Tapi sesekali tetap muncul kegelisahan. Ancaman kanker di balik berat badan yang terus turun hanya berhasil membuat ketenangan itu terlihat di permukaan.
Tanpa ijin dokter saya memeriksakan darah ke laboratorium. Dua minggu lebih cepat dari “tunggu satu bulan lagi”. Toh saya sudah tahu parameter apa saja di dalam darah yang bisa mengindikasikan kanker.
Saking seringnya ke laboratorium.
Terutama yang terkait dengan kanker hati dan kanker paru.
Hari itu petugas laboratorium terperangah. “Kok banyak sekali yang diperiksa, Pak?” tanyanya.
Saya teliti lagi daftar itu. Justru kurang!
Sekalian saya mau periksa alergi. Kok saya sering batuk-batuk kecil? Lalu saya hitung: 42 items yang saya minta.
Rupanya petugas itu terperangah bukan soal banyaknya item yang saya ajukan. Tapi bagaimana cara mengemukakan kepada saya, berapa biayanya.
Dengan ragu dan dengan suara ditahan, petugas itu bilang… ”Pak…biayanya ini Rp 15 juta sekian…”
Setelah saya bilang “Wow…mahal ya…”
Dia lantas meneliti lagi daftar itu.
Tentu saya mampu membayarnya. Tapi pikiran saya melayang jauh. Begini mahalnya kesehatan. Bagaimana dengan yang tidak mampu? Menyerah untuk meninggal? Dengan dalih berserah pada takdir?
Di sinilah letak perlunya kebijakan negara di bidang kesehatan. Banyak negara maju mengambil kebijakan menjamin kesehatan rakyatnya dibanding bagi-bagi program sosial yang nilainya juga triliunan rupiah.
Orang miskin yang berhasil keluar dari garis kemiskinan lantaran kerja keras, akan dengan mudah jatuh miskin lagi manakala salah satu anggota keluarganya jatuh sakit. Apalagi kalau yang sakit adalah anggota keluarga yang menjadi tulang punggung.
Saya ingat tahun 2013. Saat BPJS lahir.
Saat itu negara baru mampu menyediakan anggaran Rp19 triliun pertahun. Saya usul agar dinaikkan menjadi Rp35 triliun. Setidaknya Rp 25 triliun.
Secara pengelolaan, BPJS memang di bawah kementerian BUMN saat itu sehingga saya merasa harus ikut menanganinya.
Saya bersama direksi BPJS sudah menghitung. Dengan anggaran Rp19 triliun pasien tidak akan puas. Jenis sakit yang bisa dibpjskan terbatas. Dokter juga tidak puas. Honor dokter hanya Rp1.000 untuk satu pasien. Padahal ongkos parkir saat itu sudah Rp2.000. Harga diri dokter seperti jatuh di bawah tukang parkir.
Waktu saya usulkan Rp35 triliun saya juga beralasan begini: jangan tanggung-tanggung dalam membela orang miskin. Tapi juga jangan memanjakan dan membuat mereka malas. Membuat mereka sehat pun harus disertai setelah sehat harus kerja keras.
Tapi anggaran negara memang terbatas. Akhirnya diputuskan tetap Rp19 triliun. Dengan harapan tiap tahun harus dinaikkan. Sekalian dicoba dulu apakah harus ada sistem yang masih perlu dikoreksi.
Terutama bagaimana mengatasi kasus seperti berikut ini. Ada orang mampu periksa ke dokter jantung yang mahal. Setelah hasil diagnosa mengharuskannya operasi jantung dia tidak langsung operasi.
Dia masuk BPJS dulu. Dengan iuran yang kurang dari Rp30 ribu. Dengan BPJS itu dia bisa operasi jantung gratis. Setelah operasi dia minta dirawat di ruang VIP. Katanya: akan bayar sendiri.
Kejadian seperti itu benar-benar ada. Mungkin sekarang peluang penyalahgunaan seperti itu sudah diatasi. Atau belum. Saya tidak mengikuti lagi perkembangannya.
Sekarang anggaran BPJS mungkin juga sudah jauh meningkat. Sesuai dengan bertambah besarnya APBN.
Tapi tiap tahun juga akan terjadi “rebutan” anggaran. Antar kementerian. Termasuk kementerian keuangan yang harus menyerap anggaran luar biasa besar untuk bayar hutang dan cicilan. Yang tidak bisa ditawar.
Di sinilah letak perlunya “kebijakan yang harus memihak”. Memihak yang miskin. Dengan cara yang benar. Bukan kebijakan yang mengeluarkan anggaran besar tapi hasilnya ternyata hanya memelihara dan melestarikan kemiskinan.
[caption id="attachment_10782" align="alignleft" width="546"] Angpao (Foto: Disway.id)[/caption]
Kepada petugas laboratorium, saya juga mengatakan apakah biaya yang Rp 15 juta itu tidak bisa dikurangi. Dia memeriksa daftar lebih teliti.
“Beberapa item ini ada diskonnya, Pak,” katanya.
Setelah hitung-hitung jatuhnya Rp13 juta sekian.
Saya lihat lagi daftar apa saja yang harus diperiksa dari darah saya. Bisakah dikurangi.
Ternyata tidak ada lagi. Lalu saya hitung berapa items yang harus diperiksa. Ternyata 42 items. Wowwww… banyak sekali. Tapi biarlah.
“Pengambilan darahnya nanti seperti donor darah pak…,” ujar petugas itu sambil senyum.
“Sudah biasa..” jawab saya.
Memang itu bukanlah pengambilan darah yang terbanyak. Sudah sering seperti itu. Baik saat operasi ganti hati dulu atau operasi aorta akibat dissection kali ini.
“Hasilnya tidak bisa hari ini semua, pak…” kata petugas. Ada yang baru jadi di hari Valentine tanggal 13 Februari dan ada yang baru jadi di malam tahun baru Imlek 15 Februari.
Itu, terutama yang terkait dengan indikasi munculnya kembali kanker, yang labnya perlu waktu sampai empat hari.
Hasil yang hari juga bisa keluar adalah darah lengkap dan sebangsanya. SGOT bagus (19), SGPT bagus (19), kolesterol bagus (151). Trigliserida sip (4,8). Gula darah baik (99). Asam urat notmal (5,2). Kreatinin gak masalah (0,91). Urine ok.
Tapi bukan itu yang saya tunggu. Angpao yang paling berharga yang saya tunggu di hari raya Imlek ini adalah kabar baik dari laboratorium tentang indikasi munculnya kembali kanker yang semoga tidak.
(Bersambung)
***
Tulisan sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/02/18/lolos-dari-maut-10-bahagia-walau-gagal-gemuk/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews