Pada tahun 2014 pemilihan presiden dilaksanakan setelah pemilihan DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD secara serentak. Jadi, akan diketahui partai mana yang mendapatkan suara secara nasional paling banyak dan dikonversi dalam bentuk kursi sebagai wakil rakyat pusat atau daerah.
Dan dari perolehan suara secara nasional dan kursi ini sebagai dasar atau acuan partai-partai melakukan koalisi untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Partai boleh mencalonkan calon presiden dan wakil presiden dengan syarat: 25% suara sah secara nasional dan 20% kursi di DPR.
Suara atau kursi inilah yang dijadikan dasar partai-partai melakukan koalisi untuk bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Tetapi pada tahun 2019 pemilihan presiden dan wakil presiden bersamaan dengan pemilihan DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD serentak secara nasional. Jadi, pemilihan presiden dan wakil presiden bersama-sama dengan pemilihan wakil rakyak pusat atau daerah dan dewan perwakilan daerah. Mungkin tujuannya biar lebih efisien dan menghemat biaya.
Jadi dasar atau syarat untuk bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden adalah hasil pemilihan legislatif atau DPR pada tahun 2014.Partai-partai bisa melakukan koalisi untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden dari hasil pileg atau pemilihan legislatif tahun 2014.
Dan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden akan dibuka oleh KPU pada tahun 2018, bulan Agustus. Partai-partai boleh berkoalisi jauh-jauh hari dan mengusung calon presiden dan wakil presidennya.
Padahal partai-partai nanti perolehan suaranya atau kursinya pada tahun 2019 bisa jadi ada yang berkurang atau turun dan ada yang bertambah atau naik. Jadi belum bisa diketahui apakah partai-partai itu suaranya akan bertambah atau berkurang? Karena pemilihannya bersamaan dan serentak.
Dan yang dijadikan posisi tawar-menawar calon wakil presiden untuk mendampingi calon presiden Joko Widodo adalah suara pada tahun 2014. Bursa calon wakil presiden ini sangat ramai dan dinamis, semua partai koalisi atau pengusung ingin calon wakil presiden dari partainya masing-masing.
Bahkan saling "perang urat syaraf" kalau tidak dijadikan calon wakil presiden, maka partainya akan keluar dari koalisi dan akan berpindah atau membentuk poros baru. Bisa jadi partai-partai yang ngotot ingin kader partainya menjadi calon wakil presiden dalam pemilihan legislatif nanti suaranya akan turun atau berkurang.
Dan untuk partai-partai baru yang belum punya kursi atau wakilnya di DPR tentu tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dan cenderung langsung mendukung petahana dan ini juga wajar bermain aman.
Ada beberapa ketua partai yang ingin dipinang dan dijadikan sebagai calon wakil presiden, bahkan baliho dan spanduk sudah terpasang di seluruh jalan utama nasional dengan alasan itu relawan yang melakukannya. Ada juga ketum partai yang tidak mendukung calon presiden petahana (Joko Widodo) dengan alasan tidak ingin ada calon tunggal dalam pilpres, padahal sebenarnya bukan masalah calon tunggal, tetapi yang bersangkutan ngebet pengin jadi calon wakil presiden Joko Widodo dan peluangnya kecil.
Makanya ada partai-partai yang mulai masuk Istana sekedar silaturahmi politik seperti PSI dan Perindo. Dan ada yang kepanasan dengan masuknya partai-partai baru ini ke Istana dengan alasan tidak etis membicarakan politik di Istana.
Dan akan semakin rutin partai-partai pendukung pemerintah yang akan ke Istana dan ini wajar dalam konsolidasi dukungan dan kekuatan,i nilah lebihnya sebagai petahana.
Politik ke depan akan semakin panas, tapi panasnya tidak terlalu, dibilang dingin tapi ko terasa sedikit panas.
Mudah-mudahan situasi politik kedepan semakin aman, kondusif dan terkendali.
Terkendali? Delman kali!
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews