Sejak rezim Jokowi berkuasa, kita disuapi framing menyesatkan tentang "lovers" dan "haters" yang membawa konsekuensi semua "kritik" akhirnya dianggap sebagai bentuk "kenyinyiran" (baca: sinisme). Hal ini tak pernah terjadi pada masa sebelumnya. Sebelum mengkritik kredibilitas partai oposisi, yang seolah menganggap tidak ada sama sekali kritik bermutu dari partai-partai yang berada di luar lingkaran pemerintah, keberadaan framing awal ini perlu dipahami terlebih dulu.
Meski terkesan simpel, keberadaan framing semacam itu sebenarnya bersifat destruktif terhadap kontestasi kewarasan di ruang publik kita, karena akhirnya semua kritik yang pernah muncul terhadap pemerintah jadi tak dianggap, tanpa terkecuali.
[irp posts="11799" name="Kenapa Gerindra Sedemikian Membenci PSI?"]
Pada pihak pemerintah, framing itu telah berimplikasi pada pengabaian terhadap hampir semua kritik, karena hanya menganggapnya sebagai sinisme belaka. Akhirnya, pemerintah membuta-tulikan dirinya sendiri.
Ini tentu saja buruk bagi demokrasi. Sebab, jika kritik publik telah diabaikan, maka satu-satunya yang bisa mengontrol pemerintah tinggal krisis.
Kita bisa melihat sendiri, pemerintah hampir selalu baru mau mengkoreksi kebijakannya sesudah ketemu dengan krisis. Mulai dari pengistimewaan terhadap mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama tempo hari, hingga proyek infrastruktur, semua baru dikoreksi sesudah muncul krisis.
[caption id="attachment_11992" align="alignleft" width="470"] Ilustrasi (Foto: Facebook.com)[/caption]
Sedangkan pada publik dan kelompok oposan, keberadaan framing yang mematikan tadi telah membuat argumentasi waras apapun yang mereka susun untuk menilai dan mengkritisi kebijakan pemerintah (atau kekuasaan secara umum) akhirnya jadi mentah. Ini kondisi yang tidak bagus, karena bisa mengkanalisasi rasa frustrasi publik.
Di luar faktor identitas, yang sebenarnya telah menggerakkan jutaan orang pada berjilid-jilid aksi massa sepanjang tahun 2016 silam adalah rasa frustrasi tadi. Publik merasa frustrasi menghadapi perilaku buta-tuli kekuasaan.
Sehingga, ketika ketemu trigger yang berhasil mempersatukan mereka, kesempatan itu digunakan dengan sebaik-baiknya untuk melakukan show off di hadapan kekuasaan. Jadi, politik identitas bukanlah satu-satunya pemicu lahirnya aksi massa terbesar sesudah Reformasi tersebut.
Saya kira Raja Juli Antoni telah mengabaikan keberadaan faktor framing menyesatkan tadi dalam analisisnya ketika mengkritik kredibilitas partai oposisi pemerintahan Jokowi. Tapi pengabaian itu sepenuhnya bisa dipahami. Sebagai bagian dari 'good boy' (baru) pemerintah, ia memang harus menggonggong kepada kelompok oposisi.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews