Dalam catatan saya, akhir Januari hingga minggu pertama Februari 2018, atau lebih dari dua pekan, Presiden Joko Widodo terjebak dalam isu yang menurut saya sangat remeh temeh atau isu yang sangat tidak penting. Isu-isu yang tidak penting itu kemudian menjadi viral di media sosial. Akibatnya ada pandangan yang sangat negatif yang kemudian di jadikan “isu baru” yang sangat penting oleh lawan-lawan politiknya,.
Pertama adalah saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Afghanistan yang kemudian berbuntut pada polemik yang berkepanjangan. Biro Pers Kepresidenan menggunggah foto Presiden Jokowi yang sedang menjadi imam, sementara Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani menjadi makmum saat rombongan presiden melakukan shalat berjemaah di Masjid di Lingkungan Kompleks Istana Kepresidenan Agr, Kabul.
Foto tersebut sempat diapresiasi oleh masyarakat, namun, tidak berapa lama kemudian (dalam hitungan menit), sebuah foto diunggah pula (tapi bukan oleh Biro Pers Istana) ke media sosial. Foto yang diunggah tersebut, menunukkan posisi yang berbeda; Presiden Jokowi tidak sebagai imam, melainkan sebagai makmun. Informasi dan data yang di publikasi ini kemudian berseliweran, dam sempat menjadi polemik, serta menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak.
Inilah yang kemudian dijadikan isu sangat penting dari lawan-lawan politiknya dengan pernyataan bahwa Presiden Jokowi telah mengekploitasi agama, untuk menarik simpati ummat. Bahkan, Jokowi juga dinilai telah melakukan proses pencitraan, dengan mengambil momentum kunjungann ke Afghanistan. Sehingga makna hakiki dari kunjungan kenegaraan tersebut sangat tidak terlihat.
[irp posts="9418" name="Afghanistan dan Penghargaan untuk Presiden Jokowi"]
Untuk meluruskan informasi yang remeh temeh ini, Presiden Jokowi, harus melakukan klarifikasi dengan menyatakan, "Itu kan salat Duhur imamnya masjid di sana (Afganistan). Kemudian ingin jamak takdim melanjutkan ke salat Asar ya saya maju." Pernyataan Presiden ini dalam teori komunikasi politik tidak ‘membantu’ bahkan cenderung mempertegas pernyataan lawan-lawan politiknya.
Persoalan kedua yang juga menjadi viral di media sosial adalah saat Presiden Jokowi “meladeni” permainan Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa yang mengacungkan buku berwana kuning yang kemudian dikenal dengan istilah “Kartu Kuning Untuk Jokowi”, Kartu Kuning itu diberikan,usai Jokowi menyampaikan pidato mengenai perkembangan global serta tantangan yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Kehadiran presiden di Kampus UI tersebut dalam rangka memenuhi undangan peringatan Dies Natalis UI ke 68.
Imbauan Presiden untuk “menugaskan” pengurus atau anggota BEM Universitas Indonesia ke Asmat, justru sangat kontraproduktif.. Masih dalam pandangan teori komunikasi politik, presiden dinilai bersikap tidak dalam posisi mengayomi dan melindungi gerakan-gerakan mahasiswa yang menurut Profesor Bagir Manan masih dalam koridor yang benar. “Generasi milenial itu memiliki sifat yang sangat berubah-ubah, maka penangannya juga harus memerlukan kesabaran. “ katanya.
Jauh sebelum dua “peristiwa” ini terjadi, komunikasi politik Presiden Jokowi dengan masyarakat (rakyat), sangat mendapat respon positif. Tagline Kerja-Kerja-Kerja yang dicanangkan dibuktikan dengan berbagai hasil-hasil pembangunan, utamanya dengan meresmikan sejumlah pembangunan infrastruktur di Jakarta dan daerah-daerah lain yang pada era sebelumnya belum terlaksana.
Presiden juga dinilai telah menyatu dengan masyarakat atau petani, dengan membagi-bagikan sertifikat kepada rakyat di beberapa daerah. Bahkan Presiden juga dinilai positif kala mampu mensinkronisasikan visi dan misi TNI dan Polri sehingga di tahun politik ini, stabilitas keamanan bisa terjaga.
Lantas, mengapa kemudian Presiden terjebak dalam isu yang remeh temeh ini?
Dalam catatan saya, ada dua hal yang ingin di create oleh presiden agar stigma yang masih melekat pada dirinya bisa segera hilang.
Pertama adalah, keharmonisan (hubungan yang tulus) antara presiden dengan.ummat Islam belum maksimal. Hubungan itu masih berada pada zona merah. Seolah-olah ada tembok pemisah antara presiden dengan ummat Islam. Dan dalam situasi yang demikian ini, orang-orang dekat Presiden (termasuk staf ahlinya) tidak cakap menarasikan bahasa dan gambar yang pas di dunia maya yang sangat tidak bersahabat ini. Cilakanya lagi, interpretasi yang dimunculkan oleh orang-orang dekat presiden bersifat parsial dan akibatnya komunikasi politik yang dibangun muncul seperti potongan-potongan puzzle yang sukar untuk disatukan.
[irp posts="9805" name="Aksi Bela Simbol, Balada Kartu Kuning" Zaadit Taqwa"]
Persoalan kedua adalah Presiden Jokowi juga dinilai masih gagal untuk mendekati mahasiswa. Dalam catatan saya, hanya 20 hingga 30 persen mahasiswa yang bisa “dirangkul” selebihnya adalah mahasiswa-mahasiswa yang memiliki pandangan berbeda dengan kebijkan-kebijakan presiden dan pemerintah. Aksi-aksi mahasiswa di seluruh daerah yang muncul manakala adanya berbagai kebijakan dan momentum, menjadi ukuran dan data yang penting, bagaimana ”buruknya” komunikasi politik presiden dengan mahasiswa.
Kasus “kartu kuning untuk Presiden Jokowi” sejatinya bisa dijadikan momentum untuk menjalin komunikasi dengan mahasiswa, bukan sebaliknya, meladeni permainan generasi-generasi milenial yang seperti pernyataan Prof Bagir Manan, generasi yang cenderung berubah-ubah namun bisa dikendalikan.
Semoga tulisan ini bisa memperbaiki komunikasi politik Presiden, yang sebenarnya sudah dibangun sejak awal yakni bertemu dengan masyarakat sembari blusukan ke kampung-kampung, ke desa-desa yang justru mulai ditinggalkan.
Bersilaturahmilah secara alami, tanpa rekayasa. Biarkan rakyat yang menilai. Biarkan rakyat yang mengunggah, karena merekalah penilai dan penentu jadi tidaknya seseorang kandidat itu jadi Presiden atau tidak.
***
Editor: Pepih Nugraha
Catatan serius sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/01/26/catatan-serius-untuk-presiden-jokowi-wajib-hapus-5-stigma-ini-jika/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews