Perempuan-perempuan Panggung yang Memalukan

Selasa, 3 Juli 2018 | 11:22 WIB
0
962
Perempuan-perempuan Panggung yang Memalukan

Pada masanya, atau pada mulanya tepatnya: Neno Warisman dan Ratna Sarumpaet adalah perempuan panggung. Neno tidaklah pernah tercatat sebagai penyanyi yang benar-benar sukses. Hits lagunya tidak banyak, dan kalau pun ada yang masih diingat hanya lagu duet-nya dengan maestro musik Fariz RM, yang pada masanya juga hobby gonta-ganti pasangan perempuan cantik untuk diajak duet.

Sial bagi Fariz mungkin salah dua di antaranya, saat ini menjadi "public enemy" yang setiap gerak-geriknya lebih banyak menyebalkannya daripada menunjukkan bahwa mereka pernah menjadi idola pada masanya. Sebut saja yang lainnya Marissa Haque, figur yang gelar doktor-nya masih jadi pergunjingan sah tidaknya, jangankan bicara bermutu atau tidaknya.

Pun demikian Ratna Sarumpaet, walau dibesarkan dalam kultur budaya keluarga yang kuat, dan sering nampak "lengket" dengan tokoh-toloh teater terkenal seperti (alm) WS Rendra misalnya, ia tidaklah bisa dianggap sebagai tokoh yang punya karya yang bermutu bagus. Saya hanya mencatat salah satu karyanya yang menurut saya sumir sekali, yang mengangkat tokoh Marsinah sebagai latar ceritanya.

Artinya sejak dulu ia memang hanya suka cari perhatian dan "sok jadi" pahlawan. Dan keduanya, saat ini saya pikir sedang mencari panggung baru, setelah sekian lama tidak berkontribusi apa-apa bagi kemajuan budaya Indonesia. Keduanya tidak akan dikenang di bidangnya, makanya mereka cari cara untuk lebih dikenang. Cari panggung baru tepatnya!

Keduanya sama-sama "pembenci Jokowi", dengan barang dagangan yang sebenarnya selalu sama. Intinya semua salah Jokowi, entah itu berhubungan atau tidak secara langsung dengan Jokowi. Sejak zaman Pilgub anti Ahok, Proyek Serial 212, dan seterusnya. Dan saat ini keduanya memiliki panggung (atau tepatnya proyek) yang sama bernama #2019GantiPresiden.

Sangar? Tidak sama sekali! Ndagel, tapi sungguh memalukan.

Saya tidak bisa habis pikir, bagaimana mungkin mereka mencari panggung sedemikian jauh dari habitat aslinya. Neno, Minggu kemarin menjadi "provokator" demo di depan warung martabak-nya Gibran yang adanya di kota Solo. Ia merasa gagah dan hebat, ketika bisa menunjukkan bahwa di rumahnya sendiri bahkan Jokowi sudah tidak dikehendaki lagi.

Mereka ini lupa yang dihadapi adalah anak-anak milineal, yang serba cuek terhadap fenomena politik praktis. Catat sekali lagi politik praktis!

Bukannya ketakutan yang didapat, justru ucapan terimakasih dari Gibran karena telah ikut mempopulerkan produk usahanya. Itu pun masih disyukuri, karena demonya berjalan dengan lancar!

Bagi yang paham cara baca politik yang baik, tentu ini skakmat atas selera rendah cara mereka berpolitik. Pun demikian, Ratna Sarumpaet yang dengan tolol-nya hadir di Tigaras, justru saat Basarnas secara bersama-sama dengan aparat setempat menghentikan proses pencarian korban.

[caption id="attachment_17906" align="alignright" width="480"] Ratna Sarumpaet (Foto: Detik.com)[/caption]

Justru saat keluarga korban mengiklaskan anggota keluarga mereka, seraya memanjatkan doa. Dan si "mak lampir" ini, justru berteriak-teriak meminta dilanjutkan pencarian korban. Dan ia secara memalukan diusir dari arena itu!

Bagi saya keduanya bernilai sama, sama-sama memiliki karakter teroris dan alat manipulator dalam arti sesungguhnya!

Jenis perjuangan "tanpa hati, miskin etika" ini, yang keduanya tidak tahu betul adalah model awal gerakan Talibanisme di Afghanistan. Sejarah mencatat pada mulanya gerakan sejenis taliban ini adalah kelompok-kelompok kecil, yang justru awalnya menggunakan wanita sebagai "juru bicara". Namun ketika mereka membesar dan berkuasa, maka kaum perempuan mereka sendirilah yang pertama-tama mereka bungkam!

Mereka-mereka ini selalu menjadi korban para laki-laki yang dalam kondisi terdesak, selalu menyodorkan perempuan sebagai "alat". Banyak kasus bagaimana perempuan menjadi "bomber" dengan menyembunyikan bom di balik busananya yang sangat rapat.

Di dalam negeri, walau kurang terekspos baik, banyak kasus pencurian di supermarket, pasar atau ruang publik. Mereka menganggap hal tersebut halal dialakukan sebagai bagian dari perjuangan.

Kita akan mudah lupa, ketika kelompok seperti Taliban ini berkuasa maka kaum perempuan adalah yang paling dulu dihinakan, bukan saja tidak boleh bekerja, tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami, bersedia dipoligami berkali-kali. Bahkan hal-hal yang paling fundamental tak boleh sekolah dan dilarang belajar baca tulis.

Ketika mereka berkuasa, hal yang pertama mereka lakukan adalah menutup sekolah-sekolah khusus perempuan. Karena mereka tahu betul, hanya dengan cara hina demikian kekuasaan mereka bisa dipertahankan!

Banyak perempuan bersuara dan bergerak itu baik! Dan demokrasi di Indonesia sudah bergerak ke arah yang lebih baik, dengan memberi peran yang semakin layak dan berimbang bagi perempuan.

Yang justru buruk adalah contoh-contoh nyata yang dilakukan oleh para perempuan panggung, yang keluar terlalu jauh dari habitat aslinya. Lalu berbicara seenaknya, seolah mereka adalah pahlawan walau sudah sangat kesiangan. Perempuan-perempuan sejenis inilah yang justru akan menarik kembali mundur ke belakang "emansipasi, egaliterisasi" yang dulu diperjuangkan dengan susah payah.

Mereka inilah akar-akar Talibanisme di Indonesia, dan bagian yang selalu mereka lupa: kelompok seperti mereka inilah, orang-oranfg yang akan "disembelih" duluan ketika kaum pria mereka berkuasa. Oleh kaum laki-laki yang saat mereka berteriak lantang keras sekali, hanya berdiri dongok atau duduk memble di belakangnya!

Dibandingkan memikirkan nasib keduanya, atau mengasihani perempuan yang menjadi penggembiranya. Saya memilih riang gembira, berbagi kesenangan dan gairah hidup dengan Gibran dan Kaesang!

***