Semua orang cerdas pasti pernah membaca novel. Dan meminjam ucapan Howard Jacobson, seorang novelis Inggris, "I have never met an intelligent optimist."
Sebagai tentara, bekas komandan salah satu pasukan khusus terbaik di dunia, mantan perwira tinggi yang pernah jadi lulusan terbaik di sejumlah pendidikan kemiliteran di Eropa dan Amerika, tentu saja Prabowo Subianto tak hanya membaca novel, tapi juga buku-buku militer dan kajian strategis lainnya.
Dan yang jelas, Prabowo adalah tokoh politik yang masih membaca buku, bukan hanya membaca kertas contekan yang biasa ditulis para pembantunya.
Ia menyebut sebuah novel dalam ceramahnya di UI awal tahun lalu, sebuah novel yang cukup jelas ditulis oleh BUKAN-DUA ORANG-SASTRAWAN, karena novel adalah bacaan ringan dan lebih mudah diperoleh jika publik tertarik kepada pesan-pesan yang disampaikannya.
Sama seperti pada saat Perang Dingin dulu orang-orang akan menyebut novelnya George Orwell, baik "Animal Farm" maupun "1984", untuk memperingatkan bahaya komunisme, daripada misalnya menyebut "buku serius" semacam "The Road to Serfdom" yang ditulis Friedrich Hayek. Itu kasus yang serupa.
Jika Anda mendengarkan ceramahnya, ia tak sedang meramalkan bahwa Indonesia akan bubar. Ia sedang memberi peringatan jika negeri ini bisa bubar kalau tak dikelola dengan benar.
[caption id="attachment_13556" align="alignright" width="466"] Jared Diamond (Foto: Goodreads.com)[/caption]
Tahun 2005, Jared Diamond, pernah menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berada di tubir kehancuran, salah satu peradaban yang akan segera runtuh. Diamond adalah guru besar Geografi di UCLA. Ia menuliskan kajiannya atas riwayat kehancuran peradaban-peradaban besar dunia dalam bukunya, "Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed".
Ada lima faktor yang disebut Diamond sebagai pemicu runtuhnya sebuah peradaban. Pertama, ia menyebut tentang perusakan lingkungan. Kedua, perubahan iklim. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim bisa melahirkan bencana-bencana besar yang dapat meruntuhkan sebuah peradaban.
Ketiga, Diamond menyebut tentang negara-negara tetangga yang saling bermusuhan. Keempat, berkurangnya dukungan dari negeri tetangga yang bersahabat. Dan terakhir, Diamond menyebut sikap masyarakat terhadap krisis. Dalam bukunya, lima faktor ini dikupas mendalam disertai contoh-contoh yang relevan dari sejumlah peradaban yang kini telah tumbang.
Tapi saya tidak heran jika banyak orang kemudian malah mengolok-olok peringatan yang disampaikan Prabowo. Di sini, di negeri ini, banyak orang bukan hanya malas membaca, tapi juga malas mendengarkan.
Peringatan Prabowo tidak pantas ditanggapi dengan respon dangkal soal optimisme dan pesimisme. Karena soal bagaimana mengelola dan menjaga negara memang bukanlah soal optimisme versus pesimisme, tapi soal korek dan tidak korek, di mana jika tidak korek maka harus segera diluruskan.
[irp posts="13152" name="Antara Novel Ghost Fleet" dan Film Rambo Rasa Tiongkok"]
Membaca olok-olok atas peringatan Prabowo, saya tiba-tiba jadi teringat salah satu surat yang pernah ditulis Antonio Gramsci. Pesimisme adalah produk kecerdasan, sementara optimisme seharusnya adalah produk dari kemauan.
Saya khawatir kita sedang berada di sisi tembok yang berbeda dari yang ditulis Gramsci. Banyak orang selalu berpandangan optimis bukan karena tekadnya, melainkan karena kebanyakan mereka sebenarnya goblok dan tak benar-benar tahu atau memikirkan apa yang sesungguhnya tengah terjadi.
Satu-satunya kemauan mereka hanyalah meneruskan rutinitas hidupnya.
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews