Hari Buruh Internasional atau May Day di Indonesia, sebaiknya dicermati dengan sesuatu lain. Kalaulah bisa, buruh sepatutnya menikmati tanggal 1 Mei itu sebagai hari berlibur bersama keluarga, tidak melulu kerja atau bahkan demonstrasi. Apalagi menggadaikan suaranya dengan sesuatu yang belum pasti.
Buruh, bukankah Pilkada DKI bisa dijadikan pelajaran, di mana 400 ribuan suara buruh (bisa satu jutaan bila dengan keluarga) ikut mengantarkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno ke Balai Kota DKI Jakarta?
Namun, setelah kursi didapat, kontrak politik penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) 3,9 juta yang disepakati Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal telah diingkari Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Sia-sia sudah suara buruh yang telah digadaikan itu.
Suara Buruh untuk Prabowo?
Di Pilpres 2014 lalu, Said Iqbal juga melakukan kontrak politik dengan mendukung Prabowo-Hatta, berapa suara buruh yang bisa digerakkan untuk memilih pasangan Capres dan Cawapres yang terbukti kalah itu. Meski jatah menteri tak didapat, tapi kan suara buruh sudah terbuang percuma.
Menjelang Pilpres 2019 ini, buruh kembali diajak ke ranah politik. di acara May Day 1 Mei 2018, Said Iqbal atas nama KSPI melakukan kontrak politik mendukung Prabowo Subianto sebagai Presiden 2019, dengan imbalan kursi menteri.
Bagaimana jika Prabowo kembali kalah? Bukanah artinya suara buruh kembali terbuang sia-sia. Lalu buruh dapat apa? Buruh tak dapat apa-apa! Bagaimana dengan Said Iqbal sendiri? Dia dapat apa?
Kontrak politik buruh dengan politisi, terkadang gagal, terkadang juga diingkari. Kalau selalu gagal dan diingkari mengapa terus mendukung orang atau kubu yang sama? mengapa tidak mendukung pasangan lainnya?
Buruh, jangan lagi mau diajak terperosok ke lubang sama!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews