Lolos dari Maut (1): Lebih Menyiksa dari Sakit Jantung

Minggu, 11 Februari 2018 | 07:00 WIB
0
820
Lolos dari Maut (1): Lebih Menyiksa dari Sakit Jantung

Saya jatuh sakit lagi. Serius. Sangat serius. Akhir Desember lalu. Saat menjalani Umroh bersama keluarga. Pembuluh darah utama saya koyak. Koyakannya panjang sekali.

Pembuluh utama yang disebut aorta itu diameternya 4 cm. Yang tugasnya mengalirkan dengan deras darah yang baru keluar dari jantung. Yang akan membawa darah ke seluruh badan: ke otak, ke lengan, ke organ-organ di sekitar perut dan ke seluruh bagian bawah badan.

Akibatnya, pasok darah ke perut, liver, ginjal, pankreas, dan ke arah dua kaki saya terganggu berat. Bagian-bagian itu sakit semua. Hanya saja otak saya tidak terganggu. Saya masih bisa mikir. Apa yang harus saya lakukan. Semula saya tidak tahu kalau aorta saya koyak. Tahunya dada sakit, punggung sakit, tidak bisa bernafas, perut terasa penuh sesak, tidak bisa kentut dan tidak bisa pup.

Karena dada dan punggung sakit, saya mengira lagi kena serangan jantung. Sakitnya bukan main. Menyiksa. Nafas tersengal. Dada nyeri. Punggung sakit. Perut sesek. Tidak bisa kentut. Tidak bisa pup.

Saat siksaan itu terjadi saya lagi tiduran di kamar hotel saya di Madinah, Arab Saudi. Lagi menunggu azan dzuhur yang masih lama. Tiba-tiba saja tidak bisa bernafas. Saya terpaksa bangun dan berdiri.

Agar bisa bernafas. Itu pun harus dalam posisi wajah menengadah dan mulut terbuka. Dada nyeri. Punggung sakit. Perut sesak.

Saya kian berkesimpulan saya kena serangan jantung. Saya pun memberitahu istri bahwa saya kena serangan jantung. Sambil memukul-mukul dada yang nyeri. Dan wajah terus dalam posisi menengadah. Agar bisa bernafas meski sangat berat.

Istri memberitahu anak-menantu di kamar lain. Secepat kilat seluruh keluarga sudah berkumpul di kamar saya. Panik. Saya tidak bisa bicara. Hanya terus nerocos yang kurang jelas bahwa saya kena serangan jantung. Cepat bawa ke dokter. Atau rumah sakit terdekat.

Istri saya terus menyiramkan sisa minyak kayu putih ke dada dan punggung saya. Azrul Ananda, anak saya, memapah saya menulusuri lorong menuju lift. Isna Fitriana, anak wedok saya, sibuk dengan handphonenya mencari hubungan dokter dan rumah sakit. Tatang, suami Isna, lari ke bawah mencari taksi. Ivo, istri Azrul menenangkan enam cucu yang ikut kumpul dan melongo semua.

Sepanjang dipapah di lorong menuju lift saya terus berusaha mengatakan bahwa saya kena serangan jantung. Sambil memukul-mukul dada. Maksud saya agar saya mendapat prioritas lift.

Di sepanjang loby saya juga terus berusaha teriak bahwa saya kena serangan jantung. Siapa tahu ada dokter di kerumunan orang di loby itu.

Ke luar hotel, melewati parkir, taksi sudah siap. Sedan. Cukup tiga orang: Azrul, Tatang dan saya. Saya terus bicara keras sebisa saya. Bahwa saya kena serangan jantung. Suara saya memang tidak jelas karena posisi saya harus terus menengadah dan mulut terus membuka.

Tapi sopir taksi cukup paham kata-kata “I got heart attack” yang terus saya ucapkan secara darurat. Saya rasakan sang sopir lagi zig-zag. Menerobos lalu-lintas kota Madinah yang ramai. Bahkan saya lirik taksi ini memotong jalan. Melanggar aturan. Demi cepat mencapai rumah sakit. Dalam hati saya memuji keberanian sopir melanggar aturan itu.

Azrul memapah saya menuju UGD. Tatang membereskan taksi. Sepanjang dipapah menuju ruang UGD nafas saya masih tersengal. Hanya bisa bernafas dalam posisi wajah menengadah. Dan mulut membuka. Tapi, meski suara kurang jelas, saya terus mengucapkan kata-kata bahwa saya lagi kena serangan jantung. Agar perawat dan dokter di situ ambil perhatian serius.

Benar saja. Perawat bergegas membawakan kursi roda. Mendorong saya menuju ruang perawatan. Membaringkan saya di tempat tidur pemeriksaan. Tapi begitu berbaring saya terjunggit bangun. Saya tidak bisa bernafas dalam posisi berebah. Dokter langsung membuat tempat tidur itu dalam posisi tegak separo. Agar saya bisa diperiksa dalam posisi setengah duduk. Sambil nafas terus tersengal, wajah menengadah dan mulut terbuka.

Madinah lagi musim dingin. Udara kering. Bibir kering. Tenggorokan yang terus membuka ikut kering. Saya minta Azrul, yang terus memijiti punggung saya yang nyeri, untuk meneteskan air ke tenggorokan saya yang terus membuka. Setiap lima menit. Saya masih bisa berfikir tenggorokan itu bisa luka. Dan menimbulkan persoalan tersendiri.

 Saya menengok wajah dokter. Arab. Terlihat dari wajah, brewok dan pakaian gamisnya. “Saya kena serangan jantung,” kata saya padanya. Beberapa kali. Sambil memukul dada yang sakit. Punggung saya juga sakit dan perut saya terasa penuh sesak.

“Dari mana kamu tahu kena serangan jantung,” tanya dokter.

“Sepupu saya meninggal minggu lalu. Dengan gejala yang sama,” jawab saya tersengal.

Seminggu terakhir ini keluarga saya dari Magetan memang terus menceritakan drama meninggalnya KH Ridlo Tafsir, kyai kami di Takeran, Magetan. Akibat serangan jantung. Saya begitu terpengaruh kisah-kisah itu. Tapi setidaknya, dengan mengatakan kena serangan jantung, dokter segera ambil tindakan.

Saya lihat ada dua tempat tidur pemeriksaan di ruang itu. Beberapa pasien diperiksa di kursi roda. Atau di kursi. Ada perawat berkebangsaan Filipina yang bisa berbahasa Indonesia.

Dialah yang memarahi saya agar tidak terus berteriak kesakitan. Saya tidak memperdulikannya. Dia tidak tahu tersiksanya badan saya.

**

Dokter Madinah ini bergegas menyiapkan alat-alat pemeriksaan jantung. Di kanan kiri tempat tidur saya. Perekaman jantung dimulai. Stetoskop dipindah-pindah: dari dada kiri, dada kanan, bagian-bagian di perut dan punggung.

“Jantung Anda prima. Baik sekali,” ujar dokter setelah membaca print out rekaman jantung. “Anda ini tidak apa-apa. Anda boleh kembali ke hotel,” ujar dokter tersebut.

Kata-kata dokter itu diucapkan dengan nada tertentu. Seperti menyalahkan saya. Memojokkan saya. Sok tahu kena serangan jantung. Bikin ruangan bising. Bikin semua perawat sibuk.

Meski dipojokkan begitu saya lega. Jantung saya ternyata dalam kondisi prima. Menjadi pasti sakit saya ini… bukan serangan jantung. Berarti tidak akan mati mendadak. Tapi sakit apa?

 

Saya tidak mau meninggalkan rumah sakit. Nafas saya masih sesak. Masih tersengal. Posisi badan pun masih serba salah. Serba sakit. Dada masih nyeri. Punggung masih sakit. Perut masih terasa sangat penuh. Saya menolak pergi dari RS. Tapi saya tidak panik lagi. Sudah lebih tenang. Sudah ada penegasan saya tidak kena serangan jantung. Tidak akan segera menyusul Kyai Ridlo Tafsir, sepupu saya itu. Tapi saya ini sakit apa?

Saya pun menceritakan asal usul apa yang terjadi sebelum sakit ini. Dokter mau mendengarkan. Lalu memeriksa lebih teliti perut saya. Rupanya dia melihat perut saya memang bergejolak. Akibat makanan-makanan yang dengan rakus saya lahap sepanjang pagi itu.

Dokter tidak lagi memaksa saya meninggalkan rumah sakit. Saya benar-benar tidak kuat menahan sesak nafas, nyeri dada, sakit punggung dan perut yang sesek. Sebagai gantinya dokter minta suster untuk menyuntik saya morphin. Dua kali suntikan. Untuk menghilangkan semua rasa sakit itu.

Saya pasrah saja.

Azrul menawari saya apakah ingin minum minuman hangat. Misalnya coklat panas. Untuk selingan agar tidak terus meneguk air putih. Saya mengangguk. Tatang, menantu saya lari mencari coklat panas.

Setelah coklat segelas kecil saya teguk habis dokter bertanya: minum apa itu? “Coklat,” kata Azrul. Dokter pun marah.

Saya tidak boleh makan atau minum apa pun kecuali air putih. Pencernaan saya harus diistirahatkan setelah tadi padi terlalu banyak macam-macam isi.

Dua kali suntikan morphin itu ternyata tidak mempan. Sakit-sakit itu tidak terasa berkurang. Saya terus berbising. Tidak tahan. Akhirnya dokter memberi isyarat kepada perawat. Sambil menggerakkan tangan, sambil mengedipkan mata. Isyarat untuk memberikan suntikan rahasia. Saya bisa menduga isyarat rahasia itu: disuntik obat tidur.

Benar saja, perawat mengambil alat suntik. Tanpa memberitahu obat apakah itu. Langsung menyuntikannya. Saya tahu. Itu obat tidur.

Saya pasrah.

Hanya saja obat tidur itu juga tidak bisa membuat saya tidur. Rasa sakitnya melebihi kekuatan obat tidurnya. Tapi saya tidak punya kekuatan untuk bising lagi. Saya lemas. Sakitnya tetap, tapi lemas.

Setengah jam kemudian dokter memutuskan saya harus meninggalkan rumah sakit. Sudah lima jam saya mendominasi gawat darurat. Saya tidak punya kekuatan lagi.

Menyerah.

Dokter menegaskan bahwa saya harus sabar. Menunggu pencernaan saya memproses secara alami segala makanan berat yang saya lahap. Nanti akan normal kembali. Tunggu saja. Pulanglah ke hotel. Begitu kata dokter.

Saya pun meninggalkan rumah sakit Madinah. Entah apa nama rumah sakit itu. Badan masih sakit. Lemas. Saya dipapah Azrul dan Tatang.

Sempoyongan.

Tiba di loby hotel perut saya bergejolak. Mungkin akibat zig-zag di dalam taksi. Tapi berhasil naik lift.

Tiba di lorong menuju kamar, tiba-tiba saya muntah. Luar biasa banyak. Di atas karpet yang empuk dan tebal. Seisi perut seperti tumpah semua.

Muntah itu membuat saya merasa lega. Perut tidak lagi sesek. Saya bisa lebih mudah bernafas. Tidak harus lagi selalu dalam posisi menengadah. Istri memandikan saya dengan sisa minyak kayu putih. Isna memberi saya minum air hangat.

Habis muntah saya kian lemas. Tapi saya bisa berbaring. Bisa bernafas dalam posisi berbaring. Maka saya tergolek di tempat tidur. Dada masih nyeri sekali. Punggung masih sakit sekali. Hanya perut tidak lagi sesek.

Sampai di sini fokus sakit saya masih di seputar pencernaan. Tidak ada kecurigaan ke yang lain. Apalagi ke saluran darah utama yang robek. Saya terus terngiang kata-kata dokter: nanti akan sembuh sendiri. Berilah waktu pada pencernaan untuk bekerja secara alami.

(Bersambung)

***