengan dua patung manusia yang tengah melambai di puncaknya: Tugu SelamatDatang, untuk menampilkan sambutan hangat bagi para atlet dan tamu yang hendak datang ke Jakarta, yang umumnya datang dari arah Bandara Kemayoran.

Untuk urusan publikasi, pemerintah membangun stasiun televisi di sisi barat Senayan, dan kini dikenal sebagai Stasiun TVRI dengan menaranya yang ikonik itu.

Tahun 1962 itu, wajah Jakarta benar-benar berubah. Kata Presiden Soekarno: “Jikalau saya hubungkan, Asian Games dengan negara, dengan bangsa, dengan Tanah Air, dengan gengsi Indonesia, saya melihat hubungan yang amat erat sekali.

Dan, kita semuanya harus mengangkat gengsi Indonesia, mengangkat nama Indonesia, mengangkat prestise Indonesia. Jikalau Asian Games berjalan dengan sebaik-baiknya, gengsi dan nama Indonesia naik setingkat lagi. Jikalau Asian Games gagal, tidak baik, tidak sempurna, nama Indonesia hancur lebur dipandang dunia seluruhnya.”

Persiapan selama dua setengah tahun itu menuai sukses, bukan hanya stadion dan infrastruktur, tapi juga prestasi. Diikuti 12 negara Asia, pesta olahraga Asian Games IV di tahun 1962 itu menempatkan Indonesia di peringkat kedua di bawah Jepang dengan perolehan 21 emas, 25 perak dan 30 perunggu. Pelari Indonesia, Sarengat, menjadi pelari tercepat dan memecahkan rekor Asia.

Begitulah. Baru 56 tahun kemudian, Indonesia kembali menjadi tuan rumah Asian Games. Pembukaannya 18 Agustus mendatang, hanya tinggal sebulan.

Membawa semangat Bung Karno dulu itu, Indonesia kembali menggeber pembangunan di Jakarta dan Palembang, dua kota tuan rumah Asian Games XIII. Kompleks olahraga Senayan bersolek habis-habisan dan kini tampil lebih modern.

Di sisi luar Jembatan Semanggi, melingkar satu jembatan baru, Simpang Susun Semanggi, dengan pernik lampu warna-warni di sekujur gelagarnya yang indah dipandang di malam hari.

Jalur kendaraan Jalan M.H. Thamrin dan Sudirman dipersempit, tapi trotoar untuk para pejalan kaki sedang diperlebar. Sepuluh bangunan menara apartemen sudah berdiri di Kawasan Kemayoran.

Begitulah. Asian Games digelar sebulan lagi. Ribuan atlet akan datang. Olahragawan kita akan turun gelanggang, bertarung atas nama bangsa.

Dan saya menikmati berubahnya Kota Jakarta.

***

Tebet, 8 Juli 2018