Kisah Liberalisme, Tolong Bayinya Jangan Dibuang!

Rabu, 21 Maret 2018 | 06:34 WIB
0
630
Kisah Liberalisme, Tolong Bayinya Jangan Dibuang!

Alkisah, seorang ibu sedang memandikan bayinya di dalam sebuah bak mandi kecil. Tubuh dan rambut sudah dibersihkan dengan sabun dan shampoo terbaik.  Semua kotoran sudah lenyap dari tubuh, walaupun masih menggenang di air cucian bayi.

Setelah selesai, air kotorannya pun dibuang. Lalu, apakah bayinya juga dibuang? Tentu saja tidak. Hanya orang sakit yang membuang bayi bersama dengan air cuciannya, setelah ia selesai mandi.

Inilah cerita soal liberalisme. Di Indonesia, ia banyak disalahpahami. Ia juga ditakuti, karena dianggap sebagai simbol kebudayaan Barat yang siap menjajah seluruh dunia. Namun, sama seperti cerita di atas, kita tidak boleh membuang liberalisme begitu saja, hanya karena kita tidak sungguh memahaminya.

Sebagai sebuah paham, liberalisme adalah sesuatu yang luhur. Ia bisa dikatakan sebagai salah satu temuan terbaik peradaban manusia. Tentu saja, ia punya kelemahan. Namun, jangan sampai kelemahan tersebut menutupi mata kita dari keluhuran dan keberhasilan paham liberalisme.

Liberalisme untuk Indonesia

Kata liberalisme berasal dari bahasa Latin liber yang berarti bebas. Ia adalah sebuah pandangan dunia (Weltanschauung) yang berpijak pada kebebasan pribadi setiap orang, tanpa kecuali. Perkembangan pribadi manusia dilihat terkait erat dengan kebebasan yang ia miliki. Maka itu, kebebasan merupakan titik pusat dari hidup manusia.

Liberalisme lahir sebagai tanggapan terhadap dunia yang ditindas dan dijajah oleh para penguasa. Para penguasa menentukan segalanya, tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat yang dikuasainya. Kemiskinan, penindasan dan penderitaan pun tersebar luas di banyak negara. Keadaan ini begitu parah, sampai meledak pada satu titik yang bernama revolusi.

Pada abad 19, banyak gerakan sosial tumbuh di Eropa Barat untuk menentang penguasa yang menindas semacam itu. Gerakan ini mendapatkan inspirasi, salah satunya, dari paham liberalisme yang dikembangkan oleh para pemikir Pencerahan. Mereka adalah Jean Jacques Rousseau dari Perancis, John Locke dari Inggris dan Immanuel Kant serta jajaran para pemikir Idealis di Jerman. Lepas dari segala perbedaan argumen, mereka sepakat, bahwa kekuasaan penguasa harus dibatasi, sehingga warga bisa mengembangkan hidupnya sesuai dengan kebebasan yang mereka punya.

Liberalisme, sebagaimana dinyatakan oleh Gern Schneider di dalam terbitan Bundeszentrale für politische Bildung, berpijak pada tiga hal. Yang pertama adalah hak-hak asasi manusia (Menschenrechte). Ini adalah hak yang dimiliki setiap orang, semata karena ia adalah manusia, lepas dari latar belakang suku, ras ataupun agamanya. Hak-hak asasi manusia melindungi orang dari penindasan penguasa yang seringkali bertindak tidak adil.

Yang kedua adalah kebebasan berpendapat (Meinungsfreiheit). Setiap orang berhak memiliki sudut pandang yang berbeda dari penguasa, dan dari orang-orang lainnya. Orang lalu bisa menyampaikan sudut pandang tersebut secara publik, tanpa harus takut akan teror atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Toleransi adalah salah satu unsur penting dari kebebasan berpendapat ini.

Didorong lebih luas, kebebasan berpendapat mengantarkan kita pada kebebasan beragama (Religionsfreiheit). Orang berhak untuk memilih agama, sesuai dengan hati nuraninya, tanpa takut pada tekanan sosial. Orang juga berhak untuk berpindah agama, jika hati nuraninya mendorongnya untuk melakukan hal itu.

Kebebasan berpendapat juga melingkupi pula kebebasan pers (Pressefreiheit). Pers memiliki kemandirian dari kekuasaan negara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Mereka juga bertugas mengawasi segala kerja dan kebijakan penguasa, supaya tidak melanggar hukum dan hak-hak asasi manusia rakyatnya.

Yang ketiga adalah prinsip negara hukum (Rechtsstaat). Di dalam negara hukum, yang menentukan adalah aturan main yang telah disepakati bersama secara adil, terbuka dan egaliter sebelumnya. Penguasa tidak bisa bertindak seenaknya. Semua warga memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum, tidak peduli apa status ekonomi, politik, suku, ras maupun agama yang mereka punya.

Semua prinsip tersebut sudah diterapkan di Indonesia. Tentu saja, tantangan masih terus datang menghadang. Namun, jika ditanya, tentu kita semua ingin hidup di masyarakat yang menghormati hak-hak kita sebagai manusia, dan tidak menindas kita seenaknya. Lalu, mengapa kita masih takut pada liberalisme, jika kita sudah, dan terus ingin, menerapkannya?

Ini terjadi, karena dua hal. Pertama, kita masih belum paham betul prinsip-prinsip yang menopang liberalisme. Kedua, walaupun sudah paham, kita takut akan efek samping yang merugikan dari paham liberalisme. Inilah yang kiranya memang penting untuk dicermati.

Efek Samping Liberalisme

Kiranya, ada tiga hal yang bisa muncul dari penerapan liberalisme. Yang pertama adalah hancurnya tradisi dan budaya. Ketika kebebasan diagungkan, tradisi dan budaya, yang memang penuh dengan aturan yang mengikat, tentu ditinggalkan. Tanpa tradisi dan budaya yang mengikat, identitas masyarakat tersebut pun mengalami krisis.

Hal ini memang sangat nyata dirasakan di banyak negara. Terciptalah lalu jurang antar generasi yang amat besar. Generasi tua, yang masih percaya pada tradisi dan budaya, dianggap ketinggalan jaman. Sementara, generasi muda, yang penuh dengan semangat kebebasan, dianggap kurang ajar. Masyarakat pun terpecah belah.

Keadaan ini terhubung dengan efek samping kedua, yakni hancurnya moralitas. Ketika tradisi dan budaya dilupakan, nilai-nilai moral pengikat masyarakat pun juga ikut dilupakan. Hidup bersama akan penuh kekacauan. Kebebasan lalu dipahami sebagai bertindak seenaknya, dan akhirnya mengacaukan hidup bersama.

Tanpa nilai-nilai moral yang mengikat hidup bersama, individualisme dan egoisme ekstrem akan tumbuh menjadi budaya baru yang merugikan semua pihak. Orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain, maupun kepentingan alam. Akibatnya, hidupnya terasa sepi dan hampa. Ini sejalan dengan argumen dari Erich Fromm, seorang pemikir Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Die Furcht vor der Freiheit.

Efek samping ketiga adalah kesenjangan dan ketidakadilan sosial. Tata ekonomi liberalisme memang membuka ruang untuk bisnis selebar mungkin. Sayangnya, aturan-aturan yang menjaga stabilitas sosial pun ikut dihilangkan. Akibatnya, masyarakat pun, secara perlahan namun pasti, masuk ke dalam keadaan, dimana jurang antara yang kaya dan yang miskin semakin besar.

Kekayaan negara tidak dibagi secara merata. Orang juga lalu berhasil bukan karena usaha, tetapi karena keturunan keluarga. Ironisnya, tata ekonomi liberalisme kembali menciptakan ekonomi feodalisme yang sebelumnya ingin ditolaknya sendiri. Pendapat ini diungkapkan dengan sangat sistematik oleh Andrea Hense di dalam bukunya yang berjudul Wahrnehmung der eigenen Prekarität: Grundlagen einer Theorie zur sozialen Erklärung von Ungleichheitswahrnehmungen.

Upaya Lebih Lanjut

Bayi tidaklah boleh dibuang bersama dengan air kotor, setelah ia selesai mandi. Begitu pula liberalisme tidak boleh ditolak sama sekali, hanya karena ia memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan liberalisme, seperti sudah diungkapkan di atas, bukanlah kelemahan mutlak. Ada tiga upaya yang mungkin untuk menanggapinya secara tepat.

Pertama, tradisi dan budaya tidak harus lenyap, ketika berhadapan dengan liberalisme. Sebaliknya, tradisi budaya justru bisa diangkat ke tingkat yang lebih tinggi. Ia tidak lagi soal larangan, aturan dan kepatuhan buta, melainkan sebagai pedoman akan makna dan tujuan hidup manusia. Dalam arti ini, pendidikan tradisi dan budaya justru bisa sejalan dan berkembang di dalam masyarakat liberal.

Kedua, hal yang sama berlaku dalam soal moralitas. Liberalisme tidak melulu harus menciptakan egoisme ekstrem dan individualisme. Kebebasan yang ada justru bisa digunakan untuk mengembangkan diri dalam kaitannya dengan hidup bersama. Disinilah arti pentingnya pendidikan moralitas dan spiritualitas yang bergerak melampaui batas-batas agama, budaya, suku dan ras. Belajar dari Julian Nida-Rümelin, pemikir Jerman, terutama di dalam bukunya yang berjudul Philosophie einer humanen Bildung, pendidikan moral harus berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan universal, kebebasan dan akal sehat.

Tiga, liberalisme juga tidak melulu harus menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan sosial, seperti yang terjadi di beberapa negara. Beberapa langkah pembenahan bisa dilakukan, seperti yang disarankan oleh Franz Josef Radermacher di dalam bukunya yang berjudul Ökosoziale Marktwirtschaft: Historie, Programmatik und Alleinstellungsmerkmale eines zukunftsfähigen globalen Wirtschaftssystems. Tata ekonomi liberal bisa dipadukan dengan dibangunnya jaminan sosial untuk seluruh warga dalam bidang kesehatan serta pendidikan, dan juga kepedulian pada kelestarian alam. Langkah ini tentu membutuhkan kesepakatan dan kerja sama di tingkat global.

Jangan membenci dan menolak liberalisme, hanya karena salah paham. Jangan membenci dan menolak liberalisme, hanya karena ia masih memiliki kelemahan. Beberapa langkah nyata bisa dilakukan, supaya kita bisa mendapatkan kenikmatan kebebasan ala liberalisme, tanpa jatuh ke dalam dampak-dampaknya yang merusak. Akhir kata, tolong, bayinya jangan dibuang bersama dengan air kotornya, setelah ia selesai mandi…

***

Editor: Pepih Nugraha