Stephen Hawking, "Professor University of Life"

Jumat, 16 Maret 2018 | 12:56 WIB
0
608
Stephen Hawking, "Professor University of Life"

Dunia kembali berduka. Salah seorang putra terbaiknya. Steven Hawking yang lahir pada tanggal 8 Januari 1942  sudah meninggalkan dunia ini pada tanggal 14 Maret. 2018 di Cambridge, Inggris. Sudah terlalu banyak yang membahas tentang kepiawaian Steven Hawking di bidang sains. Dan hasil karyanya yang gemilang sebagai seorang Fisikawan terkenal di dunia.

Akan tetapi sesungguhnya, di luar kejeniusannya dalam menelorkan berbagai teori serta ramalan-ramalan yang menuai kontroversial, sesungguhnya Steven Hawking bukan hanya layak mendapatkan gelar Professor di bidang sains, tetapi juga sebagai Professor of University of Life.

Bila kita menyimak penderitaan yang dialaminya sebagai penderita Amythropic Lateral Schlerosis (ALS) sejak tahun 1963 atau  tepat pada usia yang masih relatif sangat muda 21 tahun, yang bagi orang lain mungkin sudah merupakan kiamat pribadi. Saat didiagnosis ALS, Hawking divonis hanya mampu bertahan 2 tahun.

Ingin Membuat Sisa Hidupnya Berarti

Dalam buku autobiografi singkat "Stephen Hawking: My Brief History", ia mengungkapkan bahwa ia tak langsung bisa menerima penyakitnya. Awalnya, ia merasa merasa bosan dengan hidupnya, merasa tak ada hal berguna yang bisa dia lakukan. Sebuah pengalaman di rumah sakit lantas mengubahnya.

"Saya melihat seorang anak laki-laki di ranjang sebelah mati karena leukemia. Itu bukan pengalaman yang baik. Jelas ada orang yang kondisinya lebih buruk dari saya. Kapan pun saya merasa tidak berharga, saya selalu mengingat anak laki-laki itu."

"Segera setelah saya keluar dari rumah sakit, saya merasa seperti akan dieksekusi. Saya lalu menyadari bahwa banyak hal berharga yang bisa dilakukan jika saya tangguh. Saya juga bermimpi mengorbankan hidup untuk orang lain. Jika saja saya mati setelahnya, setidaknya saya melakukan hal baik," tulisnya.

Hawking lantas mengabdikan hidupnya di bidang fisika teoretis

Yang sungguh mengagumkan  adalah menyimak apa yang dikatakannya:

"Saya percaya orang dengan keterbatasan seharusnya berkonsentrasi melakukan yang tetap bisa dikerjakan dengan kursi roda dan tidak menyesali hal lain yang tidak bisa dilakukan," katanya. Dalam bahasa religius, hidup Hawking mengajarkan untuk bersyukur dan pantang menyerah.

Bagi yang pernah merasakan sakit parah ,bahkan hasil diagnosa para medis,sudah tidak ada harapan lagi,mungkin dapat merasakan betapa galaunya menjalani hidup,yang sewaktu waktu  bisa terhenti.

Namun, ternyata Steven Hawking mampu tegar menghadapi kepahitan hidup sehingga bisa bertahan hingga usia 76 tahun. Bahkan selama itu ia memahami bahwa berkeluh kesah dan menyesali kondisinya yang terkena penyakit mematikan, tidak akan mengubah apapun.

Karena itu ia bertekad untuk mengisi sisa hidupnya dengan hal hal yang bermanfaat bagi dunia. Dan Steven Hawking  sudah membuktikannya. Ia meninggalkan dunia setelah menjadikan  hidupnya penuh arti.

Terlepas dari hal hal yang mengundang kontroversial baik dari kajian kajiannya yang dituangkan dalam bentuk buku maupun berupa ramalannya yang belum tentu diterima oleh dunia secara utuh.

Steven Hawking patut dijadikan guru kehidupan bagi kita semua dan bagi dunia, yakni: "Jangan pernah menyerah!"

Catatan pribadi: Walaupun diri saya bukan siapa-siapa, tapi  saya pernah mengalami hal yang senada, yakni dalam usia 19  tahun,jatuh dari pohon dan mengalami perdarahan,serta geger otak. Tergeletak ditempat tidur berbulan bulan dan tim dokter mengisyaratkan sudah tidak ada lagi harapan. Saya bersyukur, Tuhan mengizinkan saya sembuh dan masih sehat serta segar bugar hingga saat ini. Karena itu saya ingin mengisi hidup dengan hal yang kiranya bermanfaat bagi orang banyak, setidaknya dengan berbagi pengalaman hidup lewat tulisan.

***

Editor: Pepih Nugraha