Di sela ingar-bingar politik dari kubu oposan pemerintah yang menyerang pribadi Joko Widodo, dari sisi kinerja maupun pribadi, tampaklah bahwa Presiden RI itu saat ini semakin sulit terpancing. Ibarat ikan yang sudah dikasih makan gula sebelum orang memancing, semua umpan yang tergantung di mata kail tidak digubrisnya. Para pemancing pun seperti habis kesabaran, lantas uring-uringan.
Ketika serangan apapun kaum oposan tumpul gara-gara diamnya Jokowi, salah satu doa besar yang dipanjatkan adalah agar Tuhan memberi kesalahan fatal atau kekhilafan tak termaafkan kepada Jokowi, minimal seperti blunder besar yang pernah dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada masa silam. Dan, blunder besar yang paling diharapkan oposan adalah kasus penistaan agama.
Siapapun oposan itu, baik politikus elite di partai maupun parlemen, emak-emak yang sudah sangat sebel melihat Jokowi, sampai para oposan medsos yang cerewet dan ga sabaran, berharap terjadi lagi apa yang disebut "Penistaan Agama" Jilid II, tetapi kali ini yang melakukannya adalah Jokowi.
Tentu saja Jokowi tahu persis harapan para oposan, maka jalan terbaik yang diambilnya adalah diam. Diam seribu bahasa, tetapi tetap bekerja dengan seribu satu cara.
[irp posts="13424" name="Yakinilah, Arteria Dahlan Itu Anggota DPR Terhormat, Bukan Bangsat"]
Potensi untuk melekatkan Jokowi secara tidak langsung ada pada dua peristiwa besar yang beraroma agama atau SARA bisa saja dilakukan, setidak-tidaknya membuat persepsi umum kalau tidak mau dikatakan pengkondisian. Pertama pernyataan kasar politikus PDIP Arteria Dahlan yang menyebut "bangsat" kementrian agama dan yang paling anyar adalah Sukmawati Soekarnoputri dengan puisinya yang mendadak terkenal itu, "Ibu Indonesia".
Mengapa dikatakan bahwa isu atas dua peristiwa itu bisa dilekatkan kepada Jokowi? Karena benang merahnya adalah PDIP. Jokowi saat ini diusung oleh partai berkuasa dengan ketua umum Megawati Soekarnoputri. Arteria Dahlan jelas anggota DPR dari PDIP, Sukmawati meski secara hubungan keluarga tidak terlalu harmonis dengan kakaknya, yaitu Megawati, tetaplah ia putri Soekarno yang kental nasionalismenya daripada keagamaannya. Bau-bau Sukmawati di PDIP masih ada.
Jokowi tahu, dua peristiwa ini bisa dilekatkan kepada dirinya sebagai "Penista Agama" juga seperti Ahok dengan Al Maidah-nya, meski kejauhan.
Arteria menyerang kementrian agama sedang isi puisi "Ibu Indonesia" Sukmawati juga menyentil simbol-simbol agama Islam seperti suara azan versus kidung dan jilbab versus cadar. Tetapi apa daya, meski kedua peristiwa itu berbau SARA, masih terlalu jauh dilekatkan kepada Jokowi. Untuk sementara oposan gigit jari.
Tumpul di dua peristiwa, serangan lain menggunakan tagar #ABJ atau #2019GantiPresiden demikian masif di media sosial dan tentu saja isu utang yang terus digoreng sampai empuk.
Lagi-lagi, sejauh ini Jokowi tidak terusik atau memang sengaja tidak mengindahkan sejumlah serangan prematur yang sebenarnya belum waktunya, sebab kampanye baru akan dilakukan selepas pasangan capres-cawapres didaftarkan ke KPU Agustus 2018 mendatang.
Bahkan ketika Yusril Ihza Mahendra yang tiba-tiba menjadi vokalis setelah partainya, Bulan Bintang, lolos mengikuti Pemilu 2019, turut memancing Jokowi dengan "mengggoblok-gobloki" Presiden, meski tidak langsung menyebut nama Jokowi. Lagi-lagi Jokowi menganggapnya sebagai kentut yang berlalu meski baunya sedikit mengganggu, lantas publik akhirnya bisa menilai sedemikian halus budi-bahasanya seorang Yusril yang sangat terpelajar itu.
Jadilah perang yang tak bersambut di mana Jokowi hanya memerankan diri sebagai samsak hidup yang dipukuli bertubi-tubi dari segala jurusan oleh oposan. Ya iyalah oleh oposan, kalau diserang oleh pendukungnya juga itu sih keterlaluan.
[irp posts="13661" name="Mempertanyakan Puisi Ibu Indonesia" Sukmawati Soekarnoputri"]
Untuk sementara, meski belum meraih kemenangan besar, kaum oposan merasa senang biarpun pakai bumbu gusar. Gusar, karena Jokowi tidak terpancing itu tadi. Senang, karena Presiden berganti di tahun 2019 sudah di ambang pintu, tidak semata di berada di batas angan-angan.
Tinggallah kaum oposan yang harus lebih kreatif menggali isu atau bahkan "menjebak" Jokowi biar bersuara SARA, agar "Penistaan Agama" Jilid II terjadi lagi dengan mendatangkan massa yang lebih masif dari sekadar 212 yang "cuma 7 juta", meski pentolannya masih berada di luar angkasa.... ups.. luar negeri ding.
Sementara itu di sepanjang bibir sungai dan pantai, di tepian kolam dan di laut dalam, para pemancing tetap tekun menjulurkan umpannya.
Siapa tahu Jokowi terpancing.
Weleh-weleh.... emang Jokowi ikan, apa!?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews