Persahabatan Sampai Mati

Sabtu, 17 Februari 2018 | 08:52 WIB
0
826
Persahabatan Sampai Mati

"Panggilan sahabat itu berat, tidak semua teman bisa kamu panggil sahabat. Persahabatan itu butuh waktu dan proses yang panjang. Tidak bisa ketika kamu berkenalan dengan seseorang, kamu langsung memanggilnya dengan sebutan sahabat. Tidak bisa."

Kalimat itu dikatakan oleh ayahku ketika aku duduk di bangku kelas enam SD. Ketika aku memilih untuk lanjut bersekolah ke tingkat SMP, diantara pilihan ingin satu sekolah dengan teman sebangkuku atau tidak. Aku merasa teman sebangkuku ini teman yang baik.

Ketika aku tidak bisa memahami pelajaran sekolah, ia mengajarkan aku. Ketika aku berkelahi ia membelaku. Begitu sebaliknya, aku berlaku demikian kepada dia. Itu sebabnya aku ingin terus bersamanya. Pernah suatu ketika aku dihukum membersihkan toilet, lalu dia membantuku.

Jika ada dosa yang paling besar yang aku lakukan, maka ini adalah dosanya. Aku dipenjara ketika aku gagal berusaha memberi nasehat dan mengingatkan sahabatku itu, Bagus namanya. Aku sudah berusaha mengingatkan kalau uang yang kami makan bukanlah hak kami, melainkan hak warga sedesa. Tetapi Bagus dengan egonya tetap berupaya untuk memakan. Sederhana saja, Bagus ingin modalnya kembali. Modal ratusan juta untuk memenangkan pemilihan kepala desa.

Bagus adalah teman baikku sejak kecil. Semasa SD hingga SMA aku satu sekolah bersamanya. Tetapi sewaktu SMA aku beda ruang kelas. Setelah lulus SMA, Bagus melanjutkan untuk kuliah sementara aku memilih untuk bekerja menjadi buruh pabrik. Pekerjaan sebelum aku menjadi pegawai kelurahan di desa tempat aku dan bagus tinggal.

Dari dasar hatiku memang aku tidak terlalu suka berteman dengan orang-orang berpolitik. Bukan karena soal manusianya tapi karena cara berpolitiknya. Tapi karena Bagus, aku menikmati perjalanan berpolitik walaupun hanya tingkat desa.

Aku duduk terdiam. Meratapi tembok hitam ini. Sesekali menggores tembok layaknya ketika aku menghitung hasil pemilihan kepala desa dulu. Kali ini aku menghitung hari, bukan menghitung suara warga dalam pemilihan dulu. Tiga kali dua puluh empat jam aku diberi tahu hari pengeksekusianku.

Kini tiba hariku. Dua orang sipir membuka jeruji besi. Aku duduk bersila, memandang tanpa ekspresi sepanjang hidup terakhirku. Aku bangkit dari duduk, kedua sipir itu mengawalku berjalan menuju lorong yang kanan kirinya penuh jeruji besi. Orang-orang di dalam jeruji memandang dengan penuh tatapan kosong. Mereka juga sedang menghitung, detik demi detik, hari demi hari.

Aku melihat Bagus dengan ekspresi terburuk sepanjang aku mengenalnya. Wajah penuh penyesalan. Kelopak dengan kantung mata yang gelap. Aku yakin dia tidak bisa tidur selama di sini. Di ruang kecil yang menyiksa. Aku berhenti melangkah sejenak, menoleh ke arah Bagus. Bagus tertunduk, butiran air mata menetes. Bagus tidak tahu kapan ia dieksekusi. Aku pun demikian, tidak tahu.

“Gus... Sampai jumpa di kehidupan yang lain.”

**

Ini adalah malam sebelum aku dieksekusi mati. Kata orang, orang yang akan mati akan teringat semua kenangannya dari kecil hingga ajal menjemput. Tetapi tidak denganku. Aku bukan pengingat yang baik, meskipun sesekali ingatan itu datang sendiri.

Teringat ketika aku makan semankuk mie instan bersama Bagus, makan nasi dengan lauk jengkol goreng bersama Bagus. Berkelahi dengan kakak kelas sewaktu masa orientasi SMA ketika Bagus tidak terima melihat aku ditoyor. Aku ingat betul, wajah kakak kelas itu babak belur dipukuli Bagus.

Semasa kuliah Bagus selalu kekurangan biaya, sementara aku sudah bekerja dan aku rela berbagi penghasilan untuk Bagus. Ketika istrinya Bagus melahirkan anak pertama mereka di rumah sakit, aku adalah satu-satunya orang paling setia menemani Bagus. Ketika aku ingin menikah dan tidak mempunyai biaya, Bagus membantuku dengan menyerahkan seluruh tabungan yang ia miliki.

Pada waktu itu, pagi mulai merangkak naik. Aku berjalan perlahan menggunakan sepeda motor tua warisan ayahkku untuk pergi ke kantor kelurahan. Aku bekerja bersama Bagus. Bagus menjabat sebagai kepala desa dan aku menjabat sebagai Bendahara Desa.

Aku bertemu dengan Bagus di ruang tengah balai desa. Beberapa pegawai desa lainnya entah kemana. Bagus sudah berada di sana. Sudah hampir sepuluh menit menungguku. Tak perlu basa-basi aku mengeluarkan amplop berwarna cokelat yang berisikan uang. Anggaran dana desa yang baru saja aku cairkan dari Bank. Aku memang sudah curiga bahwa masyarakat telah mengetahui adanya anggaran rumah tidak layak huni yang terjadi pemotongan.

Entah dari mana datangnya sekelompok orang tidak dikenal menyergap kami berdua. Kami tertangkap dalam operasi tangkap tangan. Tak dapat berkutik, semua bukti sudah ada. Baik berupa data dan fakta. Selanjutnya hanya proses dan proses hingga hakim memvonis kami dengan hukuman mati.

Setelah undang-undang hukuman mati terhadap para koruptor di negeri ini disahkan, aku layak dihukum mati daripada menanggung beban moral yang hancur. Apa kata orang ketika istriku dirundung masyarakat memiliki suami yang korup. Apa kata orang ketika anakku dirundung teman-temannya kalau ia memiliki ayah yang korup. Aku layak mati karena korup. Sekalipun hanya pejabat desa.

**

Seseorang bertanya kepadaku tentang permintaan terakhir. Aku tetap diam. Tidak ada permintaan terakhir. Aku hanya berdoa, berharap Tuhan menerima aku dan Bagus di sisi-NYA setelah apa yang telah aku makan selama ini. Aku juga berharap Bagus berdoa hal yang sama denganku. Sepuluh orang regu tembak berdiri di depanku dengan jarak kurang lebih sepuluh meter. Mereka berdiri gagah, memegang senjata laras panjang yang aku tidak tahu jenisnya.

Aku duduk pada sebuah kursi. Kepalaku ditutup dengan kain berwarna hitam. Aku memejamkan mata, teringat sebuah pepatah tua dari negeri sakura. "Karena kurang satu paku, tapal kuda terlepas. Karena terlepas kuda tak dapat berjalan, karena kuda tak dapat berjalan pesan tak sampai terkirim. Karena pesan tak sampai terkirim, maka kalah berperang".

Bunyi letupan terdengar, “Dorrr...” Kemudian, gelap.

***

Editor: Pepih Nugraha