Logo 212 Yang Disamarkan di Film Wiro Sableng

Rabu, 14 Februari 2018 | 16:43 WIB
0
835
Logo 212 Yang Disamarkan di Film Wiro Sableng

Entah apakah ada kaitannya cerita fiksi karya Bastian Tito pengarang komik Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut 212 dengan momen aksi keagamaan yang juga menggunakan simbol serupa. Yang jelas, istilah “212” jauh lebih dulu populer menjadi simbol abadi tokoh pendekar fiktif Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng yang hidup di puncak Gunung Gede.

Film cerita Wiro Sableng ini pernah diangkat ke layar lebar di sekitar medio 80-an yang diperankan Tony Hidayat dengan mengambil beberapa sekuel dari beberapa judul komik aslinya. Saya tentu saja sejak masih duduk di sekolah menengah, gemar sekali dengan komik ini, bahkan jika terlewat beberapa episode, saya merelakan waktu liburan untuk sekadar nongkrong menyewa komik ini di sekitar terminal bus kota.

Kini film Wiro Sableng kembali diangkat ke layar lebar, dengan tentu saja lebih atraktif dan dinamis ketimbang film sebelumnya yang dibuat era 80-an. Vino G Bastian dipercaya oleh sutradara Angga Dwimas Sasongko untuk memerankan karakter pendekar 212 ini yang diimajinasikan memiliki kesaktian, namun tetap humanis dan humoris.

Namun siapa sangka, dalam beberapa posternya yang tersebar di berbagai media, angka 212 tampak disamarkan, bahkan lebih mirif logo “metal” dengan karakter “M” seperti layaknya salam “tiga jari”. Entah alasan apa logo ini terkesan disamarkan, padahal simbol 212 sepertinya melekat milik karakter seorang pendekar dalam dunia fiksi, bukan milik sekelompok orang tertentu.

Konon, seingat saya, sang pengarang komik, Bastian Tito di sekuel pertamanya yang berjudul “Empat Brewok dari Goa Sanggreng”, ketika memperkenalkan tokoh Wiro Sableng, terjadi semacam dialog antara sang murid dan gurunya. Angka 212 yang ditanyakan oleh Wiro kepada gurunya dijelaskan, bahwa angka 212 memiliki makna filosofis di mana angka 2 yang pertama bermakna dunia dan akhirat, angka 1 berarti Tuhan dan angka 2 berikutnya adalah kehidupan alam raya yang senantiasa berpasangan.

Perihal angka-angka memang selalu menarik, terlebih jika dikaitkan dengan tradisi Jawa, dimana setiap angka menunjukkan keistimewaannya sendiri, pun selaras dengan ajaran agama manapun—termasuk Islam, angka-angka menunjukkan hal penting menyangkut filosofi dan nilai-nilai kemanusiaan.

Perhatikan saja ayat-ayat suci dalam Al-Quran, bagaimana angka-angka menunjukkan “eksistensi”nya sendiri dan ditafsirkan bermacam-macam oleh para ahli agama. Sebagai contoh, bahwa Tuhan menciptakan alam raya ini dalam jangka enam hari (sittati ayyaam) sebagaimana tersebar dalam 6 surat berbeda dalam Al-Quran, menarik bukan?

Dan saya kira, masih banyak tersebar angka-angka yang tertera dalam banyak kitab suci atau buku-buku kesejarahan lainnya yang senantiasa mengandung makna-makna. Hanya saja, barangkali angka 212 merupakan istilah orisinil yang keluar dari kekuatan imajiner Bastian ketika memberikan “positioning” bagi tokoh karakter dalam komiknya.

Melekatnya angka 212, kemudian juga ditiru oleh komikus lainnya yang membuat cerita fiksi silat dengan judul, “Suro Gendeng: Pendekar Tombak Sakti Naga Dewa 313”.

Istilah 212 justru mencuat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari serentetan aksi-aksi keagamaan sejak 2017 lalu, bahkan menjadi “tren politik” karena tetap dihidupkan menjadi semacam kelompok atau alumni yang masih mengikatkan diri mereka dengan istilah 212.

Terlepas dari adanya dominasi atas angka 212, saya kira kita mesti berterima kasih karena Bastian Tito pernah mempopulerkan istilah ini dan melekat kuat menjadi image seorang tokoh penyelamat dunia persilatan yang senantiasa berpihak kepada kebenaran.

Membaca komik serial Wiro Sableng memang mengasyikkan, karena kita seakan terbawa dalam dunia imajiner tentang gambaran Nusantara jaman silam. Semua tempat, tokoh, karakter yang muncul dalam komik ini sangat Nusantara-sentris, sehingga wajar jika karakter dalam komik ini lekat dengan nuansa nasionalisme.

Lalu, kenapa logo 212 dalam film Wiro Sableng yang akan tayang September mendatang terkesan disamarkan? Apakah pihak produser khawatir akan timbul persepsi yang berbeda karena angka 212 sedang kuat-kuatnya menjadi dominan dalam sebuah kelompok politik?

Bisa saja iya, karena memang kita harus berhati-hati menulis atau mengunggah apapun, karena jika ada yang tidak suka lalu melaporkan, jangan-jangan kita terkena pidana pasal pencemaran nama baik!

Mengerikan memang, karena zaman ini merupakan zaman “kegilaan”, hingga ada orang-orang yang dituduh gila atau depresi karena memburu dan menyakiti para tokoh agama. Kegilaan bahkan sudah merambah media sosial, karena betapa semua informasi baik yang benar maupun sekadar fitnah bercampur aduk menjadi satu. Bukankah itu juga suatu kegilaan? Yang penting, kita tidak ikut menjadi “gila” karena maraknya provokasi yang “nggilani” di media sosial.

Bukan suatu kebetulan, bahwa nama “Sableng” yang disematkan dibelakang nama “Wiro” juga identik dengan kondisi kegilaan, tak jauh berbeda dengan gurunya Sinto Gendeng yang setali tiga uang. Rasanya tepat jika film ini tayang disaat kondisi “kegilaan” sedang marak terjadi di negeri ini. “Kegilaan” tentu saja merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “perihal (kondisi atau keadaan) gila; sesuatu yang melampaui batas; kebodohan, kesalahan (dengan sengaja)”.

[irp posts="7516" name="Film Paling Jelek 2017"]

Bukankah maraknya berita bohong (hoax) memang massif disebarkan dan menjadi pemicu kebodohan masyarakat? Belum lagi kegilaan dalam agama (berlebihan hingga melampaui batas) yang kemudian timbul keresahan dan kekerasan ditengah masyarakat dengan mengatasnamakan agama? Semoga film Wiro Sableng yang akan tayang nanti, tidak membuat orang semakin gila, tetapi justru semakin waras dalam berpikir maupun bertindak.

Saya tentu bangga sebagai penggemar Pendekar 212, bukan hanya angkanya, yang sempat melekat dan seringkali mengganggu imajinasi saya untuk menulis soal fiksi. Bagi saya, karakter Wiro Sableng, sebagai sosok yang hebat, berilmu tinggi, cerdas, namun kocak tetap sebagai manusia rendah diri yang senantiasa humanis. Bahkan tokoh ini dalam perjalanannya seringkali membela kaum lemah, tanpa mempertanyakan mereka berasal dari golongan mana, kelompok mana atau beragama apa.

Yang paling menarik, tokoh Wiro Sableng belajar dari banyak guru yang tersebar diseluruh Nusantara. Di antara gurunya yang seringkali disebut adalah “Kakek Segala Tahu” dan “Datuk Rao Basaluang Ameh” yang disaat-saat genting Wiro mengeluarkan jurus-jurus kanuragan yang diajarkan mereka.

Ah, saya jadi semakin terimajinasi oleh ketokohan Wiro Sableng, yang walaupun disebut “sableng”, tetapi hatinya bersih, tak ada hasrat terhadap kekuasaan, apalagi berpikir soal keburukan orang lain. Walhasil, saya hanya berharap, bahwa karakter Wiro Sableng yang ada dalam filmnya nanti, mampu membawa nuansa edukatif kepada masyarakat, bukan sekadar tontonan tetapi dapat menjadi tuntunan.

***

Editor: Pepih Nugraha