Sekarang Saya Hidup Tanpa Lambung

Senin, 21 Mei 2018 | 23:01 WIB
0
1810
Sekarang Saya Hidup Tanpa Lambung

Banyak orang yang bisa bertahan hidup dengan kekurangan satu atau beberapa organ tubuhnya. Dan bisa hidup normal, umpama orang yang kakinya buntung, masih bisa gagah di kursi roda. Dan saya hidup tanpa lambung.

Kira setahun yang lalu saya dan beberapa teman-teman merencanakan pulang basamo dari Sydney ke Sumatera Barat dan Malaysia. Tiket, hotel, dan lain-lain sudah siap. Jadwal sudah ditetapkan. Dan maklum sendiri, tiket sekarang tidak bisa diibah-ubah .

Kira-kira seminggu sebelum berangkat saya dapat musibah, darah saya hilang, HB-nya cuma 72, konon minimunnya 80.

Sore-sore dokter nelpon saya, suruh segera ke hospital terdekat . Karena saya bingung, ya sudah besok pagi paling lambat. Demikianlah, besok saya masuk hospital tambah darah 3 bag plus iron 1 bag. Nginap semalam.

Dengan darah yang cukup, saya diizinkan dokter untuk ikut pulang basamo, dengan catatan tidak lebih 15 hari kembali untuk pemeriksaan lebih lanjut, mencari penyebab hilangnya darah tersebut.

Dalam perjalanan saya sehat, ada darah muda yang mengalir. Pendonor pasti bukan orang tua.

Kembali dari Sumbar, lansung ke RS lagi, periksa dengan berbagai alat, ditemukan kira-kira lokasi bocornya darah, ada hetia hernia, ada tumor sangat kecil. Semua berada pada tempat yang berdekatan di ujung saluran makan dan perut besar (lambung).

Pada pemeriksaan ini saya dioper dari satu dokter ke bermacam-macam specialis. Pertama dokter umum, terus ke specialis gastro, terus ke laboratorium macam-macam di antaranya CT Scan, Nuclear Medical. Dan terakhir dokter bedah khusus upper gastro, seorang Professor.

Pak professor dengan tenang dan santai menggambar bentuk macam-macam organ perut, kemudian bikin dua garis , dipotong di sini katanya. Dan dia bilang ini katagori operarsi besar. Dia tunggu jawaban saya setuju apa tidak. Waktu berpikir hanya hitungan menit, kalau tidak harus tunggu sebulan lagi untuk bisa ketemu dia.

Dengan saya ucapkan Bismillah, saya jawab, Yes, if we have to do, we do it . Digambarkan separo lambung yang akan hilang itu.

Dua hari sebelum operasi besar dimulai, saya harus lagi melalui pemeriksan ulang dan interview berbagai dokter, di antaranya harus ada clearance dari ahli jantung.

Hari H pun sampai, jam 6 pagi sudah harus masuk hospital, semua anak minta cuti, rombangan ke rumah sakit. Kayak ngantar orang pergi haji.

Setelah masuk pintu ruang operasi, anak-anak disuruh tunggu di rumah saja, nanti ditelpon. Toh tidak bisa lihat apa-apa. Kira jam 3 baru selesai katanya. Namun sebagian tetap saja di RS, sembari ngopi.

Saya sendiri di dalam mulai melalui interview lagi, berbagai pemeriksaan lagi.

Jam 8.30 mulai dibawa ke kamar operasi. Di sana sudah penuh petugas, beberapa dokter memperkenalkan dirinya dan profesinya. Umpama dokter anestesis.

Saya tidak mengerti kesibukan mereka, saya hanya berzikir sembari lihat jam. Jam terakhir saya ingat jam 8.45 . Terus tidak sadar.

Jam 5 sore, saya dibangunkan, anak-anak sudah ada sekitar saya. Anak-anak bilang operasinya berhasil. Dan saya masih merasa segar.

Rupanya Pak Professor sudah ketemua dengan anak-anak di luar, memberi penjelasan. Ada perubahan tindakan dari semula rencananya setengah lambung yang diambil menjadi semua. Ujung usus dibikin kayak balon kecil sebagai pengganti lambung.

Hilanglah lambung saya.

Seminggu di ruang ICU 10 hari ruang inap biasa. Dan saya boleh pulang. Penyesuaian diri hidup tanpa lambung masih berlansung sampai hari ini. Terutama makan tidak bisa seporsi penuh. Sekarang baru mendekati setengah posri. Kata Pak Professor, walau sudah sehat betul max ¾ porsi.

Bulan puasa bukan persoalan, buka puasa adalah persoalan. Undangan bukber selalu ada, cuma bukanya cukup kolak saja. Main menunya terpaksa dibiarkan lewat.

***