Membangun Pencakar Langit Setinggi "Burj Khalifa" di Indonesia

Selasa, 12 Juni 2018 | 18:53 WIB
0
1190
Membangun Pencakar Langit Setinggi "Burj Khalifa" di Indonesia

Bisakah bangsa kita membangun gedung melebihi tinggi Burj Khalifa di Dubai? Jawabannya: bisa.

Pencakar langit tertinggi di dunia itu sebegitu tingginya hingga membawa konsekuensi syariat yang unik: waktu berbuka puasa dalam gedung bertinggi 829,8 meter itu terbagi 3. Yang sedang berada di lantai 80 sampai 150 harus menunggu 2 menit setelah orang di ground floor sampai lantai 79 berbuka. Yang berada di lantai 151 sampai 160 menunggu lebih lama lagi, yaitu 3 menit.

Mereka yang berada pada posisi lebih tinggi harus menunggu lebih lama hingga sang surya tenggelam sepenuhnya. Sebaliknya, saat imsak, merekalah yang lebih dulu diterpa cahaya mentari fajar. Imsak datang 3 menit lebih cepat dibanding penghuni di seksi terbawah.

Bangsa Indonesia dengan pengalaman membangun candi Borobudur 12 abad lalu saya jamin bisa membangun gedung melebihi tinggi Burj Khalifa di jaman now. Apalagi sebelum Uni Emirat Arab (tempat Dubai berada) didirikan tahun 1971 kita sudah mulai membangun Monas, yang pilar-pilar pondasinya ditangani perusahaan anak negeri Adhi Karya.

Saya pernah baca sebuah tulisan dari seorang guru besar teknik sipil, saya sudah lupa namanya, yang menjabarkan bahwa untuk bidang konstruksi bangsa kita ini terhitung sudah komplit. Mulai dari pasir sampai batu kita punya sumbernya. Dari semen sampai besi kita juga punya. Di sisi "human" kita juga punya: dari buruh kasar, tukang, mandor, sampai para insinyur. Semuanya lengkap.

Kalau sekedar mewujudkan bangunan melebihi tinggi Burj Khalifa, dengan segala kekomplitan di atas, jelas kita bisa. Dengan catatan: dilakukan dengan sistem kerja-paksa (forced labour). Para pekerja hanya diberi makan. Nasi, ikan, sayur. Sekali-sekali dapat daging.

Tanpa digaji, tanpa jaminan keselamatan kerja, apalagi iming-iming bonus. Sebaliknya, lecutan cambuk menghampiri kalau mulai loyo. Tambahan: beras, ikan, sayur, daging tidak dibeli. Melainkan diambil paksa dari petani, nelayan, pekebun, dan peternak.

Sekali lagi: kalau sekedar mewujudkan bangunan. Kita BISA. Kita punya bahannya, kita juga punya tenaga manusia yang akan mengerjakan. Tentu, dengan skema kerja paksa di atas. Siapa bilang tidak bisa?

So, sederhananya saya hanya mau menjabarkan: BISA bukan berarti BOLEH. Bangsa kita untuk kondisi saat ini belum boleh membangun gedung penyaing Burj Khalifa.

Ada perbedaan mendasar antara kita dengan Dubai. Dubai tidak punya tenaga kerja level bawah untuk mewujudkan fisik Burj Khalifa. Dubai harus mendatangkan dari luar negerinya. Sementara kita, Indonesia, punya tenaga kerja melimpah ruah.

Tapi bukan soal perbedaan ini yang membuat kita belum boleh menyaingi Burj Khalifa. Justru kesamaan-lah biangnya. Indonesia dan Dubai sama-sama TIDAK MAMPU secara finansial. Kita BISA, tapi kita (sedang) TIDAK MAMPU, makanya untuk saat ini BELUM BOLEH membangun pencakar langit melebihi Burj Khalifa. Sampai setengah tingginya pun rasa-rasanya belum boleh.

Burj Khalifa, sepanjang umur pembangunannya bukanlah Burj Khalifa. Ia adalah Burj Dubai. Sehari sebelum peresmiannya, penguasa Dubai Syekh Muhammad bin Rasyid al-Maktoum (saya rasa dengan penuh keikhlasan) mengganti nama Burj Dubai menjadi Burj Khalifa. Khalifa di sini adalah Syekh Khalifa bin Zayed al-Nahayan, penguasa Abu Dhabi.

Penggantian nama dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Syekh Khalifa yang telah datang sebagai "Juru Selamat" bagi Dubai yang terlilit UTANG.

Di atas kertas Dubai bangkrut. Pembangunan Burj Dubai yang memakan biaya 1,5 milyar dollar atau 21 trilyun rupiah (dengan kurs 14 ribu) adalah salah satu kontributor bangkrutnya Dubai.

Selain Burj, Dubai keasyikan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka membangun pelabuhan besar, kawasan industri, pulau-pulau buatan beserta isinya (berupa properti). Untuk mencapai hal besar itu, Dubai ngutang besar pula. Ketika Dubai World (BUMN-nya Dubai) nangis minta tolong, sebagaimana diberitakan BBC tahun 2010, utangnya saat itu diperkirakan 59 Milyar Dollar.

Pasar dunia kaget alang kepalang ketika Dubai minta tunda pembayaran 6 bulan. Tak kurang dari 26 Milyar Dollar minta dijadwal ulang. Alias tak mampu dibayar pada saatnya.

Ada pun pemicu awalnya (yang menambah kekagetan pasar) adalah jatuh tempo pembayaran obligasi sukuk. Nilainya "tak seberapa". Hanya 3,5 Milyar Dollar. Tapi di situlah masalahnya. Untuk jumlah yang tak seberapa dibanding megahnya Dubai itu saja sudah membuat Dubai "menangis". Gimana dengan puluhan milyar lainnya? Dalam dollar, lho ya.

Pasar (baca: para pemegang sukuk) juga "galau". Sukuk adalah obligasi syariah. Aturan syariahnya jelas: sukuk bukan utang-piutang. Kalau pada obligasi konvensional, obligasi adalah pernyataan hutang dari lembaga/negara penerbit kepada pembeli obligasi, pada sukuk berbeda maknanya. Membeli sukuk berarti pembelinya turut memiliki asset yang dibangun oleh penerbitnya dari dana yang terkumpul.

Pembeli sukuk mendapat keuntungan dari bagi hasil atas asset yang dijual atau diusahakan si penerbit. Bagi hasil itu bukan bunga. Itu haram hukumnya kalau diperlakukan sebagai bunga. He he he. Lha, bijimane tidak galau? Harga asset dalam bentuk properti nyungsep karena kabar ketakmampuan Dubai membayar utang, infrastruktur yang dibangun dipastikan return-nya turut melambat. Lha, dana sukuk tertanam di sana?

Untung bagi Dubai, ada "sepupu" bernama Abu Dhabi. Bersama 5 wilayah Emirat lainnya, Dubai dan Abu Dhabi adalah dalam federasi Uni Emirat Arab. Abu Dhabi sebagai Emirat yang memiliki cadangan minyak terbanyak dalam Uni Emirat Arab sedang punya banyak duit cash. Dari dalam jubah penguasa Abu Dhabi dikeluarkan dana segar 25 Milyar Dollar.

Jumlah yang, kalau dipinjam dari IMF, membuat negara peminjam harus tunduk dan patuh pada resep pengobatan ekonomi a la IMF, yang pada beberapa kasus justru membuat negara tersebut makin parah dan kehilangan kedaulatan secara halus. Dalam kasus dana talangan Abu Dhabi ke Dubai, sejauh ini yang diketahui pasar prosesnya adalah "Bismillah" dari mulut Syekh Khalifa dan "Alhamdulillah" balasan dari Syekh Muhammad bin Rasyid al-Maktoum. Burj Dubai jadi Burj Khalifa, toh masih sama di Uni Emirat Arab.

Moral of the story: bikin infrastruktur semacam jalan tol yang megah sudah pasti kita BISA. Jangankan sekarang, puluhan tahun lalu Mbak Tutut dengan CMNP-nya sudah bikin jalan tol. Itu terjadi dalam kondisi kita sedang MAMPU. Karena terhantam krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, kita jadi TIDAK MAMPU membangun jaringan jalan tol lanjutan dalam skala besar-besaran.

Sekarang kalau ada yang kelewat membanggakan diri dengan munculnya tol-tol baru dalam jangka waktu singkat, silahkan merenung: benarkah tol-tol itu dibangun di atas KEMAMPUAN kita? Kalau sekedar BISA, ya, kita BISA. Mbak Tutut aja BISA. BUMN konstruksi kita BISA. Tapi apakah MAMPU secara finansial?

Sekedar info, gabungan UTANG 4 BUMN konstruksi kita (Waskita, Wijaya, Adhi, dan PP) saat ini adalah 156 Trilyun Rupiah. Itu setara 11 Milyar Dollar. Sebagian besarnya adalah utang jangka pendek!

Wahai Syekh Khalifa... Assalamualaikum!

***