Pondok Pesantren Waria (1): Di Seluruh Dunia Cuma Ada Satu

Minggu, 4 Maret 2018 | 17:51 WIB
0
772
Pondok Pesantren Waria (1): Di Seluruh Dunia Cuma Ada Satu

Oleh: Novia Nurist Naini

Salah satu mata kuliah kontroversial di tempat saya belajar adalah Evaluasi Program Pembangunan (EPP) setelah Praktikum 1 kuantitatif. Kuliahan ini menginginkan muridnya bisa menilai program pembangunan, secara teori dan praktik. Kontroversial karena sangat menguras pikiran, waktu, biaya, tenaga, dan mengorbankan mata kuliah lain.

Matkul ini tidak bisa dilakukan sendiri alias kelompok, kelompok selama enam bulan. Jadi sangat menguji kekompakan dan solidaritas tim, bahkan angkatan. Sekali nggak kompak, drama akan banyak terjadi, mulai left group, menghilang entah ke mana, sampai cekcok adu mulut.

Desar Desir di Ponpes

Akhirnya, setelah baca skripsi dari mahasiswi Universitas Negeri Semarang (UNNES) tentang pendidikan non/in formal di Ponpes Waria, saya sendiri memutuskan pergi ke sana, daerah Kotagede, naik Gojek.

Saya cukup bertanya-tanya, di daerah Kotagede yang notabene dulu pusat kerajaan Mataram Islam dan lumayan Muhammadiyah-is, ternyata ada berdiri Pondok Pesantren Waria Al Fatah ini. Pertanyaan terus muncul, apa tanggapan masyarakat? Apa tanggapan kiai sekitar misalnya?

Jam 17.15 an saya berkunjung ke ponpes. Sendirian. Lokasinya nyusup di perkampungan yang bangunan-bangunannya artistik cagar budaya. Bangunan-bangunan Belanda yang khas, tinggi, dicampur rumah-rumah joglo Jawa. Pohon-pohonnya dililit kain batik dan beraksara Jawa. Kampung ini instagram-able lah pokoknya. Untuk mengakses ponpes ini, harus lewat perkampungan ini dulu lalu menyusuri gang kecil, lalu lorong-lorong kecil yang bisa dilewati satu motor atau satu badan manusia saja.

Pesantren Waria ini beda dari pesantren biasanya. Tidak ada plang sama sekali yang memberitahukan kalau “this is pesantren”. Bangunan utama pesantren adalah rumah Joglo Jawa khas. Adapun pengasuh ponpes, Bu Sherina namanya (disamarkan).

Bangunan ini warna-warni, pelangi. Saya menyimpulkan ini salah satu bentuk kampanye warna oleh teman-teman waria. Rumahnya diliputi jati-jati tua yang khas, lantainya terbuat dari plester, ruangan tamu dilengkapi barang-barang yang nuansa keraton; riasan kembang melati alami, patung wewayangan Jawa, lukisan Jawa, menandakan betapa bernilainya bangunan ini secara historis, saya tebak.

Bu Sherina sebagai pemilik mengonfimasi bahwa rumahnya ini adalah peninggalan nenek moyang sejak abad 18. Asli. Bangunan utama Ponpes alias rumah Bu Sherina ini, dipagar oleh bangunan-bangunan kecil yang mirip kos-kosan. Iya, bilik-bilik ini adalah tempat beberapa santri menginap.

Sungguh, pertama kali saya sendirian ke Ponpes Waria di awal November 2016, semriwing. Mental separuh yang berusaha di-full-kan. Semriwing ini sebenarnya lebih kearah, “aku bakal diterima nggak ya di sana”. Gitu.

Pertemuan

Akhirnya seorang berusia 45 tahunan menemui saya, menggunakan daster yang lebih mirip ibu rumah tangga. Saya taksir berat badannya 70-80 kg. Kulit sawo matang, tetapi di bagian leher terlihat belang, sepertinya ia pekerja lapangan yang selimut kulitnya habis terbakar matahari. Batasan belangnya terlihat jelas, menandakan ia seringkali memakai baju yang fit-to-neck.

Bibirnya dipaksa merah gincu, bukan matte, warna bibirnya menunjukkan ia perokok berat. Tulang pipinya sedikit menonjol. Sapuan make-up nya sederhana. Alisnya digambar, lebih mirip penyanyi genre dangdut. Dua anting menjuntai di telinga kanan-kiri. Rambutnya hitam ikal badai, menunjukkan kalau ia merawatnya dengan rutin dan sangat baik. Saya berasumsi beliau telah pulang dari suatu tempat di luar rumah, lalu baru saja berganti baju.

“Ada perlu apa, Mbak?”

Kikuk. Saya tuturkan maksud untuk bertemu pengasuh ponpes, hendak bikin penelitian di sini.

“Saya manggilnya gimana nih, Mas (manggil sambil takut-takut berani)?”

“Terserah, manggilnya mau 'mbak', mau 'ibu', mau 'tante' juga gapapa” (gaya khas Syahrini. Centil, mendesah)

“Ibu deh kalo gitu”

“Jangan, itu ketuaan. Mbak aja ya, Mbak Nur namaku”

Lel. It was my name. Nur. Nurist. Makanya jadi males kalo dipanggil Nur.  Haha.

Lalu seorang waria paruh baya, usianya saya tebak 50-an tahun jangkung, memakai jilbab bergo dan gamis berwarna merah, ditambah gincu dan bulu mata, shading pipi kemerah-merahan ayu datang. Ia sangat anggun, melebihi saya sendiri haha.

Hidungnya besar, mancung bukan kepalang. Lebih besar dari Mycroft Holmes. Bentuk hidung di bagian tengahnya runcing ke bawah seperti hidung Pasha Ungu (google it lel). Saya berasumsi bahwa beliau telah melakukan upaya untuk membuat hidungnya established dan menonjol. Ini bukan hidung Jawa.

Saya juga tidak mendapat sinyal bahwa ia memiliki darah selain Indonesia. Kuku tangan dan kakinya berwarna senada, merah nyala, mengkilap. Warna khas pewarna kuku nail polished yang beralkohol. Mungkin ia sedang berhalangan sembahyang, karena warna kuteknya masih menyilaukan. Ah gimana caranya sembahyang? Pakai mukena atau sarung?

Di jari manis kirinya melingkar cincin anggun. Lebih mirip cincin perkawinan. Sepertinya ia memiliki pasangan hidup, karena saya masih ragu menyebutnya sebagai suami ataukah istri. Bagaimana caranya berpasangan? Duduknya seperti duduk takhiyat akhir. Saya sendiri bersila.

Di tangan kirinya terkepal boks rokok yang baru saja disulut. Marlboro. Seleranya kelas juga, Rp21,000 tiap box rokok. Harga rokok menunjukkan kemampuan sisi konsumtif. Rokok ini tidak mungkin dibeli oleh pegawai produksi. Hampir pasti. Rokok ini menunjukkan setidaknya yang saya temui memiliki something more. Kalau tidak pengasuh, barangkali jajaran setingkatnya.

“Gimana, Mbak? Apa yang bisa kami bantu?”

Suaranya anggun. Tekanannya rendah. Santai. Datar. Berbeda nuansa dengan Mbak Nur di atas. Suaranya lebih mirip Mbak Emmy. Elegan. High attitude. Menunjukkan ia memiliki pemaknaan lebih terhadap hidup yang telah ia lewati.

Saya menyampaikan maksud untuk melakukan penelitian bersama teman-teman sekolompok LAPIS LEGIT dengan berusaha down to earth sekali.

“Sudah jelas konsep penelitiannya? Kalau sudah, saya tunggu ya, di sini. Kapanpun kalian datang. Saya minta proposalnya dulu, interview guide-nya, teori dan konsepnya biar kami pelajari. Biaya retribusi awalnya 200.000. Nah kalau misalnya teman-teman mau menggali lebih dalam, kami mematok 50.000 per-informan.”

Sejenak terkejut. Bahasa yang digunakan akademis. Sosok di depan saya ini pasti mengecap pendidikan kuliah. Atau kemungkinan kedua, ia telah lihai membaca sekian buku atau proposal penelitian yang telah diajukan peneliti-peneliti sebelumnya. Saya temukan di mesin pencarian, bahwasannya terdapat 16 peneliti baik dari dalam maupun luar negeri yang pernah menggunakan pondok pesantren ini sebagai objek risetnya, dari sudut pandang apapun.

“Konsep besarnya evaluasi program, Bu. (saya mulai bisa mengerti dengan kata apa saya harus memanggil). Proposalnya insya Allah minggu depan, sambil saya ajak main teman-teman saya sekelompok ke sini.”

Bu Sherina namanya, ia memperkenalkan sebagai pengasuh pondok pesantren. Deal sudah ada. Saya memperkenalkan diri lebih jauh, tentang di mana saya tinggal, semester berapa jurusan apa, latar belakang keluarga saya, lalu apa yang saya lakukan dulu dan sekarang. Mengenai keluarga, ini penting saya jelaskan karena di pondok pesantren ini, Mbak Nur yang belakangan mengaku menjadi santri, curcol mengenai apa yang sebenarnya terjadi di antara keluarga kandungnya tersebut.

Bagian perkenalan deep intro, hal yang sangat intim ini menurut saya juga perlu untuk membentuk trust teman-teman waria ini kepada saya sebagai peneliti, untuk saya sendiri hal ini mengenyahkan rasa kikuk dan salah tingkah. Suasana menjadi lebih cair.

Setelah dirasa cukup, saya pamit.

(Bersambung)

***

Novia Nurist Naini, Creative Writer. UGM. Turns scientific research into popular feature untuk Selasar.com, situs tanya-jawab berbagai pengetahuan dan pengalaman paling lengkap dan keren di Indonesia.