Setya Sebut Nama Puan dan Pramono, tapi Tak Mau Mengaku Diri Salah

Jumat, 23 Maret 2018 | 10:49 WIB
0
777
Setya Sebut Nama Puan dan Pramono, tapi Tak Mau Mengaku Diri Salah

Kasus e-KTP semakin seru dan ramai karena menyangkut nama-nama pejabat yang masih aktif atau para wakil rakyat di Senayan.

Setiap persidangan dengan terdakwa mantan ketua DPR Setya Novanto semakin menarik untuk disimak karena terdakwa Setyo Novanto sering menyebut nama-nama yang menerima aliran dana dari proyek e-KTP.

Kemarin dalam persidangan terdakwa Setya Novanto menyebut dua nama menteri yang saat ini sedang menjabat, yaitu Puan Maharani dan Pramono Anung, yang katanya menerima dana 500 ribu USD. Kata Setya loh itu.

Tentu penyebutan dua nama menteri ini semakin membuat kasus e-KTP semakin meluas atau melebar orang-orang yang diduga menerima dana e-KTP.

Kasus e-KTP memang melibatkan banyak orang,baik dari anggota DPR maupun dari pihak pengusaha yang memenangkan tender pengadaan e-KTP ini.

Setya Novanto dari awal sudah menyadari bahwa dirinya suatu saat akan menjadi tersangka yang ditangani oleh pihak KPK. Oleh karena itu Setya Novanto sudah menyiapkan anggaran uang untuk membayar jasa pengacara sebesar 20 milyar, tentu dana ini sangat besar.

Bahkan Setya Novanto juga berusaha sekuat tenaga dengan berkirim surat kepada Presiden bahwa untuk memeriksa dirinya harus ada ijin dari Presiden, tetapi surat itu dari keterangan Pramono Anung tidak disampaikan ke Presiden. Dengan ijin dari Presiden seakan akan menghalangi pihak KPK untuk memeriksa dirinya. Akhirnya Setya Novanto tetap menjadi pesakitan oleh pihak KPK.

Dalam persidangan kemarin Setya Novanto juga meminta pihak KPK menindaklanjuti keterangan yang disampaikan di persidangan, terutama 9 anggota DPR yang ia sebutkan, di antaranya Ganjar Pranowo, Chairuman Harahap, Melchias Mekeng, dan lain-lain.

Tentu apa yang disampaikan oleh Setya Novanto dalam persidangan perlu ditindaklanjuti dengan bukti-bukti karena bisa jadi apa yang disampaikan oleh terdakwa Setyo Novanto ini juga mengandung kebohongan atau tidak benar.

Karena Majelis Hakim kemarin juga mengancam atau memperingatkan Setya Novanto untuk menyampaikan secara terbuka dan terus terang pihak-pihak yang menerima dana e-KTP dan karena kesaksian terdakwa sering berbeda dengan saksi-saksi lainnya dan bertolak belakang. Majelis Hakin juga tidak akan mengabulkan permohonan untuk menjadi Justice Collaborator supaya bisa meringankan hukuman.

[irp posts="5091" name="Peraturan Jokowi soal Menteri Rangkap Jabatan, Bagaimana dengan Puan?"]

Padahal syarat untuk menjadi JC adalah mengakui perbuatannya atau kesalahannya dalam hal korupsi, sedangkan Setya Novanto tidak pernah mengakui kalau ia melakukan korupsi di kasus e-KTP, bahkan dalam persidangan ia sering menjawab "tidak tahu", "tidak ingat" dan "lupa" kalau menyangkut dirinya atau memberatkan dirinya, tetapi ia bisa menunjuk pihak-pihak yang menerima aliran dana e-KTP. Ia mengaku tidak pernah menerima atau menikmati aliran dana e-KTP. Ia merasa banyak dimanfaatkan oleh pihak lain.

Bahkan juru bicara KPK Febri Diansyah pernah memberi keterangan bagaimana mau menjadi Juctice Collaborator sedangkan Setya Novanto tidak pernah mengakui perbuatannya dan terlalu berbelit-belit syarat mengajukan sebagai Justice Collaborator adalah mengakui perbuatannya.

Jadi, Setya Novanto ini kalau menyangkut dirinya tidak pernah mengakui perbuatannya dan sering bilang lupa atau tidak ingat, tepapi kalau dengan pihak lain, ia ingat dan tidak lupa.

Bahkan untuk meyakinkan majelis hakin Setya Novanto sampai menangis dan menyesali perbuatannya, entah ini nangis beneran atau nangis bintang sinetron, karena Setya Novanto ini juga ahli merekasaya cerita, contoh soal kecelakaan dan sakit itu.

Tentu pihak KPK juga tidak akan gegabah apa yang disampaikan oleh Setya Novanto,semua akan divalidasi dengan bukti-bukti,bukan karena katanya-katanya.

Mudah-mudahan semakin terang benderang pihak-pihak yang menerima aliran dana e-KTP karena proyek ini banyak merugikan negara dan banyak melibatkan wakil rakyat dan pengusaha.

***

Editor: Pepih Nugraha