Oleh: Novia Nurist Naini
Barangkali kalimat ini terlalu berlebihan. Namun itu yang terjadi setelah observasi dan kami berusaha membuat interview guide. Konsultasi lima kali dan baru acc di hari kelima. Saya sendiri memutuskan, bagaimanapun keputusan dosen, terobos. Kampung Ramah Anak yang dulu kami ajukan ditolak maka argumentasi atas Pondok Pesantren Waria ini harus menang.
“Memang ada ponpes waria?”
“Iya Pak, di Bantul, perbatasan Kotagede. Lebih dekat ke Kotagede Pak”
“Apa yang unik selain ponpes ini seluruh santrinya waria? Ada data lain?”
“Ini satu-satunya Pondok Pesantren Waria di seluruh dunia, Pak. Data yang kami temukan dari studi literatur, mengatakan selalu ada kres antara waria atau kaum LGBT dan relijiusitas. Ini terjadi di belahan dunia manapun. Nah, ponpes yang di Jogja ini, menjadi unik karena ia menyatukan sisi gender dan agama. Ini pula yang mengantarkan beberapa peneliti dari George Washington University misalnya, datang ke Indonesia. Dan juga, kami menemukan kurang lebih lima penelitian tentang tafsir dan hukum syariah yang dilakukan mahasiswa pascasarjana UIN tentang fenomena ponpes ini. Kami tertarik menyelami lebih jauh,”
“Ok, go for it”
Rasa membuncah dirasakan teman-teman sekelompok. Karena setelah menyelami masyarakat ancient Tenganan-Pegringsingan Bali yang satu dua ibu-ibu yang usia 60-an tidak mengenakan pakaian bagian atas, usia muda kami yang penuh rasa penasaran akan lengkap menelusuri fenomena waria dan pondok pesantrennya di Jogja ini. This is the real traveling, dude!
Penelitian kami pada akhirnya berjudul, “Evaluasi Program Kajian di Pondok Pesantren Waria Al Fatah”, evaluasi model Context-Input-Process-Program metode fenomenologis. Kami mewawancara 1 ustadz, 1 ketua ponpes (pengasuh), dan 3 waria. Sedikit? Iya, duit kami mampunya segitu hehe.
The World of Waria
Di dunia internasional, kelompok LGBTI sempat digolongkan ke kelompok penyandang cacat mental, hingga tahun 1973 mereka telah keluar dari kategori tersebut. Asosiasi Psikiater Amerika memberi teori baru bahwasannya perlu ada pendekatan lain dalam penelitian psikologi mengenai LGBTI, yaitu dengan menghapuskan homoseksualitas dari daftar resmi kekacauan jiwa dan emosional.
Konferensi internasional mengenai hak-hak LGBTI didengungkan di Yogyakarta setelah Montreal, notabene di negara yang berpopulasi muslim terbesar di seluruh dunia.
Para ahli hukum HAM internasional berkumpul di sini dari puluhan negara di dunia untuk membahas. Outputnya yaitu Yogyakarta Principles yang berisi 29 pasal mengenai hak pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dokumen ini lalu disorot oleh dunia internasional sebagai kemajuan signifikan terhadap pembelaan hak-hak LGBTI pasca-konvensi Montreal. Pemerintah Indonesia sendiri tidak mengakui adanya Yogyakarta Principles. Yogyakarta Principles bersama dengan Deklarasi Montreal dijadikan sampel oleh PBB untuk selanjutnya mendengarkan maksud kaum LGBTI ini di seluruh dunia. Keduanya menjadi rujukan pula oleh beberapa negara yang meratifikasi dua konvensi ini.
Di Indonesia, perkembangan pembelaan hak-hal LGBT semakin hari semakin progresif dengan bercukulnya himpunan yang mewadahi. Organisasi atau komunitas yang menghimpun kalangan LGBT di Indonesia hingga saat ini berjumlah 119 (UNDP, 2008). Pergerakannya menjadi sangat masif sejak tahun 1960-an, tahun dimana studi gender atau feminisme lebih focus digemborkan di dunia internasional.
Gerakan membela hak-hak LGBT makin berkibar pula dengan adanya himpunan “gayA Nusantara”, LSM yang berdiri di Yogyakarta pada 1980-an yang menerbitkan buku serta majalah “Jaka”. Media-media di Indonesia juga semakin memblow-up mengenai homoseksualitas dan lesbian di era 80-an, melalui film serta pemberitaan.
Pesantren Waria Al Fatah, memiliki program rutin untuk 42 santrinya yang seluruhnya waria. Program-program tersebut diasuh oleh jajaran ustadz dan difasilitasi oleh LSM feminis seperti PKBI. Di antaranya programnya ialah program kajian, yang detilnya yaitu latihan membaca Al-Quran serta sharing sebagai penguatan emosional dan capacity building.
Lalu, pelatihan salat lima waktu dan salat sunnah, lalu mujahadah yaitu zikir meliputi zikir ekonomi, zikir keluarga, dan zikir kesehatan. Pengajian umum dan pengajian keliling, serta wisata religi.
Pandangan penyebar agama di pesantren ini memiliki tafsir yang pada intinya “ramah kepada mereka yang menyandang LGBT”. Tak pelak, fenomena pesantren waria ini kontroversial di tengah masyarakat. Timbul pro dan kontra baik dari sudut pandang sosial, ekonomi, lebih lagi reliji. Tidak jarang keberadaan pesantren ini digerebek masyarakat karena dianggap sebagai sarang penyesatan agama
(Bersambung)
***
Novia Nurist Naini, Creative Writer. UGM. Turns scientific research into popular feature, untuk Selasar.com, situs tanya-jawab berbagai pengetahuan dan pengalaman paling lengkap dan keren di Indonesia.
Laporan sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/03/04/pondok-pesantren-waria-1-di-seluruh-dunia-cuma-ada-satu/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews