Mudur ke beberapa tahun yang lalu di mana aku masih sering mendengar ucapan "Belajar yang rajin disekolah, biar pintar". Bahkan ketika sarapan pagi atau saat santai selonjoran kaki didepan televisi orang tuaku sering kali mengatakan hal yang sama. Berulang kali beliau mengatakan hal seperti itu bukan tanpa tujuan, melainkan penuh harapan semoga aku bisa mendapatkan pendidikan yang bagus melalui jalur beasiswa.
Ketika orang tuaku mengharapkan beasiswa, apakah aku termasuk dalam kategori keluarga tidak mampu? Jelas bukan. Bersyukur dengan atau tanpa beasiswa orang tuaku masih manyanggupi biaya pendidikanku dalam keadaan berkecukupan, namun hal tersebut tak mampu menghalangi harapan orang tua agar aku bisa mendapatkan beasiswa, ya dalam hati sebenarnya aku juga berharap dapat beasiswa sih hehee.
Harapan seperti itu muncul bukan karena orang tuaku ogah menyisihkan sebagian penghasilannya untuk biaya pendidikanku, melainkan tumbuhnya pemahaman bahwa "Beasiswa akan lebih mudah didapatkan bagi mereka yang pintar".
Lah katanya beasiswa untuk mereka yang tidak mampu? terus gimana dong mereka yang tidak mampu? Ya, beasiswa memang masih tetap diperuntukan bagi mereka yang tidak mampu secara finansial, tapi pada kenyataanya belum pernah aku mendengar "Beasiswa akan lebih mudah didapatkan bagi mereka yang miskin" (maaf aku pakai kata miskin).
Sepertinya tak cukup hanya dengan seorang anak bangsa diminta surat pernyataan mengaku dirinya miskin untuk mendapatkan beasiswa. Hal ini juga mengingatkanku pada status media sosial seorang temanku yang kurang lebih isinya begini "Beasiswa emang banyak bertebaran di mana-mana, tapi syaratnya juga banyak banget yang salah satunya adalah pintar".
Aku tidak akan membahas tentang pendidikan di Sekolah Dasar dan Menengah karena memang biayanya sudah sesuai bahkan ada yang hanya membayar keperluan buku LKS saja (itupun bagi mereka yang mampu). Tapi bagaimana dengan jejang pendidikan berikutnya? Rasanya amat disayangkan seorang generasi penerus bangsa terpaksa menghentikan pendidikannya hanya karena dia miskin dan tak pintar.
Aku bersyukur bisa menjadi salah satu pelajar di salah satu SMA Negeri di Tangerang, tak pernah aku lihat teman atau siswa lainnya berhenti bersekolah lantaran tak ada biaya. Hal itu bukan karena semua peserta didiknya berasal dari keluarga berkecukupan atau berada, melainkan pihak sekolah bisa dengan baik mengatur biaya bantuan yang diberikan oleh pemerintah.
Tapi yang ku rasakan di sekolahku belum tentu sama di sekolah lainnya atau bahkan disekolah swasta. Biaya di SMA negeri memang tidak terlalu mahal, tapi tak semua anak yang tak mampu dalam finansial bisa masuk ke sekolah negeri, alasannya sudah pasti karena sulitnya menembus beberapa tes baik itu tertulis atau ranking berdasarkan nilai akhir.
Di sekolah kami kembali bersaing dalam pelajaran, mereka yang disekolah sebelumnya adalah siswa pintar belum tentu disekolah barunya tergolong pintar, begitupun sebaliknya.
Ketika hendak menghadapi Ujian Nasional beberapa siswa tak hanya disibukan dengan seputaran tetentang UN saja, melainkan akan sibuk mencari universitas mana yang cocok untuk melanjutkan pendidikannya. Bagi mereka yang tak mau ambil pusing atau memang sudah punya pilihan dari awal maka akan memilih ke universitas swasta atau mengikuti jalur khusus.
Di sisi lain juga banyak yang berjuang meningkatkan nilai ujian akhir sekolah demi menjadi salah satu bakal calon mahasiswa terpilih dibeberapa universitas yang banyak menawarkan beasiswa dan sudah terbukti kejelasannya. Tapi sayang, pada kenyataanya yang tersaring dalam seleksi adalah mereka yang memang memiliki nilai tinggi dan selalu mengalami peningkatan dalam setiap semester disekolah.
Ehh tunggu dulu, kata siapa beasiswa hanya didapat bagi mereka yang pintar? Anak yang nilainya biasa-biasa saja juga bisa kok dapat beasiswa tapi tetap saja mereka akan dibilang "Itu cuma keberuntungan aja".
Tak cukup dengan niat belajar saja
Di sini aku tidak menyalahkan kenyataan bahwa kebanyakan orang pintar lah yang menerima beasiswa, melainkan sedikit bertanya-tanya "Apakah tak cukup hanya dengan niat belajar saja untuk mendapatkan beasiswa?"
Selepas kelulusan sekolah dan mulai menjalani kegiatan masing - masing bukan berarti kawan - kawan sekolah menghilang tanpa kabar. Sesekali aku bertukar kabar dengan kawan semasa sekolah, baik itu menanyakan tentang pekerjaan atau sekedar ingin tahu bagaimana keadaan kuliah mereka.
Namun ada kabar yang membuatku terkejut yaitu mendengar salah satu kawanku yang tak melanjutkan perkuliahan disemester selanjutnya, entah apa alasannya tapi yang aku tahu dia berhasil menembus salah satu universitas ternama yang banyak menawarkan beasiswa melalui jalur seleksi.
Apakah dia siswa yang pintar atau biasa saja aku tidak tahu, karena memang saat disekolah kami tak pernah satu kelas dan hanya kawan ngobrol saja di jam istirahat. Aku juga ingat dengan cerita guru BK di SMA yang mengutarakan rasa kecewanya lantaran salah satu alumni yang terkenal pintar pernah menolak tawaran universitas ternama melalui jalur undangan. Wah kalau menolak seperti itu harusnya dari awal tak perlu lah ikut proses seleksi, kan lumayan kuota satu orang juga pasti banyak yang mengharapkannya.
Dan di sisi lain seorang kawanku pernah menanyakan biaya perkuliahan di universitas swasta kepadaku. Setelah lulus sekolah kawanku ini memang tak melanjutkan dulu ke perguruan tinggi namun bukan berarti dia tak ada niat untuk kuliah, aku bisa lihat semangatnya ketika mengikuti pendaftaran jalur seleksi, terlebih saat disekolah dia termasuk salah satu murid yang rajin dan selalu mengerjakan PR.
Memang kawanku yang satu ini biasa biasa saja dalam masalah nilai, namun kemauan untuk belajarnya sangat tinggi, berbeda denganku yang kalau tak mengerti salah satu rumus hitung-hitungan maka aku akan cuek saja, tapi kalau kawanku ini pasti akan menanyakannya kepada guru.
Semangatnya untuk melanjutkan pendidikanya pun masih bisa aku rasakan ketika kawanku ini menanyakan biaya universitas swasta yang tak terlalu mahal dan ada kelas karyawannya juga, karena memang dia berasal dari keluarga yang kurang mampu untuk urusan ini.
Mungkin kerja sambil kuliah adalah jalan terbaik baginya untuk terus melanjutkan pendidikannya, tapi sayangnya sampai sekarang belum aku terima kabar kalau kawanku ini sudah bisa mewujudkan niatnya dalam pendidikan yang lebih tinggi di universitas.
Entah aku tak tahu tulisan ini aku tulis untuk siapa, apakah untuk menteri pendidikan atau pemerhati pendidikan, jelas bukan.
Aku hanya sekedar menulis saja kalau ternyata untuk meneruskan pendidikan dalam kondisi keuangan yang kurang memang tak selalu berjalan dengan lancar, kadang keinginan untuk melanjutkan kuliah bagi mereka yang kurang mampu dalam urusan biaya terpaksa terhenti lantaran tak terpilih sebagai salah satu anak bangsa yang berprestasi, padahal niat mereka bisa saja lebih tinggi dari mereka-mereka yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah atau perusahaan tertentu.
Jadi mana yang lebih penting, kepintarannya atau niatnya? Yaa entahlah. Tulisan ini aku buat tanpa ada maksud menyinggung pihak lain ya, dan semoga saja pendidikan di Indonesia semakin baik dari hari kehari sehingga dapat dirasakan oleh semua, Amin.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews