Menyibak Benang Kusut Proyek Embung Pilangbango Kota Madiun

Sabtu, 14 April 2018 | 15:14 WIB
0
1005
Menyibak Benang Kusut Proyek Embung Pilangbango Kota Madiun

Pada 2014 – 2015 seolah menjadi mimpi buruk bagi Pemkot Madiun. Pada tahun itu, ada dua proyek prestisius berurusan dengan hukum. Dimulai dari pembangunan Embung Pilangbango senilai Rp 18,7 miliar yang bersumber dari Bantuan Keuangan (BK) Provinsi Jatim.

Proyek yang dikerjakan oleh PT Jatisono Multi Konstruksi (JMK) itu menjadi proyek paling prestisius. Ambrolnya dinding beton pada November 2016 menjadi pintu masuk terkuaknya dugaan adanya kasus korupsi.

Akibatnya, Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Kota Madiun Agus Subiyanto dan konsultan perencana Maryani divonis bersalah Pengadilan Tipikor Surabaya sehingga masing-masing diganjar hukuman 3 tahun penjara.

Seolah menular, setahun berselang pembangunan gedung baru DPRD di Jalan Taman Praja kembali beperkara dengan hukum. Proyek yang dibiayai APBD 2015 sebesar Rp 29,3 miliar mengalami keterlambatan progres akut hingga berulang kali dilakukan Show Cause Meeting (SCM). Menariknya, pemkot tetap memberi perpanjangan waktu atas keterlambatan progres.

Hingga kasus ini dilaporkan ke Kejati Jatim oleh PT Aneka Jasa Pembangunan, rekanan yang tak terima didenda seperseribu setiap harinya. Hingga Agus Subiyanto, Sekwan yang juga Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dijebloskan ke penjara bersama Managemen Konstruksi (MK) Maryani.

Dari catatan-catatan itu, terungkap adanya kekurangsesuaian. Masalah pun mencuat hingga korupsi terkuak. Banyak pihak, lanjutnya, yang dirugikan dari proyek gagal itu. Tak hanya duit yang diembat para pelakunya, tapi juga rugi waktu.

Sebab, proyek gedung baru DPRD sudah molor dua tahun dan tak kunjung selesai. Progres gedung DPRD pada Februari 2016 minus 1,27 persen, sedangkan untuk proyek Embung Pilangbango baru tercapai 87 persen.

Padahal itu yang sangat dihindari. Jangan sampai kedua proyek itu jadi monumen saja. Meski lama mangkrak, penyelesaian kedua proyek itu sudah menjadi harga mati. Tidak bisa ditawar lagi proyek harus diselesaikan segera.

Semua pihak sudah seharusnya sama-sama berkomitmen, seperti organisasi perangkat daerah (OPD) hingga pihak kontraktor. Menjadikan dua perkara sebelumnya sebagai pengalaman pahit sekaligus pelajaran berharga.

Ketua Komisi III DPRD Kota Madiun Panji Bondan Saputro menyatakan, perkara korupsi pada gedung baru dewan dan Embung Pilangbango membuat pihaknya berbenah. Panji sadar pihaknya harus lebih ketat dalam melakukan pengawasan.

Itu untuk meminimalkan munculnya kembali celah korupsi seperti dua kasus sebelumnya. Tidak hanya dewan saja, fungsi pengawasan juga akan didongkrak oleh tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D).

“Saya yakin akan semakin kecil kemungkinan ada yang main-main, kecuali wong edan (orang gila),” tegasnya, mengutip Radar Madiun (1/10/2017). Dengan ditingkatkannya fungsi pengawasan, progres kedua proyek pun didorong untuk dipercepat realisasinya.

Karena kedua perkara korupsi itu sudah inkracht, kelanjutan proyek semakin menemui titik terang. Ia memastikan kelanjutan proyek gedung baru dewan dan embung sudah masuk pada Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD 2018.

Sedianya, Panji meminta proyek sudah siap di-launching paling lambat akhir Januari 2018. “Sudah tidak ada ganjalan untuk tidak melanjutkan karena sudah inkracht. Kami pastikan lanjut awal 2018,” lanjutnya. Tapi, hingga April 2018 ini belum ada tanda dimulai lagi.

Embung Libatkan Pejabat?

Persoalan megaproyek Embung Pilangbango bakal menjadi pekerjaan rumah (PR) abadi bagi Walikota – Wakil Walikota Madiun mendatang. Karena, proyek yang dibiayai dari Bantuan  Keuangan (BK) Provinsi Jatim itu mustahil rampung pada 2018.

Penyebabnya, pemkot baru memproses redesign alias desain ulang untuk melanjutkan proyek yang terpaksa mandeg karena kasus korupsi itu. “Tidak mungkin redesign dan pekerjaan fisik dilakukan di tahun yang sama,” tutur Maidi, Ketua Tim Anggaran Pemkot, saat itu.

Pantauan Jawa Pos Radar Madiun Jumat (28/9/2017), petugas BPBD tengah mempersiapkan pengeringan untuk kolam besar itu. Mereka mengaku tengah menyiapkan sonder untuk menguji kondisi tanah di lokasi tersebut.

Hanya saja, para petugas enggan dimintai klarifikasi lebih jauh mengingat mereka hanya pekerja. “Supaya tidak terjadi masalah lagi, kami perlu redesign,” lanjut Maidi yang saat itu masih menjabat Sekretaris Daerah Kota Madiun.

Maidi memastikan Embung Pilangbango menjadi proyek prioritas Pemkot Madiun. Hanya saja, pihaknya tidak mungkin menggarap pekerjaan tersebut pada 2018 ini. Kolam tersebut difungsikan mengurangi dampak banjir di empat kelurahan wilayah timur pada 2019.

Artinya, walikota anyarlah yang bakal melanjutkan PR yang ditinggalkan Walikota Sugeng Rismiyanto.  Karena pemkot ingin embung itu benar-benar difungsikan optimal. Tak sebatas mengurangi dampak banjir, tapi juga menghidupkan wisata di wilayah timur.

Tak cukup hanya melanjutkan progres pekerjaan fisik embung, pemkot juga ingin melakukan kajian matang. Maidi menyebut keseluruhan bagian bangunan bakal dipelototi tim konsultan yang akan melakukan redesign.

Saat itu Maidi juga menjadi Kepala BPBD ex-officio. Kasus perkara dugaan korupsi dalam proyek pembangunan waduk di Kelurahan Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo Kota Madiun  itu, dikenal dengan Embung Pilangbango, “meninggalkan benang kusut”.

Kejaksaan Negeri Madiun dalam menangani kasus proyek yang didanai dari APBD Provinsi Jatim pada 2014 sebesar Rp 19 milia itu tidak transparan dan terkesan melindungi aktor intelektualnya.

Pasalnya, Kejari Madiun hanya menyeret dua pesakitan yang dianggap paling bertanggung jawab: Agus Subiyanto, selaku Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Madiun, sebagai Pengguna Anggaran juga Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) dan Maryani, selaku konsultan perencana dari PT Peta Konas.

Sementera itu, konsultan pelaksana, pengawas, Pejabat Pelaksana Teknik Kegiatan (PPTK) terutama pelaksana yang mengerjakan proyek selaku pemenang lelang, hingga kini belum tersentuh aparat hukum sama sekali.

Dalam pelaksanaan proyek pembangunan embung seluas sekitar 2 ha itu, fungsinya untuk menampung air sebanyak 150 ribu m3, yang seharusnya sudah selesai pada akhir Desember 2014. Namun, hingga waktu yang ditentukan belum juga selesai.

Bahkan bangunan embung itu telah mengalami kerusakan berupa retak-retak di sejumlah dinding dan ada juga yang sudah ambrol. Hal ini diduga karena tidak sesuai dengan spek. Apakah hanya Agus dan Maryani saja sebagai pihak yang bertanggung jawab?

Keduanya telah dijerat dengan pasal berlapis yakni pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo pasal 18 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. JPU Kejari Madiun pun menuntutnya dengan pidana penjara badan selama 7 tahun, denda 200 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Terdakwa juga dituntut untuk wajib mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 4,1 milliar, subsidair 3,6 tahun penjara. Padahal, menurut Agus, dengan agenda replik (tanggapan) JPU atas Pembelaan (Pledoi) PH terdakwa, pada Jum’at, 11 Maret 2016, bahwa proyek Embung Pilangbango, sudah ada calon pemenangnya sebelum ada proses lelang.

Bahkan, Agus mendapat arahan langsung dari Walikota Madiun saat itu (Bambang Irianto) tentang siapa calon pemenang lelangnya. Tak hanya itu, ia juga mengatakan bahwa Andik Sulaksono, telah terlebih dahulu memberikan uang Rp 2 miliar kepada Bonnie Laksmana.

Uang itu diberikan kepada Bonnie, anak Walikota Bambang yang juga menjabat Wakil Ketua DPD Partai Demokrat Jatim, sebelum ada proses lelang. Andik sendiri, menurut Agus, adalah rekan kerja Pemkot Madiun, dalam proyek Embung.

Andik adalah orang kedua selaku pelaksana dari PT Indah Cahya Pratama, Lamongan yang membuat perjanjian dengan Direktur PT Indah Cahya Madya Pratama, Dhata Wijaya. “Dua miliar yang ngasih adalah pelaksana Andik Sulaksono ke Boni, anaknya Wali Kota,” ujarnya.

Uang itu diberikan setelah anggaran ini masuk ke Kas Daerah, sebelum proses lelang. Andik Sulaksono adalah Mitra kerja Walikota. Ia sebagai pelaksana orang kedua. Orang pertama PT Indah Cahya Madya Pratama, Lamongan.

“Itu kerja sama operasional, tapi yang mempunyai persyaratan kemampuan dasar adalah PT Indah Cahya Madya Pratama yang direkturnya, Dhata Wijaya. Ada perjanjian di Notaris,” ungkap Agus. Akankah kasus Embung Pilangbango berhenti di Agus dan Maryani?

***