Reshuffle Jilid Tiga dan “Sedekah” Politik Jokowi Hadapi Pilpres

Jumat, 19 Januari 2018 | 08:02 WIB
0
426
Reshuffle Jilid Tiga dan “Sedekah” Politik Jokowi Hadapi Pilpres

Melihat komposisi hasil reshuffle kabinet yang baru-baru ini dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terkait bertambahnya unsur militer dan kader Golkar di dalamnya, tidak mencerminkan produktivitas dan efektivitas bongkar-pasang kursi kementrian, tetapi lebih kepada bentuk “sedekah” politik yang hasilnya tentu saja baru akan dapat dilihat di masa-masa mendatang.

Prinsip “sedekah” biasanya terkait dengan segala hal yang didermakan dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan dari sebuah “sedekah” politik itu tentu saja adalah dukungan—dari unsur parpol dan militer—sebagai mesin pendongkrak elektoral Jokowi yang akan mencalonkan kembali di Pilpres 2019 nanti.

Membiarkan salah satu menterinya rangkap jabatan sebagai ketua umum parpol juga dapat dianggap sebagai bagian dari “sedekah” politik. Tak mempedulikan akan muncul banyak kritikan dari masyarakat, karena komitmen yang dilanggar ketika 2014 yang lalu, Jokowi  “melarang” para pembantunya rangkap jabatan sebagai pengurus parpol.

Unsur militer juga nampaknya menjadi hal yang tak terlelakkan bagi Jokowi dalam menjalankan skenario “sedekah politik”nya yang tentu saja bertujuan pada akhirnya mampu lebih memperkokoh elektabilitas dirinya ditengah isu hubungannya yang kurang baik dengan kalangan tentara.

Selain “sedekah” kepada parpol besar, unsur militer nampaknya menjadi perhatian serius dirinya dalam menggalang kekuatan politik, utamanya jelang Pilpres 2019 mendatang.

Ada hal menarik dalam reshuffle kali ini, di mana pilihan Jokowi dalam memberikan keistimewaan terhadap Golkar, justru menuai reaksi publik. Memang, parpol berlambang beringin ini sangat potensial untuk mendongkrak elektoral dirinya di Pilpres tahun depan, pasalnya, ada kekhawatiran ketika kepemimpinan Golkar tak lagi di bawah kendali Setya Novanto, Golkar bisa saja berubah haluan tak lagi mendukung dirinya di Pilpres.

[irp posts="8541" name="Setelah Tiga Tahun Kepemimpinan Jokowi"]

Strategi Jokowi bersedekah politik kepada Golkar, bukanlah tanpa alasan, tetapi justru sedang “menanam amal” yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan terutama bagi momen kontestasi politik. Golkar adalah pilihan tepat, karena parpol tertua ini masih memiliki akar yang kuat di tengah di masyarakat di tengah gempuran parpol-parpol baru yang menjamur bak musim hujan.

Setelah Mahkamah Konstitusi mengukuhkan syarat pencalonan presiden (presidential treshold) 20 persen dalam undang-undang pemilu, maka Golkar menjadi parpol kedua terbesar setelah PDIP yang paling masuk akal jika berhasil digaet Jokowi guna memenuhi kuota batas minimal dalam persyaratan  pencalonannya nanti. Itulah kenapa, keberadaan Idrus Marham yang juga Sekjen Golkar bersamaan dengan ketua umumnya, Airlangga Hartarto masuk dalam komposisi hasil reshuffle kabinet Jilid Tiga.

Hampir tidak pernah terjadi, di mana ketua umum dan sekjen parpol sama-sama berada satu atap di pemerintahan, seperti yang terjadi di masa Jokowi kali ini, lengkap dengan rangkap jabatannya sebagai pembantu presiden dan pengurus parpol. Golkar-lah yang tampaknya mendapatkan keistimewaan dari skenario politik Jokowi dalam bingkai “sedekah politik”.

Bagi Saya, strategi yang diterapkan Jokowi ini termasuk yang paling “berani” divtengah derasnya berbagai kritikan dan nyinyiran publik. Dinamika politik ditengah semakin dekatnya kontestasi nasional, memang tak terhindarkan, selalu saja muncul atraksi-atraksi politik yang kadang luput dari berbagai analisa publik.

Memperkuat image politik dan menjalankan strategi memang butuh keberanian, tanpa peduli lagi pertimbangan soal efektivitas atau produktivitas, bahkan walaupun mengorbankan kepentingan nasional yang lebih besar. Pragmatisme dan kecenderungan meraih kemenangan dalam ajang kontestasi, terkadang harus berani mengorbankan banyak hal, termasuk melanggar komitmen demi tujuan jangka pendek kekuasaan.

Beban berat elektoral Jokowi harus sudah mulai diurai saat ini, terlebih jika syarat presidential treshold memungkinkan hanya dua pasang kandidat yang akan saling berhadapan (head to head). Beban elektoral melalui dukungan parpol, sepertinya sudah mulai diurai, melalui kebijakannya yang mengistimewakan partai Golkar.

Di sisi lain, non-elektoral seperti dukungan massa di luar konstituen parpol, juga penting bagi kemulusan dirinya meraih kemenangan nanti. Saya rasa, kedekatan Jokowi dengan ormas NU dan berbagai afiliasinya sejauh ini, merupakan bagian terpenting dalam hal mengurai beban non-elektoral dirinya—selain dukungan parpol di parlemen—lagi-lagi guna kepentingannya memperteguh image politiknya jelang Pilpres yang semakin dekat ini.

[irp posts="7062" name="Menikmati Hasil Tiga Tahun Pengabdian Jokowi"]

Inilah manuver “sedekah politik” yang sedang dijalankan Jokowi jelang Pilpres 2019, menanamkan beragam kepentingan, mendermakan “sebagian” kekuasaan politiknya kepada parpol besar dan kalangan militer, menutup jalur-jalur politik yang dirasa merugikan kepentingan politiknya, terus membangun pencitraan politik ditengah publik, seraya tetap memperteguh image kesederhanaan dan kebersahajaan.

Diakui maupun tidak, demi memuluskan langkah dirinya pada ajang kontestasi politik nasional, banyak momen-momen tertentu yang kemudian “dipolitisasi” bahkan kadang tanpa disadari sedikitipun. Keberadaannya beberapa waktu yang lalu di Jawa Barat dan satu mobil dengan salah satu cucu tokoh kharismatis NU, Uu Ruzhanul Ulum, tak bisa dimaknai secara biasa saja.

Reshuffle kabinet Jilid Tiga yang beberapa hari lalu terjadi di pemerintahan Jokowi, hampir dipastikan lebih mempertimbangkan aspek soal komposisi yang dapat berdampak terhadap elektoral sekaligus non-elektoral dirinya menghadapi Pilpres mendatang. Atraksi politiknya seperti fenomena “sedekah”: memberi banyak ruang, memberikan apa yang dia miliki—termasuk akses kekuasaan politiknya—dengan mengharap “pahala” dukungan dari beberapa pihak agar memperoleh dukungan pada ajang Pilpres mendatang.

Jika dalam tradisi Jawa ada “sedekah laut” yang mengharap agar laut lebih banyak menghasilkan sumber dayanya, maka, Jokowi seperti menjalankan praktik “sedekah politik”, mengharapkan nanti di perhelatan kontestasi, menuai dukungan berlimpah kepadanya.

Inilah tahun politik yang penuh dinamika dan intrik!

***

Editor: Pepih Nugraha