Benyamin Sueb dan Renaisans Betawi

Sabtu, 10 Maret 2018 | 06:40 WIB
0
1071
Benyamin Sueb dan Renaisans Betawi

“Hanya satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu betawi yang nyaris mati, itu jasanya.” Kalimat itu keluar dari mulut Mus Mualim, musisi jazz terkemuka, yang juga suami dari Titiek Puspa, artis kawakan tiga zaman.

Mus melontarkan kalimat itu ketika Benyamin Sueb, yang biasa disingkat Benyamin S. (baca: ‘Benyamin Es’), atau biasa dipanggil Bang Ben, baru saja merilis film barunya yang laris manis dan sekaligus memanen pujian, Si Doel Anak Modern (1976).

Dalam film yang disutradarai oleh Sjuman Djaja itu, pada 1977 Benyamin mendapatkan Piala Citra keduanya. Sebelumnya, pada 1973, dalam karirnya sebagai aktor yang masih terbilang seumur jagung, Ben mendapatkan Piala Citra pertamanya, juga sebagai aktor terbaik, melalui film Intan Berduri (1972), yang disutradarai Turino Djunaidi.

Pada mulanya banyak orang mengira Benyamin adalah badut yang sekadar menjajakan kekonyolan. Ya, ia baru bermain seni peran pada 1970, melalui film Benyamin Biang Kerok, yang langsung membuat namanya melejit. Majalah TEMPO pada 1977 menulis bahwa sebelum bermain film Benyamin lebih dikenal sebagai “penyanyi dan pelawak kampung”.

Namanya identik dengan gambang kromong, kesenian khas Betawi. Namun, meski film pertamanya langsung membuatnya terkenal, film itu dianggap sebagai peneguhan citra konyol sosok Benyamin. Oleh karenanya, ketika ia diganjar Piala Citra sebagai aktor terbaik pada 1973, banyak orang menjadi terhenyak. Si Badut ini bisa berakting bagus juga!

Membaca kembali riwayat Benyamin memang gampang menerbitkan tawa dan decak. Ketika kecil ia bercita-cita ingin menjadi pilot, namun nasib membawanya menjadi kondektur PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Ia melayani rute Banteng-Jalan Minangkabau-Manggarai. Tapi ia tak puas dengan profesinya itu.

Di balik tampang konyolnya, Benyamin pernah mengecap status sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Sawerigading hingga tingkat dua. Ketika bekerja di PPD, ia menggunakan ijazah SMA-nya, yang diperoleh dari perguruan Taman Siswa. Padahal, untuk pekerjaannya itu, yang dibutuhkan sebenarnya hanya lulusan sekolah dasar. Jadi, ia tidak puas ijazah SMA-nya hanya digunakan untuk pekerjaan selevel lulusan SD.

Setelah keluar dari PPD, selama tujuh tahun berikutnya ia bekerja di perusahaan negara, PN Asbes. Ketika perusahaannya akan melakukan rasionalisasi, Ben memilih cabut. Ia ingin mengabdikan hidupnya untuk musik. Dan sejarah hidupnya membuktikan itu.

Meski terlihat konyol, Ben sebenarnya sangat penuh perhitungan. Dan ia sama sekali bukan badut sebagaimana dikira banyak orang.

Dari cara ia mengutarakan riwayat hidupnya, yang dimuat berbagai media hingga akhir hayatnya, Ben bukan hanya seorang yang memiliki spontanitas yang mengagumkan, terutama dalam hal melahirkan lelucon, tapi juga memiliki wawasan hidup yang tegas dan jernih.

Di balik tampang bloonnya, Ben memang adalah pembaca buku yang serius dan penyuka filsafat. Ia juga gemar membaca biografi tokoh-tokoh terkemuka, seperti Bismarck dan Napoleon.

[caption id="attachment_12224" align="alignleft" width="535"] Benyamin S dalam berita (Foto: Tarli Nugroho)[/caption]

Suatu ketika Benyamin mengaku bahwa rahasia suksesnya sebagai musisi adalah karena ia menggunakan strategi Napoleon ketika menciptakan lagu. Dalam strategi perang, demikian Ben, jika kita punya gagasan jangan pertama-tama ditanyakan kepada jenderal, karena pasti akan “dihabisi”, tapi bertanyalah kepada kopral lebih dulu!

Jadi, ketika ia menulis lagu, untuk mengukur apakah lagu itu bagus atau tidak Ben tidak minta komentar kepada musisi atau kritikus, tapi bertanya kepada anaknya. Jika anaknya senang dengan lagunya, maka menurut Ben berarti lagunya bisa dipahami dan diterima orang lain.

Tampang dan peran yang dilakoninya boleh jadi kebanyakan memerankan tokoh-tokoh bloon, tapi isi kepala Ben tidaklah demikian.

Pembacaan sosialnya yang tajam pula yang telah membuat lagu-lagunya terus dikenangkan hingga kini, dan membuat namanya terpacak sebagai seniman Betawi kontemporer terbesar hingga hari ini.

Ketika musik “ngak-ngik-ngok” dilarang bersamaan dengan masa konfrontasi dengan Malaysia pada awal 1960-an, Ben melihat bahwa lagu-lagu Minang tiba-tiba saja mengorbit dan mendapat tempat. Sebagai orang Betawi ia merasa tertantang: kenapa lagu-lagu Betawi tidak bisa mengambil tempat juga?!

Maka dimulailah petualangannya menggali lagu-lagu Betawi. Belakangan, ketika hasil kerjanya diapresiasi banyak orang, dan reputasi kesenimanannya terus menerbitkan hormat, dengan rendah hati Ben hanya berujar bahwa dirinya sebenarnya tidak tahu apakah ikhtiarnya itu memang telah membangkitkan kembali atau justeru sebenarnya malah telah mengacaukan kebudayaan Betawi. Sungguh, jawaban rendah hati yang kocak.

Ketika ketenaran berhasil direngkuhnya, Ben tidak terjebak menjadi robot industri. Dia menjadi seniman dalam arti yang sebenar-benarnya, tak sekadar menjadi selebritas yang mengandalkan popularitas. Selepas mencipta lagu, menyanyi dan menjadi aktor, Ben belajar menulis skenario dan juga sutradara. Ia belajar dari Sjuman Djaja dan Turino Djunaidi, dua orang penulis dan sutradara yang dihormatinya.

Usaha yang dirintisnya di luar karirnya juga masih berada dalam lingkungan dunia seni dan budaya. Bens Radio yang didirikannya masih mengudara hingga kini. Dia mendirikan PT Jiung Film dan PT Benyamin Bina Bersaudara, yang memproduksi film dan sinetron-sinetron Betawi. Pendek kata, sedari awal, karirnya memang menjadi seorang seniman. Menjadi selebritas adalah konsekuensi dari kesenimanannya.

Membaca lagi riwayat Benyamin pada hari ini bisa membawa kita pada semacam oase. Sulit untuk dimungkiri jika dunia seni peran, musik, dan pentas komedi di tanah air saat ini semakin didominasi para badut, yang sekadar menampilkan kekonyolan dan tak menawarkan konsep apapun.

Ya, ketika dunia hiburan hanya tinggal merayakan kegemparan tanpa pemikiran, kita memang sangat membutuhkan orang-orang seperti Benyamin, yang ketika berpulang pada 1995 silam, banyak orang tak segan menyebutnya sebagai simbol “Renaisans Betawi”.

Dunia hiburan kita memang sedang sangat membutuhkan “pencerahan”. Bukan begitu, Pemirsa?!

***

Editor: Pepih Nugraha