Mempunyai sikap kritis itu bagus, karena itu adalah bentuk dari kepekaan sosial yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Namun yang terpenting dari setiap apa yang dikritisi, dipahami terlebih dulu persoalannya, supaya kritik tersebut tidak mubazir. Kritik yang tepat kesasarannya akan efektif, akan menjadi perhatian, tapi jika kritik tersebut tidak tepat sasaran, yang mengkritik akan seperti orang onani, sibuk sendiri dan puas sendiri.
Ketika mengkritik sebuah kebijakan yang tidak sesuai dalam aplikasinya, yang pertama kita cari tahu adalah, apakah kebijakan tersebut sesuai dengan konstitusi yang ada, kalau sesuai konstitusi namun tidak bagus secara aplikasinya, perlu dipertanyakan apa yang mendasari Undang-undang yang menyangkut kebijakan tersebut disetujui, siapa yang menyetujui Undang-undang tersebut diperlakukan.
Ada proses untuk menggagalkan Undang-undang tersebut diperlakukan, ketika Undang-undang tersebut masih dalam tahap rancangan, dalam tahap inilah yang wajib dikritisi, jangan setelah Undang-undang diperlakukan baru sibuk mengkritisi. Inilah bentuk kritik yang tidak tepat. Bisa saja Undang-undang tersebut direvisi lewat uji materi, tapi apakah setiap Undang-undang harus disikapi seperti itu.
Masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang aktif dalam mengawasi penyelenggaraan negara, sikap kritis itu bukanlah cuma kelatahan, ikut-ikutan kritis tapi tidak mengerti persoalan, sok kritis tapi tidak faham apa yang dikritisi, yang seperti ini akhirnya cuma menjadi ketololan yang kritis. Sebagai illustrasi saya akan sampaikan contoh soal aturan mantan napi boleh ikut Pilkada, dan sekarang menjadi kehebohan, karena ada mantan napi yang terpilih sebagai Kepala Daerah.
Secara konstitusional memang memperbolehkan seorang mantan napi menjadi kepala daerah, terus salahnya dimana? Karena acuan pemerintah dalam penyelenggaraan negara adalah konstitusi, selama tidak melanggar maka aturan tersebut diperbolehkan.
Padahal, secara moral, memang tidak patut seseorang yang memiliki rekam jejak sebagai mantan narapidana menjadi Kepala Daerah, karena seorang kepala daerah itu harus memiliki moralitas yang baik, bukan cacat secara moral.
Yang menjadi persoalan, kenapa Undang-undang yang menyangkut persyaratan menjadi Kepala Daerah ini bisa disetujui, siapa yang menyetujui, dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Undang-undang tersebut.
Sebagai masyarakat kenapa tidak mengkritisi Rancangan Undang-undang tersebut sebelum disahkan. Di sinilah peran masyarakat seharusnya, bukan setelah Undang-undang tersebut diterapkan, mengkritik secara membabi-buta tapi tidak mengerti tanggung jawabnya sendiri sebagai masyarakat.
Contoh soal yang lain adalah, mantan napi tidak boleh menjadi calon legislatif. Ini yang pernah dipersoalkan KPU, yang kebetulan direspon secara kritis oleh masyarakat dengan mengeluarkan petisi. Akhirnya diputuskan bahwa Mantan napi tidak boleh mencalonkan diri sebagai Anggota Legislatif. Jadi tidak Ada lagi alasan seorang mantan Napi boleh menjadi anggota Legislatif, semoga saja rancangan Undang-undang ini pun sudah disetujui dan bisa diterapkan pada Pemilu 2019.
Banyak contoh lain dari kritik yang tidak cerdas, kritik yang cuma asal bunyi seperti tong kosong yang nyaring bunyinya, kritik yang tidak mendasar, tidak menggunakan data, kalau menggunakan data pun tidak valid, begitu dibantah secara comprehensive tidak bisa lagi argumentatif.
Yang begini inilah yang disebut onani, cuma sibuk sendiri dan asyik sendiri, yang mengaminipun seperti ikut beronani.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews