Mengapa Saya Menulis tentang Tiongkok Melulu?

Selasa, 3 April 2018 | 09:22 WIB
0
642
Mengapa Saya Menulis tentang Tiongkok Melulu?

Saya menerima pertanyaan ini kemarin. Saat berada di Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung: mengapa saya begitu tertarik menulis tentang Tiongkok? Katanya: sayalah orang yang terbanyak menulis tentang Tiongkok.

Saya diagendakan dua acara di Unpad kemarin: memberikan kuliah umum dan menjadi salah satu penguji saat Dhiman Abror menjalani ujian untuk memperoleh gelar doktor. Abror adalah mantan Pimred Jawa Pos.

Saat memberikan kuliah umum sebenarnya sudah ada 10 penanya yang harus saya jawab. Tapi di luar aula masih ada seseorang yang sengaja menunggu saya. Mengajukan pertanyaan di atas. Serius sekali. Sampai memegangi tangan saya. Seperti takut kalau saya kabur.

Ternyata namanya Al Farabi. Asal Bengkulu. Yang lagi kuliah S3 di fakultas komunikasi di Unpad.

Saya tertegun mendengar pertanyaan itu. Dalam hati saya mengakui: iya ya! Jangan-jangan orang lain juga memendam pertanyaan yang sama.

Betul. Begitu sering saya mengulas tentang Tiongkok.

Maka inilah jawabnya:

Dulunya, saya lebih sering menulis tentang Indonesia. Biasa. Negeri sendiri.

Lalu saat sering ke Amerika saya banyak menulis tentang Amerika.

Saya begitu kagum pada Amerika. Itu di tahun 1984. Pertama kali saya ke sana. Saat umur saya yang 33 tahun. Diundang oleh pemerintah Amerika. Untuk melihat apa saja di sana. Bebas. Silakan mengajukan daftar keinginan.

Waktu itu saya baru dua tahun memimpin Jawa Pos. Asyik-asyiknya melakukan perombakan: cara mencari berita, cara melihat angle peristiwa, cara menulis berita, caya melayout halaman, cara jualan koran, cara menjadi agen dan seterusnya.

Umur 33 tahun (dan sekitarnya), adalah memang puncak seorang manusia. Ambisi besar, mimpi besar, fisik kuat, bisa bekerja 16 jam sehari, dan bisa tidak tidur dua hari dua malam.

Semuanya demi membangun mimpi.

Apalagi kesempatan ada. Peluang tersedia. Wewenang sepenuh-penuhnya.

Begitu mendapat undangan ke Amerika itu saya berfikir: bisakah perusahaan ini saya tinggal selama sebulan? Relakah saya meninggalkannya?

Saya sendiri waktu itu tidak sekedar bekerja. Tapi juga mendidik. Membina. Mendampingi wartawan dan redaktur. Agar mampu menghasilkan karya jurnalistik yang baik dan modern.

Mereka bukan hanya karyawan tapi juga murid saya. Sampai hatikah saya meninggalkan murid-murid itu selama sebulan?

Tapi keinginan bisa ke Amerika juga luar biasa menggoda. Apalagi tanpa keluar biaya.

Jawa Pos masih sangat miskin saat itu. Mesin ketiknya hanya beberapa buah. Wartawan harus bergantian menggunakannya. Mengetik berita pun tidak boleh di kertas baru. Harus di kertas bekas. Yang di baliknya sudah pernah digunakan.

Tapi saya harus ke Amerika.

Akhirnya saya ajukan daftar keinginan itu. Lebih dari 30 keinginan. Mulai mengunjungi koran-koran besar, koran kecil, koran di pedalaman, melihat Gedung Putih, melihat New York, Chicago, San Fransisco, Los Angeles, Disney World, peluncuran pesawat ruang angkasa dan banyak lagi.

Saya tidak tahu di mana saja letak obyek-obyek itu. Saya tidak bisa membayangkan jarak antar obyek.

Saya baru sadar setelah saya tiba di Amerika: Amerika itu besar sekali. Jarak antar obyek tersebut ternyata ada yang sejauh Sabang ke Merauke.

Begitu melihat daftar tersebut, staf konsulat Amerika di Surabaya merenung lama. Lantas bergumam: ok, setuju.

Tapi itu perlu waktu satu bulan. Itu pun sudah banyak yang harus ditempuh dengan pesawat. Dikabulkan.

Ganti saya yang “njondil”. Sebulan? Mana bisa saya meninggalkan bayi saya ini sebulan? Saya tinggal satu hari saja kangennya sudah sampai ubun-ubun. Sebulan? Tidak bisa.

Maka kami pun bernegosiasi. Akhirnya disepakati waktu dua minggu. Dicarikan jalan menyingkat jadwal: lebih banyak lagi yang pakai pesawat.

Hasil kunjungan dua minggu ke AS ini bukan main. Inspirasi yang saya peroleh bejibun.

Pulang dari AS semangat saya berlipat. Lebih banyak lagi perombakan akan saya lakukan.

Lho, mana jawaban atas pertanyaan Tiongkok tadi?

Kelihatannya belum bisa hari ini. Sabarlah menunggu. Semoga ada di sambungannya besok. Atau lusa. Atau kapan-kapan. Ampuuuun.

***