Dua Kali Pilkada Jatim Paslon Demokrat Selalu Menang. Sekarang?

Kamis, 26 April 2018 | 16:35 WIB
0
717
Dua Kali Pilkada Jatim Paslon Demokrat Selalu Menang. Sekarang?

Mungkinkah Khofifah Indar Parawansa dalam Pilkada Jatim 2018 nanti bakal memenangkan pertarungan melawan Saifullah Yusuf alias Gus Ipul? Jika parpol pengusung utama serius, ini bukan tidak mungkin. Fakta politik dan jejak digital mencatatnya.

Pada Pilkada 2008, dua parpol pengusung utama paslon Soekarwo – Saifullah Yusuf (KarSa) adalah Demokrat dan PAN. PDIP sendiri waktu itu mengusung Sutjipto – Ridwan Hisyam (SR). Golkar mengusung Soenarjo – Ali Maschan Moesa (Salam).

Sedangkan PKB mengusung Achmady – Suhartono (Achsan). Khofifah Indar Parawansa – Mudjiono (KaJi) diusung koalisi PPP dan beberapa partai gurem. Pada Pilkada Jatim 2008 putaran I yang diikuti 5 paslon itu telah meloloskan KarSa dan KaJi.

Pada putaran II, KarSa dan KaJi harus bersaing merebut dukungan dari parpol pengusung tiga paslon lainnya yang sudah tersingkir. Akhirnya PDIP, Golkar, dan PKB harus memainkan strategi politik guna menentukan dukungannya di putaran II.

Masing-masing parpol ini punya target politik sesuai dengan kepentingan pada Pemilu 2009. Langkah mantap telah diambil PDIP dengan tegas mendukung KaJi. Secara sepintas terlihat dukungan PDIP pada KaJi karena ada faktor kesamaan kepemimpinan.

Yakni, kepemimpinan perempuan antara Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDIP dan Khofifah sebagai Ketua Umum Muslimat NU. Bisa jadi, ada pertimbangan politis yang mendorong mantapnya dukungan PDIP terhadap KaJi.

Pertama, sebagai bentuk sikap konsisten PDIP yang sejak konvensi penentuan cagub sudah menolak Soekarwo. PDIP akhirnya mengusung kader internal Sutjipto. Kedua, PDIP tidak ingin kecewa dua kali terhadap figur calon gubernur Jatim yang diusungnya.

Saat Pilkada Jatim 2003 dipilih oleh DPRD Jatim, pasangan Imam Utomo – Soenarjo diusung PDIP dan menang. Ternyata, balas jasa politik tidak terjadi seperti yang diharapkan. Imam Utomo sebagai gubernur tidak all out mendukung Megawati di Pilpres 2004.

Akibatnya, Megawati kalah di Jatim ketika Pilpres langsung 2004. Lebih unik lagi, Wagub Soenarjo justru menjadi Ketua DPD Partai Golkar Jatim pasca Pemilu 2004. Terbukti Imam Utomo dan Soenarjo tidak membesarkan PDIP di Jatim.

Perlu dicatat, menjadi rahasia umum bahwa Soekarwo adalah ”putra mahkota” Imam Utomo pada Pilgub Jatim 2008. Soekarwo sangat potensial meniru Imam Utomo terhadap PDIP jika mendukungnya.

Sedangkan target politik PDIP harus mensukseskan Megawati ketika Pilpres 2009 di Jatim. Dukungan terhadap KaJi tidak lepas dari motif ini. Ketiga, dukungan terhadap cagub harus diperhitungkan keuntungan bagi parpol pengusung dan pengaruhnya pada parpol pendukung.

Logikanya, jika mendukung KaJi dan menang, maka yang akan besar adalah PPP saat Pemilu 2009. Besarnya PPP tidak akan mempengaruhi perolehan suara PDIP karena segmen pemilih PPP (dengan basis nahdliyin) tidak sama dengan parpol pimpinan Megawati ini.

Hal ini beda bila Soekarwo menang, pasti yang dibesarkan adalah Demokrat. Tentu saja akan berpengaruh terhadap PDIP, karena segmen pemilihnya sama-sama dari kalangan nasionalis. Pertimbangan yang sama juga terjadi pada PKB.

Meski pecah, ternyata PKB kubu Muhaimin dan PKB kubu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada Pilkada Jatim 2008 putaran II ini keduanya sama-sama mendukung KarSa. Karena jika PKB mendukung KaJi dan menang, implikasinya PPP akan besar.

Selain itu, juga akan mempengaruhi perolehan PKB secara signifikan. Hal itu karena PPP dan PKB sama-sama memilih segmen pemilih dari kalangan nahdliyin. Berbeda dengan PKB ini, strategi politik yang diterapkan Golkar, pada putaran II itu tidak mengambil hak politiknya untuk menentukan dukungan kepada KarSa atau KaJi.

Agaknya, Golkar berhasil dengan target politiknya memanfaatkan Pilkada Jatim 2008 putaran II untuk persiapan menghadapi Pemilu 2009. Yakni merangsang gairah politik para kadernya di tingkat bawah dalam menyusun ”sumber daya politik” dan ”sumber dana politik”.

Berdasarkan rekapitulasi suara KPU Jatim pada 12 November 2008, paslon KaJi memperoleh 7.669.721 suara atau 49,80 persen dan Soekarwo-Saifulah Yusuf (KarSa) 7.729.944 suara atau 50,20 persen. Paslon KarSa unggul tipis hanya 60.223 suara atau 0,40 persen. Adapun suara suara sah mencapai 15.399.665, tidak sah 506.343 suara.

Ketua Umum DPP Golkar Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat Wakil Presiden, mengaku bisa menerima kekalahan calon yang diusung Golkar. ”Karena inilah wujud demokrasi,” katanya. Menurut Kalla, pilkada di Jatim menarik.

”Jatim yang merupakan basis PKB, tetapi suara untuk calon PKB justru paling rendah. Ini membuktikan antara figur dan partai tidak ada relevansinya,” kata Kalla. Pada Pilkada Jatim 2008, Demokrat mengusung paslon KarSa bersama PAN dan PKS.

Pada Pilkada Jatim 2013, Soekarwo – Saifullah Yusuf alias KarSa mendapat dukungan papol terbanyak dari 27 partai, yaitu Demokrat, Golkar, PKS, PAN, Gerindra, PPP, Hanura, PKNU, PDS, PBR, dan sisanya adalah partai non-parlemen.

Sementara Khofifah didukung oleh 6 papol, yaitu PKB, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Kedaulatan (PK), dan Partai Matahari Bangsa (PMB).

Makanya, ketika berlangsung Pilkada Jatim 2013, pasangan KarSa kembali memenangkan pertarungan melawan Khofifah Indar Parawansa – Herman Surjadi Sumawiredja. Pilkada Jatim saat itu diikuti oleh empat paslon cagub-cawagub Jatim 2013.

Bambang Dwi Hartono – Said Abdullah yang diusung PDIP. Khofifah – Herman (PKB dan 5 parpol non-parlemen); serta paslon Eggi Sudjana – Muhammad dari jalur independen. Pada Pilkada Jatim 2013 akhirnya dimenangi KarSa dengan suara 8.195.816 (47,25 persen).

Jika melihat fakta politis hasil kedua Pilkada Jatim (2008 dan 2013) tersebut, sebagai parpol pengusung utama paslon Khofifah Indar Parawansa – Emil Elestianto, tentunya tak sulit bagi Partai Demokrat untuk memenangkan Khofifah – Emil.

Setidaknya, untuk wilayah Mataraman. Apalagi Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari Pacitan dan Ketua DPD Demokrat Jatim Soekarwo juga kelahiran Madiun. Jelas, keduanya ini asli Mataraman.

Apalagi, “SBY dan Karwo pernah berjanji akan rebut Mataraman untuk Khofifah,” ungkap sumber Pepnews.com. Jadi, “Jangan sampai janji manis keduanya justru menjadi bumereng bagi Demokrat sendiri,” lanjutnya.

Karena, dengan masuknya Puti Guntur Soekarwo menggantikan Abdullah Azwar Anas yang mengundurkan diri sebagai cawagub Jatim yang mendampingi Saifullah Yusuf, pertarungan di Mataraman itu akan semakin seru.

Dengan melihat mayoritas Mataraman sepakat Puti Guntur, “Peluang paslon Khofifah – Emil hanya di wilayah non Mataraman. Jika Mataraman mayoritas ke Puti Guntur, maka dukungan Karwo pada Khofifah cermin politik dua kaki dari Demokrat.”

Tapi, politisi Partai Demokrat Sugiri Sancoko, justru menyatakan sebaliknya. Ia yakin suara paslon Khofifah – Emil masih bisa unggul. Terutama di Trenggalek. Bagi masyarakat Trenggalek, ada kebanggaan tersendiri, meski Emil berhasil atau tidak.

“Di Trenggalek, mereka bangga kalau sampai nanti melahirkan Wagub Jatim yang berasal dari Trenggalek. Selama ini kita tahu, Gubernur belum pernah dari Trenggalek. Untuk itu setidaknya dimulai dari Wagub,” lanjut Sugiri kepada Pepnews.com.

Menurutnya, bagi masyarakat Trenggalek itu merupakan satu berkah dan kebanggaan karena Wagub setidaknya masih punya ruang untuk melanjutkan cita-citanya ketika menjadi bupati. “Tidak akan terputus begitu saja. Masih bisa dilanjutkan,” ungkap Sugiri.

Wakil Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin yang sebelumnya mendampingi Emil jelas tampak belum siap ketika tiba-tiba harus menerima estafet kepemimpinan yang ditinggalkan Emil yang maju sebagai Cawagub Jatim mendampingi Khofifah.

"Arifin itu sebenarnya mungkin benci, tapi dia senang jadi bupati. Jika ada kata-kata yang terkesan tidak mendukung Emil itu sebenarnya bentuk ketidak siapannya menjadi Bupati. Karena secara pengalaman politik itu tidak sekedar ilmu, tapi juga jam terbang,," lanjutnya.

Di Trenggalek, selain figur ulama atau kiai, masih ada figur birokrat, kepala desa, sesepuh, dan tokoh lainnya yang punya pengaruh dan menjadi panutan. “Untuk tujuan agama seperti perkawinan, pengajian dan sebagainya, itu larinya ke kiai,” ujarnya.

Tapi, untuk tujuan politik dan kemasyarakatan mereka larinya ke tokoh lainnya tadi. Seperti di Trenggalek, di Pacitan diprediksi bisa mencapai 70 persen suara ada di Khofifah. Karena di Pacitan ada figur SBY yang sampai hari ini menjadi tokoh paling berpengaruh.

Di Ponorogo kemenangan Khofifah diprediksi sampai 63 persen. Karena di sana selain figur kiai, ada figur lainnya seperti tokoh masyarakat sudah ada di belakang Khofifah. Di samping pada Pilkada Jatim 2008 itu Khofifah menang.

Meski pada Pilkada Jatim 2013 yang menang Soekarwo, karena seorang figur birokrat masih berpengaruh. Sekarang ini akumulasi dari dua kemenangan Khofifah (2008) plus Soekarwo (2013). “Jadi, saya yakin, Mataraman masih dikuasai Khofifah – Emil,” lanjut Sugiri.

Di Ngawi, ada dua kelompok besar secara sosio-psikologi. Pertama yang masih “cinta” sama Bupati Budi “Kanang” Sulistyono yang merupakan kader PDIP. Kedua, yang sudah jenuh dengan Kanang yang sudah lebih dari 17 tahun menjabat di Ngawi, sebagai Wabup 2 periode dan Bupati periode kedua.

[irp posts="14383" name="Dukungan Khofifah Mulai “Barisan Jokowi” Hingga Putra Bung Tomo"]

Yang masih mencintai Kanang mengharapkan dia bisa maju sebagai cawagub Jatim yang bisa pendamping Saifullah Yusuf alias Gus Ipul pada Pilkada 2018 nanti. Mereka menginginkan Kanang secara karier politiknya bisa naik menjadi Wagub Jatim.

Yang tidak suka Kanang otomatis ke Khofifah, apapun partainya. Itu sudah separuh lebih suara Ngawi. Tipologi pemilih yang sudah bosen dengan kepemimpinan Kanang, otomatis memilih Khoifah – Emil ketimbang Gus Ipul – Puti Guntur.

Madiun Raya itu bisa menang telak karena di sana tempat kelahiran Soekarwo. Tapi bisa juga sangat mengerikan, terutama di Kota Madiun karena Walikota Bambang Irianto yang dicokot KPK. Keluarga Bambang itu banyak jadi politisi di Madiun.

Setidaknya, ada 6 orang keluarga Bambang yang berpolitik. Ini jelas sangat berpengaruh di Kabupaten-Kota Madiun. Artinya, suara Khofifah – Emil cukup rawan di Madiun Raya itu. Ini yang berbeda dengan di Magetan. Hal ini diugkap seorang warga Magetan.

“Dampak puisi Sukmawati sangat berpengaruh di Magetan. Banyak simpatisan PDIP yang akhirnya beralih ke Khofifah. Ini setidaknya terjadi di kampung-kampung di Magetan yang masih patuh pada ustadz atau kiai kampung,” katanya kepada PepNews.com.

***