Kalau di jaman Bung Karno sampai Jaman SBY, intelektual-lah yang mempengaruhi opini publik, bahasa-bahasa intelektual menjadi perbendaharaan bahasa atas diskusi publik, di era media sosial ini, bahasa bahasa banal publik-lah malah menjadi bahan bahasa bagi kaum intelektual.
Adanya keterbelahan antara cebong dan kampret justru menyeret banyak kaum intelektual dan berpendidikan tinggi masuk ke dalam comberan opini publik, mereka merasa mendapatkan endorphin kegembiraan dari saling serang dan caci maki di wilayah publik.
Maka tak heran jargon jargon caci maki juga muncul dari kalangan intelektual yang seharusnya mampu menjaga jarak dari lumpur caci maki publik. Tapi mereka justru terjebak dalam situasi itu dan menikmatinya, nggak kelompok cebong dan kelompok kampret.
Bahasa-bahasa seperti "IQ Sekolam", "Junjungan", "Asing Aseng", "Penunggang Kuda", "Pemelihara Kodok" dan lain macam itu menjadi kosa kata baru dalam dunia politik.
Jelas ini kemunduran kualitas verbal dan kualitasn nalar atas narasi, bayangkan dengan bahasa bahasa yang tercipta di masa Sukarno seperti "Kontra Revolusi", "Progresif Revolusioner", "Manipol Usdek" , "Ganefo" yang dibuat lawakan di Yogya jadi Ganewul = Segane Tiwul.
[irp posts="9949" name="Partai Tommy Soeharto Ikut Pemilu, Apakah Akan Jadi Kecebong" Juga?"]
Atau, di masa Pak Harto lebih canggih lagi ada kata-kata "Hegemoni", "Penyesuaian", "Diselesaikan Secara Adat", "Diamankan", "Bersih Lingkungan" bahkan sampai ada akronim "Sikontolpanjang" = Situasi Kondisi Toleransi Pantauan dan Jangkauan.
Di Jaman SBY, bahasa bahasa yang tercipta belum sekasar di masa Jokowi dan Ahok, karena bahasa masih dikuasai kelompok wartawan koran, namun saat itu yang jadi pujaan bahasa bahasa politik publik adalah Koran Merdeka, yang headline-nya kerap lucu-lucu tapi kadang isinya singkat.
Nah di masa Jokowi dan Prabowo ini Media Sosial menjadi puncak atas platform komunikasi publik. Awalnya kaum intelektual masih mendominasi perbendaharaan kata publik, namun sejurus waktu kelompok kelompok rakyat kebanyakan-lah yang mendominasi percakapan publik di segala platform sosial media.
Bila perang gagasan di masa SBY dan Megawati adalah pertarungan antara kelompok Nasionalis-Populis dengan Kelompok Neo Liberal, maka perdebatannya ya gak jauh jauh dari Milton Friedman sampai dengan Amartya Sen, maka di jaman Jokowi dan Prabowo tak ada lagi diskusi tokoh. Bahkan kaum intelektual merasa terasing dari hiruk pikuk jaman.
Mereka yang tak kuat kesepian langsung nyebur ke comberan pertarungan itu dan perang kata-kata tiap hari soal junjungan, soal asing aseng, soal definisi kata "cebong mana ngarti" soal "Kampret Sana Kampret Sini"...dan ini lebih parah dari isu besar di jaman Orde Baru soal "Pelacuran Intelektual" tapi di masa ini adalah masuk ke dalam jaman Ronggowarsito "Saiki Jaman Edan, yen ra edan ora keduman..."
Intelektual yang kesepian dan berusaha menjadi netral perlahan lahan birahinya naik melihat pesona pertarungan rakyat yang saling caci maki itu...
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews