Jakarta Post Demi Jokowi: "A Bridge Too Far"

Minggu, 18 Maret 2018 | 19:13 WIB
0
834
Jakarta Post Demi Jokowi: "A Bridge Too Far"

A bridge too far (Jembatannya kejauhan) adalah judul film berdurasi panjang yang menggambarkan kegagalan Pasukan Sekutu dalam Operation Market-Garden, sebuah kampanye militer di bawah kendali Jenderal Bernard Montgomery (Inggris), September 1944.

Monty menawarkan gagasan yang dalam optimismenya sendiri "spektakuler": menaklukkan Jerman-Nazi dalam 3 bulan (!) dan Perang Dunia II dapat diakhiri sebelum Natal tahun itu. Pasukan Sekutu bisa pulang ke kampung masing-masing lebih awal.

Bayangkan kedudukan Sekutu di Jogja dan Nazi di Surabaya. Kekuatan Sekutu dalam proyeksi orisinil akan menempuh jalur selatan. Rute Pacitan-Tulungagung-Malang lalu menusuk Surabaya. Rutenya memang menyusur hutan dan membelah gunung. Monty datang dengan proposal jalur utara. Sedikit hutan dan gunung selebihnya datar mulus. Ke Semarang dulu lalu Kudus-Rembang-Tuban.

Sedari awal proposal Monty terbaca muluk. Terlalu muluk. Keberhasilan operasi memiliki terlalu banyak titik kritis, bersifat "tergantung cuaca", dan, sebagaimana makna di balik samaran nama Market-Garden, operasi ini nyaris bersifat "eksperimental". Monty mengkombinasi operasi udara (disamarkan sebagai Market) dan operasi darat (Garden) yang ketika itu terbilang "baru" dalam sebuah kampanye militer. Terlihat brilyan namun sangat mengandalkan faktor keberuntungan belaka dan taruhannya kelewat besar.

Atasan Monty, Jenderal Dwight Eisenhower (Amerika Serikat) yang ber-style "jenderal manajemen" menerima proposal itu. Sedikit banyak karena bosnya di Washington, Presiden Roosevelt, kali ini harus "mengalah" pada Perdana Menteri Churchill dan Raja George di London, yang beberapa waktu sebelumnya telah mengalah, menyepakati Eisenhower sebagai Panglima Tertinggi Sekutu di Eropa. Ada pun Jenderal Montgomery adalah saingan Eisenhower ketika lowongan jabatan bergengsi itu dibuka.

Ike mengarahkan sumber daya Sekutu ke utara, kecuali Jenderal George Patton yang disimpan untuk menjadi "satpam" di garis-depan Selatan. Hal mana membuat Ike harus sedikit repot meredam emosi Panglima Bala Tentara AS Ketiga itu. 3rd Army di bawah Patton berada di jalur selatan dan telah siap dalam segala hal untuk menembus batas tanah air Jerman.

Operasi Market-Garden pada akhirnya gagal. Titik-titik kritis yang sudah diidentifikasi sebelumnya benar-benar membawa dampak buruk. Divisi lintas-udara (linud) yang kejauhan terjun dari lokasi sasaran, waktu-tiba divisi darat di lokasi yang telah di-secure oleh divisi udara yang molor jauh, pergerakan pasukan yang menjadi melambat di area perkotaan, dan berbagai dampak lain berakumulasi menyebabkan tak tercapainya target-target awal.

Yang menyedihkan, sejumlah informasi intelijen yang masuk ke meja kendali tempur diabaikan begitu saja. Di salah satu droping zone, pasukan linud yang masih melayang dengan payung terjunnya di udara di-"cincang" dari bawah dengan mudahnya oleh tentara Jerman-Nazi yang sudah lebih dulu tahu bakal kedatangan mereka.

[irp posts="11400" name="Jusuf Kalla di Afghanistan Ciptakan Perdamaian sebagaimana Aceh"]

Puncak-puncaknya Sekutu tertahan di dekat kota Arnhem, Belanda, tak sanggup merebut jembatan yang membentang di atas Sungai Rhine, sungai yang menjadi "hambatan alam" terbesar yang apabila berhasil dilalui Sekutu, berarti kemenangan sudah di tangan.

Tak sanggup, tak cukup kuat, tak mampu, atau istilah apa pun itu. Sutradara yang mengangkat kisah nyata ini ke dalam film telah dengan "sopan" mengganti ke-tak-an itu dengan kalimat "jembatannya kejauhan". A bridge too far. Sekutu akhirnya mundur. Kerugian sangat besar. Ribuan prajurit gugur. Ribuan lain ditawan. Beberapa Divisi Tempur hancur.

Pagi tadi saat membuka browser, perambah dunia maya Chrome besutan eMbah Google memancarkan cahaya ke mata saya. Menawarkan imaji huruf-huruf yang menjadi kalimat berbunyi: Afghanistan: A bridge too far. Redaksi The Jakarta Post melalui editorialnya mengatakan Taliban mempermalukan inisiatif perdamaian yang diprakarsai Jokowi sebagai sebuah rencana yang direkayasa oleh "infidels".

Agak ngeri ngeri juga melihat arti "infidel" itu. Kamus (yang dari eMbah Google juga) bilang definisi "infidel" adalah "a person who does not believe in religion or who adheres to a religion other than one's own".

Jokowi, bagaimana pun juga menurut JakPost, ngeyel bahwa rencana perundingan yang digagasnya tetap akan berjalan walau tanpa kehadiran Taliban. Dia ngotot menindaklanjuti kunjungannya ke Afghanistan bulan lalu, dengan menawarkan dirinya sendiri sebagai juru-damai yang dapat dipercaya bagi negara yang sedang bergolak perang itu.

Namun, Jokowi (Jakpost menghaluskan dengan menyebut "Pemerintah"), harus ingat kalau akar masalah peperangan Afghan terlalu ribet untuk diatasi. Secara geografis, Afghanistan kata JakPost terlalu jauh dari kita (padahal enggak jauh-jauh amat, sih.

Aceh ke Afghanistan 4000 kilo. Aceh ke Jayapura 5000, hehehe). JakPost kembali menekankan: perang di sana sudah berlangsung lebih dari 40 tahun dan melibatkan kekuatan-kekuatan besar semacam Amerika Serikat (padahal, Indonesia sendiri pernah berkutat dan menyelesaikan masalah yang juga berlangsung puluhan tahun: Gerakan Aceh Merdeka. Dan sampai sekarang, Indonesia masih menghadapi sisa-sisa Organisasi Papua Merdeka).

JakPost bilang: Afghanistan is a bridge too far for Indonesia.

JakPost, yang pada Pilpres lalu secara terang-terangan mem"promo" Jokowi sebagai Capres yang paling pas untuk negeri ini, dalam amatan saya terlihat "khawatir" Jokowi akan hilang poin banyak dari taruhannya masuk "ngurusin" konflik Afghan. Bukan Jokowi-nya yang salah dari sikap ngeyelnya, tapi memang "Jembatannya yang kejauhan".

Dalam satu paragraf di tengah editorial itu, Jakpost terlihat "membujuk" pembacanya untuk "maklum-maklum saja" dengan motif di balik upaya Jokowi. Katanya: Motif Jokowi untuk menekankan jati diri sebagai pemimpin dunia Muslim dalam upaya mewujudkan perdamaian ini DAPAT DIMENGERTI (understandable) karena lawan-lawan politiknya melabeli dia sebagai anti-Islam, walau pun Jokowi pernah membantu warga Palestina dan Rohingya.

Saya melihat, hidung redaksi JakPost sudah demikian tajam mengendus bakal tak bermaknanya "perundingan damai" yang digagas Jokowi, sehingga bukan hanya "Jembatannya" yang disalahin karena "Kejauhan", JakPost menyetir alam bawah sadar pembacanya ke "lawan-lawan politik" Jokowi. Atau mungkin, alam bawah sadar tim editorial JakPost yang telah telanjur "paten" untuk mengaitkan segala kemungkinan kegagalan Jokowi (disebabkan) karena lawan-lawan politiknya.

Lihat saja, JakPost (mungkin tidak menyadari) makin jauh "belok" ke politik dalam negeri, dengan mengatakan: Upaya Jokowi untuk nyapres kembali akan mendapat penguatan signifikan apabila ia dapat membawa pihak-pihak yang bertikai di Afghanistan ke meja perundingan.

Melihat "perilaku" JakPost di atas, dalam "sense" saya, akan ada upaya "damage control" besar-besaran dari perundingan damai besutan Jokowi yang telah tampak "gagal sebelum terjadi" ini. Statement keras Taliban yang dikumandangkan ke jagad via official website kelompok garis keras ini Sabtu lalu sudah cukup menjadi indikator pasti dari kegagalan tersebut.

Lha, sebagai faksi yang paling "bikin ribut" dalam konflik Afghan saat ini, kehadiran delegasi Taliban adalah kunci keberhasilan perundingan. Taliban hadir saja, tanpa menunggu apakah perundingan itu benar-benar menghasilkan kesepakatan damai atau tidak sama sekali, sudah menjadi poin signifikan bagi Jokowi. Lha, ini, Jokowi malah "ngeyel" tetap mau lanjut walau tanpa Taliban. Mikir apa ora, ya?

Minimal, seperti yang sering dilakukan sejumlah "pemandu sorak medsos" yang kerap mengabarkan Jokowi dan tingkah lakunya dari berbagai sudut kamera, kehadiran tokoh-tokoh bersorban dari Afghanistan walau pun bukan Taliban akan diolah menjadi sesuatu yang "Booming". JakPost sendiri saya lihat sudah langsung memulai program "damage control" itu sendiri dengan menyisipkan kalimat yang meaningless (tanpa arti), tapi cukup signifikan membangkitkan kesan "wah" gitu lho.

JakPost menulis: The President must realize that he faces mission impossible, but he is out to turn it into mission possible with the help of Vice President Jusuf Kalla. The Vice President is experienced as a peace broker in his role when mediating reconciliation talks with the government and Aceh separatists, and warring Muslims and Christians in Maluku and Poso in Central Sulawesi.

"Sang presiden (kata JakPost) harus memahami bahwa ia menghadapi "misi yang tak mungkin", tetapi ia maju mengubahnya menjadi "misi yang mungkin" dengan bantuan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sang Wakil Presiden berpengalaman sebagai juru damai dalam perannya memediasi rekonsiliasi antara pemerintah dan GAM, dan antara warga Muslim dan Kristen dalam konflik Maluku dan Poso di Sulawesi Tengah".

[irp posts="9418" name="Afghanistan dan Penghargaan untuk Presiden Jokowi"]

Kalimat pertama benar-benar tanpa makna. Si presiden oleh JakPost awalnya disarankan untuk "memahami" bahwa ia menghadapi "mission impossible". Lalu pada anak kalimat berikutnya, JakPost (entah atas dasar apa) menobatkan sang presiden telah mengubah "mission impossible" itu menjadi "mission possible" dengan bantuan Wapres. Apakah mewujudkan perdamaian di Afghan (yang memang masih "impossible" saat ini) telah berhasil dilakukan oleh Jokowi, sehingga statusnya telah menjadi "possible"? JakPost terlalu mengawang-awang.

Sementara pada kalimat kedua, isinya adalah pendeskripsian status Wapres Jusuf Kalla yang "berpengalaman". Kalimat kedua ini pun sama sekali tidak membuktikan bahwa yang tadinya "impossible" telah menjadi "possible" di tangan Jokowi.

Tidak cukup hanya itu, saya melihat untuk "mengobati" hal yang telah tampak "gagal sebelum terjadi" ini, JakPost mengibas-ibaskan obat "Palestina dan Rohingya". Kata JakPost: "Dukungan besar dan jelas Jokowi untuk kemerdekaan Palestina telah mendapatkan penghargaan baik dalam maupun luar negeri dan upayanya mengatasi krisis Rohingya, walau pun masih dalam proses, ke depan akan menjadi tanda penting pada catatan diplomatiknya".

"Afghanistan", JakPost mengakhiri, "benar-benar terlalu jauh bagi Indonesia...."

***

Editor: Pepih Nugraha