Akhirnya saya sadar. Bahwa saya telah berada di dalam masjid Syiah. Bayangan saya pun flash back: ingat saat saya ke kota suci Qum, Iran. Enam tahun lalu.
Ingat saat saya ke Iraq. Lima tahun lalu: ke makam Syeikh Abdul Qadir Jaelani di Baghdad. Dan ke masjid Sayidina Hussein di Karbala.
Saya juga ingat masa kecil. Di Tegalarum, Magetan. Pada acara yang disebut Rebo Wekasan. Pada tiap tanggal 10 Muharam. Selalu ada gentong ditaruh di atas kursi. Di halaman masjid. Berisi penuh air.
Di dalamnya ada kertas. Bertulisan Arab. Saya lupa bunyinya. Tulisannya Arab pegon. Arab gundul. Tidak ada tanda bacanya. Orang desa saya menyebut itu rajah. Atau jimat. Benda sakti.
Setelah tengah hari orang-orang bergilir ke gentong itu. Ambil airnya. Untuk diminum. Bapak saya bercerita: acara itu untuk mengenang meninggalnya Sayidina Hussein.
Tidak ada yang tahu kalau itu tradisi Syiah. Bahkan kami tidak tahu kalau ada aliran yang disebut Syiah.
Kami ini tahunya hanya NU, Muhammadiyah, Persis, Syathariyah, Nahsabandiyah, Qadiriyah. Setelah dewasa baru tahu ada Syiah, Wahabi, Khawarij dan seterusnya. Dari buku.
Bahkan bentuk kuburan Islam di Indonesia ini tak lain adalah adat Syiah. Di Arab kuburannya tidak seperti itu.
[embed]https://youtu.be/UZvL0I3tJnU[/embed]
Kembali kepada realitas: saya sudah berada di dalam masjid Syiah. Di San Antonio ini.
Berarti saya akan jadi minoritas. Satu-satunya Suni di tengah jamaah Syiah.
Beberapa menit menjelang berbuka (saya tulis berbuka –bukan ‘buka’– khawatir diterjemahkan ‘open’ oleh Yang Mulia Google) masuklah sosok ini: bertuban, berjubah dan kharismatik. Beda sekali dengan yang lain-lain: pakai jean atau celana selutut dan hanya pakai kaus.
Saya bersalaman dengan sosok kharismatik itu. Saya perkanalkan diri: Indonesia. Dahlan Iskan.
Beliau pun bertanya. Pertanyaan yang tidak saya sangka: apakah saya juga Syiah?
Saya langsung mencari pegangan di dekat saya. Tidak ada. Saya grayah-grayah. Menemukan pegangan itu: sela-sela sofa. Sambil cari jawaban yang terdiplomatis. Sebisa saya. ”Saya Syathariyah dan Nahsabandiah-Qadiriyah,” jawab saya.
Syathariyah dari orang tua saya. Nahsabandiyah-Qadiriyah dari Abah Gaos, Sirna Rasa Tasikmalaya.
Saya begitu ingin tahu respons beliau. Ternyata diplomasinya juga amat tinggi. Pastilah dulunya juga belajar ilmu mantiq. ”Ohh… saya tahu,” kata beliau. ”Berarti Anda ini setengah Suni, setengah Syiah,” katanya.
Tiba-tiba saya seperti mendapat pegangan besi. Lega. Tegak. Tidak lagi seperti terhuyung di atas perahu kecil. Kami terus ngobrol.
Saat berbuka tiba. Sambil minum yoghurt dan air putih. Beliau tambah kurma.
Seorang jamaah menghamparkan sajadah di tempat imam. Lalu menggelar secarik kain hijau. Panjang. Yang lebarnya hanya sekilan. Sepanjang deretan makmum.
Nah ini dia. Syiahnya tampil nyata: di atas sajadah itu dan di atas secarik kain hijau itu ditaruh benda bulat-pipih. Sebesar tutup gelas. Warna tanah. Tiap orang akan menempelkan dahinya di atas si bulat-pipih itu. Saat sujud nanti.
Itulah: Turbah. Terbuat dari tanah. Dari padang Karbala. Turbah artinya lumpur. Tanah. Lempung. Simbolisasi merendahkah hati serendah-rendahnya: saat bersujud.
Menempatkan bagian termahal dari tubuh kita –wajah– di atas lumpur. Tidak ada istilah menyelamatkan muka di depan Sang Pencipta.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews