Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menunjuk dua perwira tinggi Polri menjadi Pelaksana tugas (Plt) gubernur Jawa Barat dan gubernur Sumatera Utara. Irjen Pol M Iriawan untuk Jabar dan Irjen Pol Martuani Sormin untuk Sumut.
Banyak orang yang mengatakan, tindakan Mendagri itu aneh. Mengapa harus polisi?
Sebetulnya, tidak terlalu aneh juga. Sebab, pilkada Jabar dan Sumut sangat penting bagi pilpres 2019. Jadi, yang dilakukan Tjahjo pasti akan dilakukan oleh siapa pun yang ada pada posisi untuk mengamankan seorang bos. Tjahjo "wajib" mengamankan Jokowi di pilpres 2019. Dan dua provinsi ini sangat rawan bagi Jokowi.
Jabar rawan karena di pilpres 2014, Jokowi kalah di sini. Sumut rawan karena "Gubernur Edy Rahmayadi" bisa menimbulkan efek ke pilpres 2019.
Apakah itu berarti pilkada Jabar harus dimenangkan oleh paslon yang pro-Jokowi? Dari kacamata syahwat politik Jokowi, pastilah dia ingin Jabar "jatuh ke dalam pelukan". Nah, apakah Plt gubernur yang dijabat oleh jenderal polisi bisa membantu pemenangan paslon pro-Jokowi?
Secara normatif, Plt gubernur harus netral. Tetapi, apakah kita menjadi orang dungu untuk melihat arah yang akan ditempuh oleh Irjen M Iriawan? Apakah orang lupa rekam jejak Iriawan selama dia menjadi Kapolda Jakarta? Sewaktu di Jakarta, apakah Anda lupa di mana Iriawan berdiri ketika sekian banyak aksi “oposisi” damai kaum muslimin berlangsung?
Jadi, senetral-netralnya M Iriawan sebagai Plt gubernur Jabar, Anda sudah bisa menduga kadarnya.
Bagaimana dengan Irjen Martuani Sormin sebagai Plt gubernur Sumut?
[irp posts="9112" name="Agar Tak Dicurigai, Sebaiknya Presiden Tolak Usulan Tjahjo Kumolo Ini"]
Lagi-lagi, secara normatif dia akan netral. Tetapi, sebagai seorang polisi aktif seperti M Iriawan, pastilah dia tidak putus dari tali komando atasannya. Seandainya pun dia tidak pernah dikontak atau mengontak atasannya di Polri selama dia duduk sebagai Plt, apakah itu berarti Irjen Martuani "lupa" dengan "arah politik" bosnya? Begitu juga, tentunya, dengan M Iriawan.
Lantas, apa saja "keuntungan" yang didapat oleh para Plt polisi itu untuk "mengamankan" kedua pilkada yang dianggap bakal seru itu?
Sebagai gubernur, mereka memiliki akses yang sangat luas untuk semua urusan strategis di tingkat provinsi. Para Plt gubernur pastilah menjalin "kerja sama" dengan KPUD (provinsi dan kabupaten/kota) sebagai penyelenggara pilkada. Semua orang tahu bahwa "hubungan baik" dengan KPUD sangat penting dalam "memuluskan" pilkada.
Sebaliknya, para pejabat KPUD akan merasa sangat "senang" bisa berteman dekat dengan Irjen Pol aktif yang duduk sebagai gubernur. Dan para komisioner KPUD sudah "paham" mengapa Mendagri menugaskan para irjen itu sebagai gubernur sementara.
Menurut dugaan saya, pertimbangan kerawanan kedua provinsi itu sebagai alasan Mendagri untuk mengutus kedua irjen, boleh jadi sebagai isyarat bahwa pihak yang berkuasa sangat khawatir terhadap kemungkinan hasil pilkada di kedua provinsi.
[irp posts="9132" name="Ketar-ketir Plt Gubernur dari Polri"]
Masalahnya adalah bahwa secara psikologis, paslon "oposisi" di Jabar dan Sumut sudah berada di atas angin. Paslon Sudrajat-Syaikhu di Jabar diperkirakan tidak akan terlalu sulit untuk menang. Begitu juga paslon Edy Rahmayadi-Rajeksyah di Sumut.
Di Sumut, misalnya, warga masyarakat tidak begitu hiruk-pikuk oleh pilkada ini karena ada perasaan "foregone conclusion". Artinya, ada perasaan bahwa paslon yang bakal menjadi gubernur seolah "sudah diputuskan". Saya yakin. warga Jabar pun merasakan suasana yang mirip dengan yang berlangsung di Sumut.
Suasana psikologis inilah yang kelihatannya menggiring Mendagri ke kesimpulan bahwa pilkada di kedua provinsi ini "sangat rawan". Sehingga, perlu dipasang Plt yang bisa menghilangkan kerawanan itu.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews