Peta Pilkada di Jawa

Kamis, 25 Januari 2018 | 10:41 WIB
0
549
Peta Pilkada di Jawa

Posisi politik saya sangat jelas, asal bukan calon yang didukung Partai Demokrat (PD), asal yang gak ada bau SBY di dalamnya. Di luar partai-partai (berbau) Islam, yang menurut saya selamanya akan jadi medioker dan benalu bagi partai nasionalis lain.

Menurut saya Partai Demokrat adalah partai yang paling pantas dicurigai, dan semestinya disingkirkan dari pergaulan politik baik di tingkat nasional maupun daerah. Bila partai lain dimungkinkan untuk mereformasi diri, maka selama ada SBY di dalam PD, hal itu musykil dilakukan.

Kenapa saya sedemikian "jijay bajay" terhadap PD (selain karena figur SBY), menurut sejarahnya partai ini satu-satunya yang dibangun mula-mula dengan duit AS, ia bisa diduga sebagai anak cabang Partai Demokrat di Amerika. Coba saja lihat gaya berkampanye, bagaimana ia membangun pencitraan, bagaimana ia bersikap hipokrit, cara membangun koalisi, dan seterusnya.

Ketika ia disapih, pada era 5 tahun kedua, tak ada partai punya "daya rampok" yang sesadis partai ini. Buktinya terlalu gamblang, mulainya dari bekas Ketum-nya, Bendahara, Menteri-menteri dari partai ini yang dicokok KPK. Sayangnya itu, Sang Pendiri dan keluarganya justru seolah "manusia suci yang kedua tangannya selalu tercuci bersih sekali".

[irp posts="8723" name="Fenomena Penyanyi Nella Kharisma dan Via Vallen"]

Partai inilah, simbol puncak kemunafikan, kelebayan, dan pembohongan publik. Yang selalu daripadanya justru mengaku pelopor dan penjaga semangat reformasi dan anti korupsi. Slapstik bergaya teritori, SBY sekali!

Di Jawa Barat, semula saya menjagokan Dedi Mulyadi, sayangnya ia malah "turun drajad" bersedia hanya jadi wakilnya Deddy Mizwar yang justru jadi bajing loncat sebagai wakil Partai Demokrat. DM akhirnya jatuh tak lebih sebagai pemburu kuasa, daripada gak kebagian jatah. Tentu saya sangat kecewa!

Di provinsi ini, koalisi "Trio Kwek-Kwek "tetap solid, dengan mengusung tokoh militer yang sayangnya tidak memberikan harapan apa-apa Sebenarnya sayang, karena setelah nyaris selama Orde Baru Jawa Barat seolah "daerah militer", sempat dua kali dipimpin oleh orang sipil, akankan kini kembali ia dipimpin korps TNI-AD.

Saya pikir, di sini kaum muda (seharusnya secara logis) lebih tertarik kepada Ridwan Kamil, yang bagaimanapun parameter prestasinya, ia akan memberikan penyegaran dan menawarkan kebaruan. Apalagi PDIP, tampaknya sebagaimana yang sudah-sudah, selalu diliputi paranoid sehingga selalu gagal mengajukan kader-kader terbaiknya.

Seperti biasa ia terlalu banyak berhitung, hanya untuk kemudian salah membuat kalkulasi politik. Isyarat bahwa Megawati sudah terlalu tua dan lelah untuk menjadi decision maker. Bukti bahwa feodalisme dalam berdemokrasi masih melekat kuat dalam partai ini.

Tampaknya hanya di Jawa Barat pertarungan mungkin harus dilalui dua babak, karena pasangan calonnya cukup banyak dan peta koalisinya cukup rumit -tetapi aturannya Pilkada selain DKI Jakarta hanya berlangsung satu putaran saja. Sehingga gampang ditebak, ia sama sekali bukan representasi format koalisi di dalam Pilpres kelak.

Di Jawa Tengah, kebangetan kalau Gandjar Pranowo sampai kalah oleh Sudirman Said. Lepas bahwa sebenarnya, ia nyaris tidak memiliki prestasi besar dan memberi kemajuan apa-apa di provinsi ini, ia tetaplah yang favorit.

Tidak berprestasi paling mencolok mata, adalah ketika provinsi-provinsi tetangganya (terutama Jawa Barat) berhasil membangun stadion-stadion baru yang megah di berbagai kota.

Jawa Tengah hanya berhasil merenovasi stadion lamanya di Semarang, itu saja jadi bahan tertawaan di medsos karena pemasangan kursinya yang sama sekali tidak masuk akal. Format tribun dari semen yang dipaksakan diberi kursi, sehingga malah tidak menyisakan ruang untuk kaki. Sehingga tempat duduknya justru di sandaran kursi, lalu mau seberapa awet.

Problem provinsi ini masih tetap sama: "penyakit korupsi endemik" yang sulit tersembuhkan. Kualitas jalan-jalan raya masih tetap sama, gampang rusak. Usia rusaknya selalu lebih panjang daripada usia baiknya. Sehingga untuk menghibur dirinya, warga selalu berseloroh: "dalane wis tau apik, jalannya sempat bagus selama walau hanya sebulan".

Kalau pun ada prestasi yang bisa dibanggakan, hanyalah terobosan kredit murah untuk UMKM. Yang sialnya justru dijadikan bahan olok-olok bagi pasangan Gabener-Wagabener DKI jakarta yang "meminjam" duit orang Jawa Tengah untuk dijual lebih mahal bagi Program OC-OK.

[irp posts="4022" name="Hidup di Antara Nella Kharisma dan Via Vallen"]

Sedangkan di Jawa Timur, menurut saya inilah representasi koalisi politik yang mendekati peta nyata di Pilpres kelak. Ketika partai-partai medioker merasa ambigu dan kebingungan untuk menetapkan calon, hingga akhirnya hanya muncul dua calon yang notabene masih "saudara sekandung", masih sama kader NU. Sehingga dapat dianggap siapa pun yang menang, sebenarnya gak penting-penting amat.

Dalam hal ini, lepas dari kontroversi "kengeyelan"-nya memaksakan diri maju untuk ketiga kalinya. Saya harus mengirimkan simpati mendalam buat Khofifah Indarparawansa. Di luar dari rasa penasarannya, bagi saya ini adalah bakti seorang istri untuk menghormati kegigihan suaminya. Yang lima tahun lalu, meninggal dunia setelah berjuang mati-matian demi istrinya, tepat setelah istrinya dinyatakan kalah.

Sekalipun demikian, tampaknya perjuangannya ini akan sangat berat, luar biasa beratnya malah. Karena dua faktor, pertama karena secara strategi politik pasangan Saefullah Jusuf-Puti menyewa Tim Pollmark-nya Eep Saefulloh Fattah. Saya berharap mudah-mudahan ia tidak menggunakan cara-cara kotor sebagaimana Pilkada DKI Jakarta.

Kedua, dalam konteks populisme dan komunikasi politik, secara cerdas Saefulloh Yusuf tidak hanya memilih salah satu tetapi merekrut sekaligus dua idola publik. Ia merekrut sekaligus Via Vallen dan Nella Kharisma sebagai alat kampanye. Dalam konteks Ini juga keterlaluan sialnya saja kalau sampai kalah!

Pilkada di ketiga provinsi ini, (sebenarnya) terlalu gampang ditebak. Pilkada yang sebenarnya akan jauh lebih ekonomis, karena walau secara kewilayahan memiliki luas yang lebih besar. Namun bila dilihat dari kemungkinan duit yang beredar, tidaklah akan terlalu spektakuler.

Kasus La Nyalla Mataliti membuktikan hal tersebut. Pertarungan hanya akan sengit dan keras di Jawa Barat, selebihnya hanya akan adem ayem saja. Hal ini juga merepresentasikan kelak Pilpres, yang rame itu hanya mass media yang senang bikin ribut dan asyik bergunjing sendiri. Seolah-olah lupa di tingkat bawah, rakyat masih sibuk dan berkutat pada "menyambung nafas" dari hari ke hari.

Hal ini menunjukkan ciri prestasi Jokowi sejauh ini masih sebatas "memberi harapan besar bagi bangsanya, yang harus ditemani rakyatnya dengan terengah-engah".

***

Editor: Pepih Nugraha