Media Massa Penampung Sampah

Jumat, 26 Januari 2018 | 11:10 WIB
0
637
Media Massa Penampung Sampah

Media massa, mass media, sebagaimana social media, mempunyai hak untuk menyatakan apa saja, menginformasikan apa, mengkomunikasikan apa saja. Termasuk sampah sekali pun, baik sampah berguna maupun sama sekali tak berguna dan tak bisa didaur ulang.

Tapi saya kira, media massa mempunyai beban berbeda dengan social media yang lebih personal. Sebagai media public, bukan lagi soal hak, melainkan juga kewajiban sebagai konsekuensi menjaga kepentingan bersama.

Kepentingan bersama, adalah hukum tertinggi, sering juga disebut social religion (yang mesti lebih diutamakan daripada agama masing-masing, karena aturan yang sama sekali bisa berbeda. Buktinya, yang agamanya beda bisa melarang umat beragama lain yang sedang mendirikan atau bahkan melakukan peribadatan di rumah ibadahnya sendiri).

Jika medsos lebih personal, dan lebih ke kepentingan pribadi pemilik akunnya, media massa (koran, majalah, televise), bahkan media online yang dikelola secara profesional (bedakan dengan pengertian medsos seperti fb, twitter, Instagram, dan sejenisnya, meski beberapa media massa komersial juga menggunakan akun tersebut).

Bentuk kewajiban media massa, ialah mengingat kepentingan massa, kepentingan bersama. Kepentingan lebih banyak orang, daripada hanya sekedar owner dari media tersebut, dan apalagi segelintir orang yang mampu membayari media itu untuk kepentingannya.

Kepentingan bersama, ialah apa yang sudah disepakati dengan yang disebut falsafah negara, UU, hukum, peraturan, kode etik, nilai-nilai universal dari moralitas, dan kesepakatan-kesepakatan lain yang karena berbagai hal yang bakal ditimbulkannya, termasuk ketika berhadapan dengan common enemy dalam nilai-nilai etik bersama.

Media-media yang sering tampil kontroversial, memang beda, sering mengingkari kewajiban-kewajibannya sebagai media yang memungkinkan munculnya dialog yang fair. TV One, apalagi dengan ILC-nya, dibanding Kompas TV dan Metro TV, contoh media massa yang lebih besar menonjolkan kepentingan mereka sendiri (entah itu ratting, popularitas, atau mengabdi kepentingan tertentu yang mereka rahasiakan). Meski di antara tiga televisi berita itu (begitu mereka sering menyebut genitasnya), Metro TV terlalu kentara keberpihakannya. Imparsialitasnya sebagai media, lebih rendah dari lainnya.

TV One dengan ILC (Indonesia Lawyer Club), justeru lebih tampak sebagai panggung para ‘the common enemies’. Meski sebagai moderator, Karni Ilyas justeru lebih menikmati mereka, daripada memberikan ruang seimbang pada pendapat yang berbeda.

Orang-orang dengan legitimasi moral rendah, sering mendapat panggung emas di ILC. KPK bahkan berkali-kali menjadi korban bullying opini, lebih karena ILC membiarkan para musuh masyarakat itu memamerkan silat lidahnya. Satu contoh seperti Fahri Hamzah dan penilaiannya terhadap KPK dalam kasus e-KTP.

Dengan mendengarkan rekaman percakapan Setya Novanto cs, termasuk hasil sadapan FBI yang dipinjamkan pada KPK, semua omongan Fahri Hamzah jadi semakin kelihatan tak punya legitimasi dan dan legalitas. Bahkan integritasnya patut dipertanyakan.

Tetapi, Karni Ilyas tetap saja memajang nama ini, karena dalil atau konvensi jurnalisme jadulnya, the bad news is good news. Ia memanfaatkan kontroversi sebagai cara dagang yang heboh. Pada titik tertentu, moralitas Karni Ilyas sendiri bisa menjadi persoalan.

Beruntung KPK terus kukuh dengan jalan pedangnya. Meski terkesan terlampau hati-hati dan karenanya lamban. Karena memang hanya dengan bukti benar-benar akurat, KPK akan memenangkan pertarungan. Wong di-praperadilan-kan saja, KPK masih bisa dicincang oleh hakim yang integritas moralnya brengsek.

Pada posisi pertarungan antara KPK dan para koruptor itu, ILC tak mempunyai sikap yang jelas. Ia lebih melihat dan memanfaatkan situasinya. Lebih memajukan haknya. Kewajibannya dalam turut serta memberikan enlightmen, pencerahan, edukasi pada masyarakat, tertutup bias komunikasi.

Ruang pada para sampah tak berguna, jauh lebih besar. Karena Karni bukan pejuang hukum. Ia lebih sebagai saudagar media yang mengatasnamakan hukum. Di mana lawyers-nya coba, jika lebih dipenuhi bad politicians? Acara itu lebih tepat disebut Indonesia Bad Politicians Club, karena pendidikan hukumnya sama sekali tak ada.

***

Editor: Pepih Nugraha