Media Mainstream Masih Jadi Rujukankah?

Jumat, 16 Maret 2018 | 13:14 WIB
0
681
Media Mainstream Masih Jadi Rujukankah?

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengungkapkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream di Indonesia meningkat pada tahun 2017 ke 2018. Merujuk pada Edelman Trust Barometer Global Report 2018, saat ini tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media sosial tergerus karena tingkat keakurasian yang tidak menjadi prioritasnya.

“Trust terhadap media mainstream ini meningkat. Dari 28 negara, Indonesia berada pada urutan kedua setelah Tiongkok,” kata Rudiantara dalam Peringatan Hari Ulang Tahun Harian Waspada ke-71 di Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu 14 Februari 2018.

Menteri Kominfo selanjutnya berpesan kepada pengelola Harian Waspada agar tidak tergiur dengan media sosial. Pasalnya, momentum seperti ini perlu mereka manfaatkan agar media mainstream tetap menjadi rujukan terpercaya masyarakat. Tanpa perlu mengandalkan kecepatan, Menteri Rudiantara berharap bahwa keakurasian adalah hal yang tetap harus diutamakan dibandingkan dengan kecepatan.

Jawa Pos masuk dalam media mainstream. Tanggal 4 Maret 2015, Jawa Jawapos.com menayangkan berita “Tersangka Muslim Cyber Army Diduga Ahokers.” Tangal 5 Maret 2015, Jawa pos menghapus berita itu dan minta maaf. Fadli Zon dan Fahri Hamzah mengcopas berita media mainstream itu yang dijadikan rujukan dangan tambahan kepsyen.

Fadli Zon dan Fahri Hamzah dilaporkan ke polisi atas tuduhan menyebarkan berita hoaks terkait pemberitaan Muslim Cyber Army yang dimuat Jawapos.com itu. Pelapornya adalah Muhammad Rizki, yang merupakan saudara dari Husin Shihab yang sebelumnya dilaporkan oleh Fadli Zon ke Bareskrim Mabes Polri terkait hoaks.

"Yang kami laporkan ada postingan Pak FH (Fahri Hamzah) di Twitter yang sampai hari ini tidak dihapus. Padahal sudah dihapus dari media pemilik berita dan sudah meminta maaf tetapi tetap saja pemilik akun FH tetap mempertahankan dan membenarkan berita itu, padahal faktanya berita itu hoax. Posisinya juga sama FZ (Fadli Zon) kami laporkan karena me-retweet," kata Zakir di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Metro Jaya, Senin 12 Maret 2018.

Dalam akun twitter @Fahrihamzah tertulis "Dari web resmi @jawapos menemukan bahwa ketua MCA adalah Ahoker. Jadi maling teriak maling dan ngaku Muslim segala. Ayok @DivHumas_Polri selesaikan barang ini. Jangan mau merusak nama Polri dengan menyerang identitas agama."

Sementara akun @fadlizon menulis "Kesalahan rezim ini tak mengerti sejarah termasuk peran umat Islam yang sering disudutkan. Terakhir ini soal labeling "MCA" MUSLIM Cyber Army."

Menurut Zakir kedua akun tersebut seharusnya juga memberikan klarifikasi usai Jawapos.com menyatakan permintaan maaf soal pemberitaan tersebut.

"Kami juga minta itu kenapa masih dipertahankan postingan itu tapi karena tidak ada klarifikasi makanya kami laporkan itu. Karena kita tahu berita itu hoaks, dasarnya sudah ada permintaan maaf dari media yang bersangkutan dan ada klarifikasi tertulis melalui media yang bersangkutan. Jadi saya pikir ketika berita itu dipertahankan berarti orang itu menyebarkan hoaks, makanya kami laporkan," tuturnya.

Jadi? Berarti kesalahan FH dan FZ karena tidak menghapus kicauannya? Berita hoax yang dipublikasikan oleh media mainstream Jawa Pos bisa aman hanya dengan mencabut dan minta maaf?

[irp posts="1794" name="Mengapresiasi Oposisi Pop ala Duo Pimpinan DPR RI Fahri-Fadli"]

Kebetulan saya cukup punya waktu melototin media sosial. Sewaktu berita itu tersebar, saya agak curiga, kalau nggak hoax, pasti akan “dijadikan” hoax. Saya tidak ikutan ngesyer, bersabar menunggu beberapa hari. Ternyata hanya dalam sehari sudah dihapus.

Misalnya begini. Kalau seseorang ngesyer berita dari media mainstream yang oleh Menkominfo bisa dijadikan rujukan, lalu media itu mencabut berita. Nah, seseorang yang ngesyer itu karena kesibukannya atau sebab lain nggak buka hape pintarnya beberapa hari. Pokoknya nggak berurusan dengan media sosial.

Siapa yang akan jadi penjahatnya? Media mainstream yang pertama memberitakan dan sudah mencabut? Atau yang ngesyer karena kesibukannya tidak menghapus?

Jawabanntya nggak bisa kalau hanya bisa dilihat dari sudut pandang camera yang pas. Cameramannya harus anti mainstream.

***

Editor: Pepih Nugraha