Ketika Manusia Sudah Tak Peduli dengan Kepeduliannya Sendiri

Sabtu, 31 Maret 2018 | 11:03 WIB
0
707
Ketika Manusia Sudah Tak Peduli dengan Kepeduliannya Sendiri

Rasa peduli rupanya menjadi barang langka di dunia sekarang ini. Orang hanya hidup untuk kepuasaan dirinya semata. Kepentingan orang lain dikorbankan, tanpa rasa salah. Alam pun rusak, karena manusia memeras alam, demi kepuasan dirinya semata.

Rasa Peduli

Padahal, seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, filsuf Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Sein und Zeit, rasa peduli (Sorge) adalah hubungan dasariah antara manusia dengan dunianya. Manusia hidup di dalam dunia yang tak ia pilih. Ia “terlempar”, begitu kata Heidegger. Mutu hidup manusia ditentukan dari sejauh mana ia mampu mengembangkan rasa peduli ini di dalam hubungannya dengan dunia.

Rasa peduli juga didasari oleh empati. Empati, dalam arti ini, adalah kemampuan manusia untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Rasa peduli bergerak lebih jauh dengan memikirkan apa yang menjadi kebutuhan orang lain, dan tindakan nyata apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan itu.

Sebenarnya, rasa peduli amatlah penting di dalam hidup bersama. Solidaritas juga tumbuh dari rasa peduli ini. Sayangnya, di berbagai bidang kehidupan, kita menyaksikan krisis rasa peduli. Krisis ini lalu menjadi sumber bagi beragam krisis lainnya.

Krisis Rasa Peduli

Di bidang politik, kita menyaksikan banyak politisi busuk dan korup. Kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi. Bahkan, ketua lembaga yang mewakili kepentingan rakyat pun terjebak di dalam dugaan korupsi raksasa. Begitu banyaknya politisi tanpa rasa peduli inilah yang membuat masyarakat curiga pada dunia politik sebagai keseluruhan.

Padahal, kepedulian adalah inti dari politik di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia. Rakyat memiliki para wakil dan pemimpinnya, karena mereka dianggap peduli pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dalam arti ini, pemimpin publik berarti pelayan publik. Rasa peduli adalah bagian yang amat penting di dalam pelayanan.

Hal yang sama dapat ditemukan di bidang bisnis. Orang dibutakan oleh uang dan kenikmatan yang datang dari uang tersebut. Segala hal pun dilakukan, termasuk merugikan pekerja dan masyarakat secara umum, guna mendapatkan keuntungan sebesar mungkin. Hidup mereka dibimbing oleh hasrat kerakusan.

Ini tentunya bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam membangun bisnis yang bermutu, menguntungkan dan berkelanjutan. Markus Vogt, di dalam bukunya yang berjudul Prinzip NachhaltigkeitEin Entwurf aus theologisch-ethischer Perspektive, menegaskan pentingnya nilai-nilai yang dibalut di dalam rasa peduli untuk mengembangkan organisasi di dalam berbagai bentuknya. Pembangunan yang berkelanjutan (nachhaltige Entwicklung), demikian katanya, berpijak pada dua hal, yakni solidaritas dan kebebasan pribadi.

Bisnis bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga soal menciptakan sesuatu yang bernilai untuk masyarakat. Nilai tersebut bisa berupa barang ataupun jasa. Keuntungan hanyalah dampak dari tingginya mutu dari nilai yang disediakan oleh sebuah organisasi. Pandangan dasar ini tidaklah boleh dilupakan.

Dunia pendidikan juga dilanda dengan krisis rasa peduli. Peserta didik dilihat sebagai mesin-mesin yang harus patuh mengikuti pelajaran dan ujian. Mereka diberikan kemampuan untuk bisa berkompetisi di dunia bisnis. Sayangnya, di dalam proses itu, pemikiran kritis dan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial juga terkikis.

Inilah yang disebut oleh Henry Giroux, di dalam bukunya yang berjudul On Critical Pedagogy, sebagai pedagogi neoliberal. Pendidikan menjadi budak dari bisnis dan ekonomi. Uang menjadi ukuran utama keberhasilan hidup. Nilai-nilai luhur kehidupan dan pendidikan pun tersingkir secara perlahan namun pasti.

Padahal, rasa peduli adalah jantung hati pendidikan. Tanpa rasa peduli, pendidikan hanyalah sekedar pelatihan semata. Ia tidak memberikan inspirasi, membentuk dan mengubah karakter. Ia hanya mengajar, layaknya memindahkan pengetahuan dari komputer satu ke komputer lainnya.

Akhir kata, rasa peduli memang tidak akan pernah hilang. Ia adalah bagian dari kehidupan yang ada di dalam diri setiap mahluk. Namun, ia bisa terlupakan, terutama oleh manusia yang dijajah oleh rasa rakus yang tak terkendali. Tugas kitalah untuk mengingatnya, dan menerapkannya dalam keseharian.

***

Editor: Pepih Nugraha