Puasanya Dawam Rahardjo

Jumat, 1 Juni 2018 | 15:00 WIB
0
645
Puasanya Dawam Rahardjo

 

 

Tiga tahun lalu saya membeli foto ini dari Majalah Tempo. Foto ini saya cetak besar di atas kain kanvas. Sesudah diberi figura yang sesuai, saya menghadiahkan foto ini sebagai kado ulang tahunnya. Pak Dawam senang sekali memandangi foto masa mudanya ini, saat usianya masih 30-an. Tapi foto yang jadi kado itu tanpa petikan puisi yang juga ditulisnya pada waktu muda ini.

"Ini foto waktu saya masih seumuran Anda," ujarnya.

 

Foto itupun langsung diangkutnya ke Jakarta.

Di usia sepuhnya, di tengah keterbatasan fisiknya, meskipun harus mengkonsumsi puluhan obat setiap hari, ia selalu taat shalat lima waktu dan menjalankan puasa Ramadhan.

Suatu pagi, saat kami sedang menyantap gudeg di rumahnya, ia membuka "rahasia" kenapa ia tetap rajin berpuasa.

"Dokter sebenarnya sejak lama melarang saya untuk berpuasa. Tapi tidak pernah saya dengarkan. Saya takut kalau tidak berpuasa," ujarnya serius.

"Takut kenapa, Pak?"

Saya sudah berpikir akan mendapatkan jawaban normatif yang membosankan.

"Saya takut menjadi tua kalau tidak puasa," ujarnya, terkekeh.

Dugaan saya ternyata keliru.

"Maksudnya?"

"Kalau tidak puasa, saya pasti segera merasa jadi orang tua, pensiunan, penyakitan, serta asosiasi kepada hal-hal tak menyenangkan lainnya. Saya tak mau menjadi seperti itu, meskipun kenyataannya sebenarnya seperti itu. Itu sebabnya saya selalu ikut berpuasa. Saya merasa sehat dan tetap muda jika berpuasa."

Takziah

 

Saat telepon duka itu menyerobot masuk ke ponsel beberapa menit lepas pukul sepuluh malam tadi, Aksara dan saya sebenarnya baru saja sampai di rumah sesudah acara buka bersama di Kementerian Pertanian. Ia saya minta buru-buru tidur, sebab pagi ini, lepas Subuh, kami harus bertolak ke bandara.

Sedih dan gamang tiba-tiba menyergap sesudah mendengar kabar duka itu.

Sedih, karena besok siang saya tak akan bisa mengantarkan Pak Dawam ke pemakaman. Seseorang yang kau hormati berpulang dan kau tak bisa mengantarkan ke peristirahatannya yang terakhir, bukankah itu menyedihkan?!

 

Gamang, karena sesudah mendengar kabar duka itu saya sebenarnya ingin segera melesat ke rumah sakit. Sebagai kompensasi ketidakhadiran, saya ingin ikut memandikan, memegang, dan menyalatkan jenazah almarhum untuk terakhir kalinya. Tapi, bagaimana dengan anak saya yang baru saja tidur dan agenda yang sudah menunggu Subuh nanti? Padahal ia juga harus bangun sahur, sementara kebugaran fisiknya seharian tadi sudah cukup terenggut oleh mampetnya lalu lintas Jakarta.

Meninggalkannya tertidur sendirian juga tak tega, apalagi jarak ke Cempaka Putih cukup jauh. Jadilah saya merutuki hari ini.

Tapi, membiarkan momen ini berlalu benar-benar membuat hati saya pedih. Akhirnya, sesudah berhitung waktu, agar anak saya tak sampai drop karena terenggut waktu istirahatnya, sayapun memanggil taksi. Sembari menggendong kakaknya Arkana yang sudah tertidur lelap, saya segera meluncur ke RSI Jakarta di Cempaka Putih.

Di ruang jenazah ada sekitar sepuluh orang, terdiri dari anak, menantu, dan beberapa kerabat dekat. Di dalam, jenazah Pak Dawam baru saja dimandikan. Beruntung saya masih bisa ikut menyaksikannya, menyentuhnya untuk terakhir kali, mengangkatkan jenazahnya, dan kemudian turut menyalatkannya.

Sementara itu, Aksara saya titipkan pada Mbak Mala, sekretaris Pak Dawam. Karena capek, ia memilih tetap tidur di kursi depan ruangan. Baru sesudah jenazah selesai disholatkan, ia terbangun dan duduk.

Menyaksikannya tidur begini, terus terang hati saya makin lumer.

"Meski ini hari duka, kamu sangat beruntung, Nak. Kamu sedang menghadiri upacara perpisahan seorang besar, yang kebesarannya mungkin baru akan kau pahami satu dekade mendatang," batin saya.

 

Ya, Allah, selamat jalan, Pak...

***