Kyai dan Nyai, Dimana Keteladananmu Kini Berada?

Minggu, 22 April 2018 | 09:58 WIB
0
1657
Kyai dan Nyai, Dimana Keteladananmu Kini Berada?

Konon hidup di dunia itu sejak mula diciptakan Tuhan dengan cara berpasang-pasangan. Walau dalam perjalanannya tidak selalu beriringan, bahkan saling berselisih jalan dan bermusuhan sengit. Demikian pula, dengan istilah kyai dan nyai. Singkat kata keduanya merujuk pada personifikasi laki-laki dan perempuan. Walau kemudian, kedua istilah tersebut mengalami pasang surut.

Kyai pada dasarnya merujuk pada sebuah pangkat kehormatan yang disandingkan pada pemuka agama, yang tidak harus merujuk pada agama Islam. Ingat dalam sejarah Kristen terdapat tokoh legendaris bernama Kiai Sadrach, yang berperan besar dalam penyebaran Kristen di Jawa. Istilah ini juga mulanya tidak terbatas di lingkungan Nadhatul Ulama, tapi juga Muhammadiyah.

Masih ingat nama-nama seperti KH Achmad Dahlan, KH Fachruddin, KH Bagoes Hadikoesoemo, dan seterusnya. Bahkan untuk kalangan putri sekalipun mendapat julukan Nyai Ahmad Dahlan, dan semuanya tampak sangat indah dan membumi.

Namun setelah Orde Baru, sebutan tersebut nyaris lenyap di lingkungan Muhammadiyah, setelah mereka mulai tersentuh "arabisasi" sehingga lebih bangga menyebut diri ustadz dan ustadzah. Padahal konon ustadz bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi telah muncul sejak zaman Persia Pra-Islam yang artinya adalah Guru/Pengajar; Orang yang ahli dalam suatu bidang industri dan mengajarkan pada yang lain; Atau gelar akademis level tinggi di universitas.

Jadi kalau sekarang Islam Persia yang konotasinya adalah Syiah, sering dianggap bukan Islam. Mosok masih mau pakai istilah ustadz atau ustadzah?

Beda di lingkaran Muhammadiyah, di lingkungan NU istilah Kyai masih sangat agung digunakan. Sedemikian agung, terhormat, dan dipanuti, sehingga mereka jika ditanya suatu preferensi, dihadapkan pada beberapa pilihan. Akan sangat mudah menjawab "Nderek dawuh Pak Kyai mawon, ikut perintah Pak Kyai saja".

Sebenarnya menghilangnya istilah Kyai di lingkungan tertentu juga dipengaruhi oleh kultur asketis etnis Jawa yang menabalkan gelar tersebut pada benda-benda yang dianggap keramat. Nyaris di seluruh Kraton Jogjakarta dan Surakarta, pusaka-pusaka kerajaan tersebut yang dipercaya mempunyai jejak jauh ke belakang sebagai peninggalan era Majapahit digunakan istilah Kyai. Bahkan pamornya sedemikian kuat, sehingga disebutkannya saja mengandung magi tertentu.

Di Jawa, terdapat tiga meriam "seangkatan" yang saat ini terpisah: Si Amuk di Banten, Si Jagur di Jakarta, dan Nyi Setomi di Solo. Konon kalau Ki Amuk ini dikawinkan dengan Nyi Setomi, Indonesia bakal adil makmur. Ki Amuk nggak ngamukan lagi, Nyi Setomi gak menangis lagi.

Mitos ini, sudah lama dipercaya, saya tidak tahu mengapa tidak pernah ada event atau pameran bersama yang bisa mempertemukan ketiga meriam ini. Konon karena itulah Si Jagur tetap saja menggoda keduanya, dengan simbol "jorang" jempol terselip di antara jari-jari agar kedua meriam itu mau bertemu. Woalah!

Di Jogja, dikeluarkannya keris Kyai Jaka Piturun menandakan, bahwa Raja Tua telah menyerahkan tongkat estafet kepada putra mahkota Kraton yang terpilih. Konon untuk menambah nilai sakral keris ini, disebutkan pernah dimiliki Sunan Kalijaga dan ditempa oleh pandai besi kenamaan di Kerajaan Demak. Saya tidak tahu, apakah kelak kalau Jogja akan diperintah seorang Ratu (karena rajanya saat ini tidak punya keturunan laki-laki), yang karenanya ia menjadi putri mahkota.

Salah satu pusaka lainnya, Kyai Tunggul Wulung, yang sejak lama dianggap sebagai pusaka paling sakral di Kraton Jogja. Konon bila terjadi musibah atau wabah, bila ia dikirab keliling kota, maka bencana tersebut akan hilang. Yang saya heran adalah saat ini nongol pemaknaan baru, bahwa pusaka tersebut aslinya adalah pemberian Kekhalifahan Turki kepada Kerajaan Demak, yang ujungnya sekarang jadi inventaris Kasultanan Jogjakarta.

Entah bagaimana cerita ini belakangan muncul, bagi saya ini hanya bukti inferioritas orang Jawa saja (bukan saja saat ini, tapi sejak lama) terhadap orang Timur Tengah. Huh, nyebahi!

Istilah Nyai sendiri pernah menjadi predikat yang sangat merendahkan kaum wanita. Ini terjadi sejak masa kolonial, dimana para laki-laki asing pendatang pada umumnya menamakan wanita peliharaan mereka sebagai Nyai. Artinya ia hanya sekedar pemuas hasrat syahwat atau budak seks.

Ketika gelombang pertama orang Barat maupun orang China datang ke Indonesia, umumnya mereka tidak membawa wanita pendamping atau keluarga. Karena itulah di banyak tempat di Indonesia, mudah ditemukan etnis-etnis yang secara fisik di dalamnya terjebak banyak ciri-ciri fisik orang Barat, seperti bermata biru, berambut pirang, atau berkulit putih.

Pun demikian, pengaruh orang China yang dapat dianggap kebalikan orang Barat, berambut lurus, bermata sipit, dan berkulit kuning. Saya juga tidak tahu, kenapa banyak pesinden yang mendapat gelar Nyai, seperti Nyai Tjondrolukito, Nyai Sumirah, tapi tidak pada Waljinah atau Sruti Respati misalnya. Juga di daerah Blora, para ledhek tayub yang selesai diwisuda mendapat gelar serupa.

Dalam spirit inilah, barangkali kemudian Ki Hajar Dewantara, mencoba merekonstruksi ulang kata Kyai dan Nyai dengan lebih singkat menjadi Ki dan Nyi untuk menyebut pamong di perguruan Taman Siswa. Dan tanpa hierarki yang njlimet, tentang kepangkatan atau strata pendidikan. Ia merupakan eufimisme yang mengukuhkan guru adalah guru, ia memiliki makna terindah dan terdalam jika pantas digugu dan ditiru, pantas menjadi teladan hidup.

Bukan seperti guru saat ini, lebih mementingkan strata, kompetensi, dan tunjangan. Sedang dalam keteladanan mereka ini nol besar. Jangan salah konon radikalisme di negeri ini di mulai dari hilangnya pengajaran nilai-nilai etika dan budi pekerti dari ruang kelas!

Istilah Kyai dan Nyai itu simbol pasang surut keteladanan dan orientasi nilai-nilai hidup yang terjadi di Indonesia sepanjang masa negeri ini pernah ada. Ia bisa sedemikian bernilai, tapi juga bisa rendah sehingga jadi bahan olok-olok.

Di masyarakat yang sekarang lagi hobby melakukan framing, gila kasus, dan merasa paling benar. Terasa benar kerinduan akan hadirnya Kyai dan Nyai yang mampu memberi jalan lempang dan terang. Ia yang bersuara lirih, nyaris berbisik, tapi mampu menuntun ke arah jalan baik. Keteladanan dalam bingkai kebersahajaan dan kesederhanaan hidup.

Pak Kyai dan Mbok Nyai di mana sekarang teladanmu berada?

***