Sejak kecil saya menghafal hadits-hadits pendek. Salah satunya, Alwa’du dainun, janji adalah utang. Guru saya tidak menjelaskan soal sanad dan matan-nya, karena memang belum saatnya. Dijelaskan pun pasti saya tidak paham. Satu hal yang pasti, premis itu melekat di kepala saya. Saya takut berjanji kalau saya yakin tidak bisa saya penuhi.
Bahwa belakangan ada yang bilang itu hadits dhoif (lemah) itu soal lain. Hadits dhoif kan bukan hadits munkar, lagian soal janji tidak masuk golongan fadhoilul amal. Masih aman lah, jadi saya biarkan premis itu melekat di kepala saya.
Belakangan, ditambah lagi dengan pengetahuan ayat 34 surah Al Isra “dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
Dan sebuah hadits : “Tanda-tanda orang munafik ada tiga; kalau berbicara dia berdusta, kalau berjanji dia ingkar, dan kalau diberi amanah (kepercayaan) dia berkhianat.”
Membuat saya semakin takut berjanji yang sekira saya tidak bisa saya penuhi.
Bahwa janji itu utang, berarti semakin banyak berjanji semakin banyak berutang. Kalau utang harta bisa saya cari atau berutang baru buat menutup utang lama. Tapi kalau janji yang kemudian saya tidak bisa penuhi karena memang saya tidak tahu solusinya, bagaimana cara membayarnya?
Saya membayangkan begini. Saya ikutan nyabup, nyagub, atau nyapres. Saya mengumbar seribu janji. Itu istilah. Seribu janji artinya banyak janji, walaupun tidak sampai seribu, katakanlah cuma seratus, tetap saja namanya seribu janji.
Membuat janji, seratus saja sudah kebanyakan. Kalau dulu ada istilah lagu kacangan karena saking seringnya mengeluarkan album baru, seratus janji bisa juga disebut janji kacangan. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana cara saya melunasinya?
Jangankan buat memenuhi janji, buat menulis seratus janji saja pusingnya tidak kepalang. Kalau pun misalnya seratus janji itu saya pahami cara melunasinya, belum tentu saya mudah mengingat daftar janjinya saat saya berkuasa nanti.
Kalau misalnya saya mau maju lagi pada periode berikutnya, saya harus mengingat lagi janji-janji yang belum saya lunasi. Wah, mending pura-pura lupa sajalah. Daftar janjinya entah sudah terselip dimana. Emangnya kerjaan saya cuma mengingat janji saja. Atau, bisa ngeles dengan cara klasik, kalau ada janji yang belum saya lunasi berikan saya kesempatan satu priode lagi.
[irp posts="3019" name="Jokowi, Tambahan Utang, dan Revolusi Mental yang Terabaikan"]
Saya kebayang begini. Kalau misalnya saya berutang padamu sampai sepuluh kali kemudian cuma saya bayar lima kali, lalu saya mau berutang lagi, apakah kamu mau memberi saya utang lagi? Lalu datang orang lain mau berutang, dalam catatanmu dia belum pernah berutang padamu. Siapa yang akan kau beri? Saya atau dia?
Kalau misalnya saya meyakinkanmu, utang baru ini akan saya gunakan untuk usaha baru buat melunasi utang lama. Siapa yang akan kuberi? Saya atau dia?
Saya tambah ngeri membayangkannya. Beruntung saya tidak pernah nyabup, nyagub atau nyapres. Ganteng-ganteng begini nggak ada bakat buat jadi bupati, gubernur, atau presiden. Ditambah lagi saya lebih takut utang janji ketimbang berutang pada luar negeri.
24022018
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews