Jangan Permainkan Hukum, Pak Presiden!

Rabu, 20 Juni 2018 | 07:45 WIB
0
715
Jangan Permainkan Hukum, Pak Presiden!

Di luar soal politik, tidak ada aturan yang bisa dijadikan rujukan oleh pemerintah untuk membenarkan pelantikan Komjen M. Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat. Menurut UU No. 10/2016 tentang Pilkada, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, maka diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya. Masalahnya, jabatan pemimpin tinggi madya ini ada batasannya, yaitu pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN).

Meskipun Komjen M. Iriawan saat ini sedang menduduki jabatan eselon I di luar Polri, yaitu sebagai Sekretaris Utama (Sestama) Lemhanas, namun posisi tersebut tidak membuatnya sama dengan pejabat eselon I yang berasal dari ASN yang bisa ditempatkan di luar Instansi Pusat sebagai Penjabat Gubernur.

Sebab, meskipun anggota TNI dan Polri aktif bisa ditempatkan di lembaga lain di lingkungan pemerintah pusat (itupun lembaganya bersifat tertentu, yang berkaitan dengan kompetensi TNI dan Polri.

Sperti misalnya BNN atau BNPT) tanpa kehilangan statusnya sebagai anggota TNI dan Polri, namun saat mereka dipindahkan ke luar instansi pemerintah pusat (misalnya, dipindah ke jabatan sipil di provinsi), maka mereka harus MENGUNDURKAN DIRI terlebih dahulu.

[caption id="attachment_17232" align="alignleft" width="548"] Iriwan dan Tjahjo (Foto: Merdeka.com)[/caption]

Memang pernah ada preseden perwira TNI dan Polri aktif ditempatkan sebagai Pjs dan Pj Gubernur pada 2008 dan 2016 silam. Namun, preseden yang keliru dan menabrak aturan perundangan semestinya tidak dijadikan yurisprudensi oleh Kemendagri.

Penunjukan perwira aktif Polri sebagai Pj Gubernur juga jelas melanggar UU No. 2/2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal 28 ayat 1, UU jelas memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Sementara, kita tahu Gubernur adalah jabatan publik yang bersifat politis.

Anggota Polri sebenarnya dapat saja menduduki jabatan di luar kepolisian. Namun sebagaimana diatur dalam ayat 3 Pasal 28, hal itu baru dimungkinkan setelah yang bersangkutan mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Jadi, rambunya sangat jelas dan tegas. Rambu ini merupakan bentuk pelembagaan spirit Reformasi bahwa kita tidak lagi memberi ruang bagi praktik dwifungsi angkatan bersenjata, baik TNI maupun Polri.

Sekali lagi, tidak patut pemerintah menjadikan preseden administratif masa lalu yang melanggar hukum sebagai basis yurisprudensi.

***