Saya dapat tempat duduk di dekat jendela. Saat terbang dari Hongkong menuju Dallas, Texas. Jumat lalu.
Ingatan saya langsung pada wanita itu. Yang kesedot ke luar jendela. Saat kaca jendela pesawatnya lepas. Di ketinggian 30.000 kaki. Yang terbang dari New York ke Dallas. Selasa lalu.
Saya pandangi jendela di sebelah saya. Saya ukur besarnya jendela itu. Dengan mata saya. Ternyata cukup besar. Kalau saja saya yang tersedot saat itu. Pastilah seluruh badan saya sudah lepas dan terbang. Melayang. Ke udara yang nyaris tanpa oxygen. Di ketinggian 30.000 kaki.
Mungkin wanita yang kesedot itu badannya besar. Wanita Amerika. Dari Texas pula. Sehingga mula-mula hanya kepalanya yang tersedot ke luar jendela. Ketahan bahunya.
Mungkin bahunya tidak cukup lebar. Sehingga lolos pula ke luar jendela. Sampai pinggang. Separo badannya berkibar-kibar di luar pesawat. Sampai batas pinggang. Terpontang-panting tertekan angin. Di kecepatan pesawat sekitar 650 km/jam. Separo lagi masih tetap di dalam pesawat. Dari pinggang sampai kaki.
Mungkin pinggulnya cukup besar. Tidak bisa lolos dari ukuran jendela.
Saat itu tabung oxygen serentak bergelayutan. Di atas masing-masing penumpang. Yang berjumlah 144 orang.
Penumpang masih kaget. Akibat bunyi ledakan keras. Dari arah mesin. Lalu pada mengenakan tabung oxygen itu. Untuk tetap bisa bernafas.
Sebagian penumpang sempat ambil gambar. Menggunakan hand phone. Tersiarlah foto penumpang yang mengenakan tabung oxygen. Yang ternyata, saya lihat di foto, banyak yang salah. Biar pun mereka orang Amerika.
Tabung itu hanya ditutupkan pada mulut. Tidak sampai ke hidung. Seperti yang biasa diperagakan oleh pramugari.
Saya penasaran memperkirakan waktu. Berapa menit separo badan wanita itu berada di luar pesawat.
Sampai ada seorang penumpang bertopi cowboy-Texas menarik kakinya. Sehingga wanita tersebut tidak terlempar ke luar.
Adakah wanita itu tertahan karena pinggulnya besar. Atau karena ditahan oleh si Cowboy. Atau karena ketinggian pesawat sudah turun drastis. Sehingga tekanan sedotannya tidak sekuat pada ketinggian 30.000 kaki.
Pilot pesawat tersebut wanita. Umur 56 tahun. Mantan pilot pesawat tempur. Angkatan udara. Digelari bersyaraf baja. Bisa mengendalikan pesawat dengan tenang.
Dengan hanya satu mesin. Berhasil melakukan pendaratan darurat. Di bandara internasional Philadelphia. Baru 20 menit dari New York. Dari semestinya 4 jam ke Dallas.
Saat pesawat mendarat badan wanita itu sudah berhasil ditarik sepenuhnya. Sudah utuh berada di dalam pesawat.
Penumpang yang kebetulan perawat menanganinya. Meninggal: seorang eksekutif bank. Ibu dua anak. Pahlawan. Dia pahlawan. Berkat badannya. Yang menutup jendela yang lepas kacanya.
Saya pandangi jendela di sebelah saya. Cukup besar. Ups….. Tunggu dulu. Ini kan pesawat berbadan lebar. Airbus A330. Satu deret bisa 9 kursi.
Sedangkan pesawat jurusan New York – Dallas itu kan Boeing 737-700. Yang satu deret 6 kursi.
Tentu jendelanya lebih kecil. Atau sama?
Saya ingat-ingat saat sering naik pesawat di negeri sendiri. Yang umumnya sejenis dengan yang meledak mesinnya itu.
Tapi saya gagal membandingkan jarak jauh. Apakah jendelanya lebih kecil dari pesawat ini. Ya sudahlah.
Penasaran saya berikutnya adalah: benda apa yang menghantam jendela itu. Hingga lepas. Belum pernah ada kejadian ini: jendela lepas.
Saya benar-benar menunggu hasil penyelidikannya. Benarkah benda itu sebuah bilah turbin yang lepas? Kalau iya memang luar biasa. Bilah itu tajam sekali. Baja pilihan. Solidnya bukan main.
Bayangkan. Bilah seperti itu lepas dari turbin. Yang berputar dengan kecepatan kira-kira 29.000 RPM. Betapa kuat lemparannya.
Tapi memang nasib banget wanita itu. Kok ya … jendela yang di dekatnya yang terhantam. Begitu banyak jendela lain. Di atas posisi mesin pesawat itu. Yang sebenarnya terlindungi oleh sayap.
Kenapa menghantam jendela itu. Tidak jendela yang lain. Atau tidak menghantam badan pesawat saja.
Wanita itu pasti pandai menghitung uang. Tapi siapa yang bisa menghitung nasib?
Big data, algoritma, artificial inteligence, rasanya juga belum cukup bisa menjangkaunya.
Akankah jendela-jendela di sekitar mesin kelak akan dibuat lebih kuat? Setiap kejadian akan menghasilkan kemajuan.
Sudah berapa tahun kita tidak lagi mendengar kejadian ini: pesawat terpaksa melakukan pendaratan darurat karena roda gagal keluar. Padahal dulu begitu sering terjadi.
Ya… sudahlah.
Masih ada penasaran lain: adakah wanita tersebut mengenakan seat belt? Ataukah mengenakan tapi longgar? Ataukah seat beltnya kalah dengan daya tarik sedotan dari luar?
Saya selalu mengenakan seat belt. Tidak pernah merasa jagoan di atas pesawat.
Saya selalu ingat kejadian belasan tahun lalu. Ketika ketinggian pesawat ANA Jepang tiba-tiba jatuh 3.000 kaki. Di udara. Tiga orang meninggal. Semua karena tidak mengenakan seat belt.
Badannya terbang. Kepalanya menghantam langit-langit.
Saya juga selalu ingat kejadian ini: pesawat saya sudah melaju di landasan pacu Singapura. Sudah mencapai kecepatan tertinggi. Sudah saatnya take off. Menuju Frankfurt, Jerman. Roda depan sudah terangkat. Tiba-tiba….baaaang! Satu mesinnya meledak. Pesawat direm sangat mendadak.
Semua penumpang tersentak. Tapi tidak ada yang terpental. Semua mengenakan seat belt. Roda depannya kembali menyentuh landasan. Selamat.
Kalau saja ledakan itu terjadi saat roda belakang sudah terangkat. Mungkin pesawat akan muter-muter dulu di atas Singapura. Sampai bahan bakarnya menipis. Baru boleh melakukan pendaratan darurat. Padahal pesawatnya Boeing 747. Bahan bakarnya cukup untuk terbang 16 jam.
Tapi ya… sudahlah. Itu sudah lebih 25 tahun lalu.
Sebentar lagi pesawat saya ini mendarat di Dallas. Sudah bukan pesawat yang dari Hongkong. Saya ganti pesawat di Seoul: Boeing 787-nya American Airline. Saya lihat semua jendelanya utuh.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews