Pondok Pesantren Waria (2): Yang Maha Dosen

Senin, 5 Maret 2018 | 20:35 WIB
0
1222
Pondok Pesantren Waria (2): Yang Maha Dosen

Oleh: Novia Nurist Naini

Barangkali kalimat ini terlalu berlebihan. Namun itu yang terjadi setelah observasi dan kami berusaha membuat interview guide. Konsultasi lima kali dan baru acc di hari kelima. Saya sendiri memutuskan, bagaimanapun keputusan dosen, terobos. Kampung Ramah Anak yang dulu kami ajukan ditolak maka argumentasi atas Pondok Pesantren Waria ini harus menang.

“Memang ada ponpes waria?”

“Iya Pak, di Bantul, perbatasan Kotagede. Lebih dekat ke Kotagede Pak”

“Apa yang unik selain ponpes ini seluruh santrinya waria? Ada data lain?”

“Ini satu-satunya Pondok Pesantren Waria di seluruh dunia, Pak. Data yang kami temukan dari studi literatur, mengatakan selalu ada kres antara waria atau kaum LGBT dan relijiusitas. Ini terjadi di belahan dunia manapun. Nah, ponpes yang di Jogja ini, menjadi unik karena ia menyatukan sisi gender dan agama. Ini pula yang mengantarkan beberapa peneliti dari George Washington University misalnya, datang ke Indonesia. Dan juga, kami menemukan kurang lebih lima penelitian tentang tafsir dan hukum syariah yang dilakukan mahasiswa pascasarjana UIN tentang fenomena ponpes ini. Kami tertarik menyelami lebih jauh,”

“Ok, go for it”

Rasa membuncah dirasakan teman-teman sekelompok. Karena setelah menyelami masyarakat ancient Tenganan-Pegringsingan Bali yang satu dua ibu-ibu yang usia 60-an tidak mengenakan pakaian bagian atas, usia muda kami yang penuh rasa penasaran akan lengkap menelusuri fenomena waria dan pondok pesantrennya di Jogja ini. This is the real travelingdude!

Penelitian kami pada akhirnya berjudul, “Evaluasi Program Kajian di Pondok Pesantren Waria Al Fatah”, evaluasi model Context-Input-Process-Program metode fenomenologis. Kami mewawancara 1 ustadz, 1 ketua ponpes (pengasuh), dan 3 waria. Sedikit? Iya, duit kami mampunya segitu hehe.

The World of Waria

Di dunia internasional, kelompok LGBTI sempat digolongkan ke kelompok penyandang cacat mental, hingga tahun 1973 mereka telah keluar dari kategori tersebut. Asosiasi Psikiater Amerika memberi  teori baru bahwasannya perlu ada pendekatan lain dalam penelitian psikologi mengenai LGBTI, yaitu dengan menghapuskan homoseksualitas dari daftar resmi kekacauan jiwa dan emosional.

Konferensi internasional mengenai hak-hak LGBTI didengungkan di Yogyakarta setelah Montreal, notabene di negara yang berpopulasi muslim terbesar di seluruh dunia.

Para ahli hukum HAM internasional berkumpul di sini dari puluhan negara di dunia untuk membahas. Outputnya yaitu Yogyakarta Principles yang berisi 29 pasal mengenai hak pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Dokumen ini lalu disorot oleh dunia internasional sebagai kemajuan signifikan terhadap pembelaan hak-hak LGBTI pasca-konvensi Montreal. Pemerintah Indonesia sendiri tidak mengakui adanya Yogyakarta Principles. Yogyakarta Principles bersama dengan Deklarasi Montreal dijadikan sampel oleh PBB untuk selanjutnya mendengarkan maksud kaum LGBTI ini di seluruh dunia. Keduanya menjadi rujukan pula oleh beberapa negara yang meratifikasi dua konvensi ini.

Di Indonesia, perkembangan pembelaan hak-hal LGBT semakin hari semakin progresif dengan bercukulnya himpunan yang mewadahi. Organisasi atau komunitas yang menghimpun kalangan LGBT di Indonesia hingga saat ini berjumlah 119 (UNDP, 2008). Pergerakannya menjadi sangat masif sejak tahun 1960-an, tahun dimana studi gender atau feminisme lebih focus digemborkan di dunia internasional.

Gerakan membela hak-hak LGBT makin berkibar pula dengan adanya himpunan “gayA Nusantara”, LSM yang berdiri di Yogyakarta pada 1980-an yang menerbitkan buku serta majalah “Jaka”. Media-media di Indonesia juga semakin memblow-up mengenai homoseksualitas dan lesbian di era 80-an, melalui film serta pemberitaan.

Pesantren Waria Al Fatah, memiliki program rutin untuk 42 santrinya yang seluruhnya waria. Program-program tersebut diasuh oleh jajaran ustadz dan difasilitasi oleh LSM  feminis seperti PKBI. Di antaranya programnya ialah program kajian, yang detilnya yaitu latihan membaca Al-Quran serta sharing sebagai penguatan emosional dan capacity building.

Lalu, pelatihan salat lima waktu dan salat sunnah, lalu mujahadah yaitu zikir meliputi zikir ekonomi, zikir keluarga, dan zikir kesehatan. Pengajian umum dan pengajian keliling, serta wisata religi.

Pandangan penyebar agama di pesantren ini memiliki tafsir yang pada intinya “ramah kepada mereka yang menyandang LGBT”. Tak pelak, fenomena pesantren waria ini kontroversial di tengah masyarakat. Timbul pro dan kontra baik dari sudut pandang sosial, ekonomi, lebih lagi reliji. Tidak jarang keberadaan pesantren ini digerebek masyarakat karena dianggap sebagai sarang penyesatan agama

(Bersambung)

***

Novia Nurist Naini, Creative Writer. UGM. Turns scientific research into popular feature, untuk Selasar.com, situs tanya-jawab berbagai pengetahuan dan pengalaman paling lengkap dan keren di Indonesia.

Laporan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/03/04/pondok-pesantren-waria-1-di-seluruh-dunia-cuma-ada-satu/