Pondok Pesantren Waria (5): Bu Sherina, "The Intellectual One"

Kamis, 8 Maret 2018 | 22:52 WIB
0
970
Pondok Pesantren Waria (5): Bu Sherina, "The Intellectual One"

Oleh: Novia Nurist Naini

Bu Sherina selaku Ketua Pondok Pesantren Al-Fatah ialah alumnus Fakultas Biologi UGM tahun 80-an. Bu Sherina ketika merasakan ada keganjalan dalam dirinya dimulai dari ia kelas 5 SD, pada saat itu ia sudah bermain dengan anak perempuan ketimbang anak laki-laki dan dalam kehidupan sehari-hari, Bu Sherina lebih menyukai memakai rok daripada celana. Lalu sejak ia SMP perasaan untuk berpindah menjadi perempuan semakin membesar bu Sherina mulai memakai lipGloss di bibirnya dan selalu berkelompokkan dengan anak perempuan.

“Dulu waktu SMP ibu udah mulai pake LipGloss kalo ke sekolah, terus kalo ada kelompokkan olahraga ibu udah dikelompokkin ke kelompok anak perempuan sama guru”

Di kehidupan sehari-hari ibu Sherina yang memiliki nama asli Tri Santoso pernah memiliki suami yang bertahan sampai 15 tahun lamanya. Suami dari bu Sherina ini telah menikah lagi dengan perempuan tulen. Menurut bu Sherina pernikahan waria itu sama halnya dengan pernikahan orang biasa tetapi tidak di catat KUA atau dengan kata lain menikah siri. Waria yang menikah tetap merayakannya, tetapi hanya memanggil tetangga dan keluarga terdekat.

“Waria itu ada dua macam, ada yang suka berumah tangga ada juga yang suka menyendiri mbak, kalo saya dulu pernah menikah dengan seorang lelaki tapi sekarang udah berpisah, tapi kami masih berhubungan baik kok”

Pengetahuan beliau tentang dunia waria dan studi gender juga luas. Ia bisa bicara Simone de Beauvoir dan Jean Paul Sartre. Di FISIPOL, untuk belajar ini setidaknya kalau mau formil dikaji 3 sks. Lihai bicara mengenai corssdressqueery, dan definisi serta peran tokoh-tokoh nasional dan internasional dalam percaturan dunia LGBT.

Mbak YS yang Penuh Rasa Penasaran

Yuni Shara, nama bekennya ialah Mbak YS. Seorang waria yang berasal dari Bekasi dan bertempat tinggal di Gamping Yogyakarta. Waria ini berumur 29 tahun. Dia selalu menggunakan pakaian feminim. Dia secara fisik ada yang di rubah dengan menambahkan payudara. Dia sehari-hari bekerja di lsm-lsm yang tidak mau disebutkan olehnya. Dia sudah menjadi santri 2010.

Dia juga bercerita bagaimana dia memutuskan untuk menjadi waria, dia pada awalnya sudah merasa aneh dengan dirinya, masa kecil dia merasa berbeda dengan dengan anak laki-laki lainnya. Dia cenderung lebih suka berpakaian wanitai, menggunakan rok, dress, dan cenderung bermain boneka. Pernah juga waktu kecil dia dibelikan mainan truk plastik, dengan tegas di melempar mainan itu dan menangis ingin dibelikan boneka.

Lalu hal ini menjadi-jadi ketika dia memasuki jenjang sekolah menengah pertama. Dia pada awal tetap mengikuti aturan sekolah dengan menggunakan seragam laki-laki. Namun, setelah menginjak kelas 2 SMP, dan setelah itu dia ingin menggunakan seragam wanita, namun pihak sekolah tidak bisa mengizinkan lalu pada akhirnya dia keluar dari sekolah.

Namun, dia akui jika dia khitan. Terkadang dia juga mengamen untuk mencari uang. Lalu sedikit bercerita tentang ponpes, dia bercerita bahwa bulan Januari 2016 kemaren terjadi penggerebekan ponpes oleh FJI (front Jihad Islam).

Salah satu pertanyaan beliau di kajian,

“Ustadz, saya tuh suka mikir. Kan ada jutaan manusia di dunia ini. Apakah malaikat pencabut nyawa jumlahnya juga jutaan? Kan capek kalo malaikatnya cuma satu”.

Lalu,

“Ustadz, saya kemarin salat tahajud terus nangis kan. Air matanya jatuh ke sajadah. Itu boleh nggak? Atau najis?”

Mbak YS juga menuturkan kalau ingin sungguh-sungguh menjadi santri di Pondok Pesantren “beneran”.

“Saya tuh pengeeen banget nyantren yang beneran. Tapi ya emang ada yang mau nerima saya selain Al Fatah ini? Kan saya beda. Saya juga nggak punya banyak duit”.

Mbak Ririn dan Suami?

Mbak Ririn (54 tahun), yang sempat berkuliah selama 3 tahun di Teknik Sipil, Fakultas Teknik, IKIP Yogyakarta. Dulunya, ia bersekolah di teknik bangunan STM di Yogyakarta. Ia bertempat tinggal di Badran, Kota Yogyakarta dan merupakan penduduk Kota Yogyakarta sejak lahir.

Mbak Ririn memiliki rambut asli pendek ikal, kulit sawo matang dan leher agak melingkar menandakan kesuburan. Waktu penulis melakukan wawancara, ia memakai wig yang modelnya seperti Dora The Explorer, cepak, lurus rapi, berwarna hitam dengan segelintir cokelat keemasan. Jika pertama kali melihat, acapkali orang menaksirnya berusia 30 hingga 40 tahun. Padahal, sudah lebih dari masa golden year.

Mbak Ririn memilih tidak melanjutkan kuliah, setelah ada kecamuk dalam dirinya untuk berpindah diri menjadi perempuan. Dengan bekal rembugan dengan orangtua, ia yang merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara memutuskan untuk menentukan hidup yang ia pilih sendiri tersebut, dengan pertimbangan yang matang.

Setelah pergulatan “ingin menjadi” tersebut dia alami di kelas 5 SD, maka dengan bulat di usia 20 tahun ia keluar dari bangku kuliah. Keluarganya mengatakan tidak melarang maupun tidak begitu menyetujui keputusan Mbak Ririn tersebut. “Kamu sudah berhak menentukan hidupmu sendiri”.

Di masa sekolah dasar hingga STM, ia kerapkali menjuarai lomba yang berhubungan dengan kerajinan tangan. Di antaranya lomba memasak tingkat SD se-DIY, lomba membuat kerajinan flannel, lomba menjahit dan aneka handicraft. Beberapa bulan yang lalu, ia menjuarai pula lomba fashion show  waria se-DIY.

Pascakeluar, ia memilih kursus di tiga keahlian diantaranya kursus tata rambut, tata rias dan menjahit. Dengan passion yang dimiliki, Mbak Ririn mulai mengembangkan diri secara professional dengan membuka salon kecantikan. Namun tidak bertahan lama, usaha tersebut tutup. Kini, Mbak Ririn memilih menjadi tata rias keliling yang on call sesuai kebutuhan pelanggan.

Di kehidupan pribadi, ia beberapa tahun yang lalu menjalin hubungan dengan seorang pria yang ia kenal selama 7 tahun lamanya. Mereka bersahabat baik.

“Orang bukan aku loh Mbak yang ngajak dia tinggal bareng di rumah. Dia yang awalnya suka sama aku. Kalo aku ke dia seneng”

“Bedanya suka sama seneng itu apa Mbak?”

“Seneng itu ya seneng mbak, seneng semua yang ada pada seseorang. Jadi nggak kayak cinta gitu, yang pakai perasaan. Gitu deh. Nah, jadi dia itu karena suka sama aku, ya aku tantangin buat ketemu bapak sama ibuku di rumah. Akhirnya dia dateng ke rumah. Dia minta aku ke orangtua dan keluargaku baik-baik. Dia mau menafkahiku lahir dan batin. Ya gitulah nggak usah diperjelas lagi apa maknanya semua juga sudah tau. Jadi nggak kayak waria lain. Biasanya waria lainnya itukan kalau seneng sama cowok, cowoknya yang dibawa tingal bareng di rumah. Waria yang nafkahin. Waria yang ngasih rokok. Cowoknya nggak kerja dan meres waria gitu. Nah, aku kan beda. Kan aku yang disukain, aku dinafkahi juga”

“Jadi hidup bareng, Mbak?”

“Iya dong. Kita sekamar berdua. Waktu habis kumpul keluarga, dia langsung tak urusin surat izin tinggal ke Pak RT pake KTP. Biar semuanya jelas, dan nggak ada masalah apa-apa kok buktinya. Terus dia punya istri, punya anak sebenarnya. Tapi nggak tau deh, dia bilang cinta kok sama aku. Sekarang putus, aku sempat patah hati. Dia balikan ama istrinya lagi.”

Mbak Ririn menjadi santri sejak Ponpes Al Fatah pindah dari Notoyudan ke Jagalan. Mbak Ririn merasa Ponpes Al Fatah menjadi lebih nyaman sejak dipindah ke daerah Jagalan, Banguntapan Bantul. Alasan di antaranya adalah sikap masyarakat sekitar yang ramah dan toleran terhadap kehidupan pesantren di Jagalan. Di Jagalan sendiri, sesungguhnya pesantren Waria ini berdiri di rumah Bu Shinta, yang notabene penduduk asli dan bangunannyapun warisan keluarga yang ada sejak tahun 1800-an.

Unbeatable Traveling

Kami sekelompok terhitung lima kali pergi ke Pondok Pesantren ini, rata-rata dari sore hingga malam sehingga kami beberapa kali merasakan ibadah bersama teman-teman waria. Makan snack bersama, lalu ngaji bersama. Tentunya, ketika saya salat, saya memakai mukenah milik teman-teman waria.

Salat di pesantren ini bebas. Ustadz sendiri membebaskan teman-teman mau menggunakan sarung ataukah mukenah. Ustadz sendiri menjadi imam. Iqamah dikumandangkan oleh Martin, peneliti dari FISIPOL UGM, dari Washington yang tengah berkunjung di ponpes kala itu. Lalu diikuti saf teman-teman waria yang menjadikan dirinya laki-laki saat salat, serta ditutup barisan perempuan (saya dkk) serta teman-teman waria yang menjadikan dirinya perempuan.

Bacaan Ustadz merdu tartil. Ia memilih surat-surat yang agak panjang seperti potongan Surat Al Baqarah, lalu Surat Ar-Rahman. Hanya beberapa kali saja ada surat pendek. Setelah salat, dilanjutkan wirid jamaah dengan suara yang dilontarkan keras-keras. Saya pernah membaca artikel koran waktu SMA, bahwa di Pondok Pesantren yang mewadahi para napi narkoba di Jawa Barat, terdapat hal serupa (zikir keras-keras), itu dimaksudkan untuk purifikasi diri, bentuk pengakuan kesalahan, penyesalan, dan upaya perbaikan diri. Di ponpes ini demikian pula adanya.

Sewaktu kami pamit, Bu Sherina sempat mengatakan pada saya,

“Mbak Nurist main-main lah ke sini, ajarin kami ngaji yang bener”

Nurist hanya tersenyum. Saja.

Waktu penelitian ke Ponpes Waria, saya genap dua puluh tahun. Haha. What an age. Di usia ke-dua puluh, ternyata saya telah sujud bersama teman-teman waria. Ketar-ketir sih, saya masih tidak percaya terkadang saya salat di samping laki-laki misalnya? Setelah salaman pasca-salat, saya terburu berdoa lalu pergi. Saya merasa batal wudhu.

Pelajaran lain, Nurist jadi lebih mengerti alur hidup orang. Bagaimana efek anak-anak dan lingkungan, serta bacaan menjadi hal yang lumayan berpengaruh terhadap keputusan seseorang. Hmm.

***

(Selesai)

Novia Nurist Naini, Creative Writer. UGM. Turns scientific research into popular feature, untuk Selasar.com, situs tanya-jawab berbagai pengetahuan dan pengalaman paling lengkap dan keren di Indonesia.

Laporan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/03/07/pondok-pesantren-waria-4-kurikulum-ponpes-dengan-34-ustad/