Zaman dulu kala, hingga sekitar sebelum Orde Baru berdiri, mungkin sezaman dengan film ini terdapat tradisi yang sebenarnya tabu, "saru" dibicarakan di lingkungan kraton Mataram, baik di Jogja dan Solo, di mana para raja, pangeran, dan kaum bangsawan suka berburu gadis perawan desa ke daerah tandus. Umumnya kalau tidak ke Gunung Kidul ya Wonogiri.
Pertanyaan tersebut terjawab dalam film ini. Bukan saja karena aura kecantikan mereka yang beda, namun terutama karakter keras mereka, yang walau sering terasa aneh (justru) karena sifat kesederhanaannya. Mereka memiliki sifat-sifat (gadis) penakluk yang mungkin bagi kalangan atas, merupakan suatu gairah yang beda dan tantangan tersendiri. Mereka ini, sudah bosan dengan gadis kota yang walau tampak "modern dan gaul", tapi mudah jatuh kolokan dan membosankan.
Dalam film ini, tokoh utamanya adalah seorang desainer yang super tekun, teliti dan perfect juga menemukan figur wanita yang di mata luar biasa menarik di sebuah desa yang sempat disinggahinya. Sebagai seorang desainer kelas atas, tiba-tiba tertarik kepada seorang pramusaji, yang sebenarnya sama sekali tidak menarik dan fashionable, kaku, keras kepala dan menyebalkan.
Namun pelan tapi pasti, ia mampu mengubahnya menjadi "pantas"; pantas didandani, pantas perilakunya, bahkan pantas menjadi kekasihnya. Sesederhana itukah? Sama sekali tidak!
Di sinilah letak daya tarik film ini, dimana kisah cinta yang dibikin tidak mudah, tidak biasa, dan tentu saja tidak norak.
Menurut pendapat saya, film inilah yang mestinya menang Academy Awards 2018 baru lalu. Sebuah film roman cinta yang mungkin saya lebay: luar biasa detil, menyentuh sekaligus mengerikan!
Sedemikian menyentuh, sehingga membuat kita gampang marah dan misuh-misuh sepanjang menontonnya. Sebuah film yang wajib ditonton orang yang di tubuhnya mengalir darah seni, apapun bentuknya. Bahwa seniman yang kokoh adalah mereka yang serius yang tidak pringas-pringis dan ledha-ledhe. Pada diri merekalah terletak figur yang paling pantas ditaklukkan (cieee...).
Film bersetting suasana tahun 1950 di Inggris ini merupakan peran panggung terakhir Daniel Day Lewis sebelum memasuki masa pensiunnya. Semestinya untuk menghormati perannya yang dahsyat itu, film ini layak didaku sebagai yang terbaik. Film ini terfokus pada adu akting antara Reynold Woodcock sang desainer dengan Alma, dengan di sana-sini diselingi oleh peran protagonis Cyrill Woodcoock sang adik.
[irp posts="12362" name=" Yowis Ben", Film Box Office Berbahasa Jawa Pertama di Indonesia"]
Reynolds digambarkan sebagai lebih dari sekedar desainer fesyen, sebagai seorang seniman yang terlalu serius. Ritme hidupnya sangat monoton penuh kedisiplinan cenderung egois tak mau diganggu. Dan jika ada orang yang mengajaknya bicara, atau ada orang yang mengunyah terlalu ‘berisik’, dia membentak orang tersebut.
Demikian pula soal apapun ia menuntut ketepatan yang sesuai standar dirinya. Figur begini yang dihadapi Alma, dalam satu scene digambarkan Alma membawakan teh ke ruangan Reynolds, yang serta merta disambut dengan bentakan: “Tehmu memang udah keluar, interupsimu yang terus masuk di dalam mengganggu!”
Dalam situasi demikianlah, Alma melakukan "proses penaklukan" terhadap Reynold, bagaimana ia mengubah super-egonya, menyembunyikan kebutuhannya akan orang lain dan tanpa disadarinya memperlakukan semua orang layaknya bidak catur, yang bisa ia gunakan kapan dia suka, dengan cara yang ia inginkan.
Film ini terpapar deskripsi dengan sangat detail nyaris dalam segala aspeknya, terukur dalam setiap tarikan nafas dan gerak perilaku para pemerannya.
Bagaimana atap-atap langit yang rembes pada masa awal karier si desainer, hingga berubah menjadi sangat terjaga kerapihannya saat karirnya mulai mapan. Bagaimana takaran racun dari jamur dbedakan hanya sekedar sakit semalam, hingga sakit bermalam-malam. Bagaimana Alma bisa menjadi seorang yang memegang kendali, dari sebelumnya sekedar "perangkat pelengkap". Bagaimana ia bercerita menyerahkan setiap detail tubuhnya, walau tak pernah ada sekalipun scene film yang menunjukkan adanya adegan vulgar.
[irp posts="9197" name="Film Da'wah Menurut Motinggo Boosje"]
Film ini adalah pameran seni modern klasik yang diobral menjadi pemandangan indah sepanjang tontonan. Film ini menjadi pelajaran penting bagi siapa pun bahwa cinta yang kuat, bukanlah berasal dari perjalanan yang mulus. Ia jatuh bangun, ia tarik menarik yang melelahkan dan bikin sebal. Bagaimana sebuah penolakan yang sangat serius sesungguhnya adalah penerimaan yang tanpa batas. Dalam pergumulan itulah, film ini berkisar dalam sinematografi yang sangat dewasa dan menggoda.
Bila (setelah) menonton film ini, mustinya tak ada kata2 cengeng dan klise lagi, seperti ketidakcocokan akibat perbedaan pendapat yang sering terjadi, egoisme salah satu pasangan dan beberapa sifat lainnya yang tidak bisa diterima pasangan. Yang intinya perbedaan yang tak bisa dipertemukan atau dipersatukan lagi. Ihhhh masak, mbok dipikir lagi! Film ini cocok buat siapa saja, bukan saja pada yang mulai ragu pada hubungan mereka, bahkan bagi yang baik2 saja mustinya juga tergugah. Apalagi buat para jomblo, ini start-up yang tepat. Tak ada kata terlambat berburu cinta sejati!Phan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews