Sejumlah mantan petinggi TNI dan Polri kini berada di lingkungan Istana atau Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Reshuffle kabinet yang berlangsung Rabu, 17 Januari 2018, memunculkan dua nama baru dari lingkungan militer, yakni Jenderal (Purn) Moeldoko. Satu lagi adalah, Jenderal (Purn) Agum Gumelar.
Moeldoko yang adalah mantan Panglima TNI 2013-2015 ini diberi tugas sebagai Kepala Staf Presiden menggantikan Teten Masduki. Moeldoko baru beberapa bulan ini terjun ke dunia politik praktis dan memimpin organisasi Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI).
Sementara Agum Gumelar diberi posisi sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), menggantikan Hasyim Muzadi yang meninggal dunia. Agum pernah beberapa kali menjadi menteri di era Presiden Megawati, serta pernah pula mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden dan berpasangan dengan Hamzah Haz pada Pemilu Presiden 2009.
Kehadiran dua purnawirawan jenderal ini melengkapi sejumlah purnawirwan jenderal yang telah lebih dahulu bergabung dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Mereka adalah, Sidarto Danusubroto, Jenderal purnawirawan polisi yang diberi posisi sebagai anggota Dewan pertimbangan Presiden (Wantimpres). Jabatan yang sama juga diberikan kepada Jenderal Try Sutrisno (mantan Wakil Presiden), serta Jenderal (Purn) Subagyo HS.
Sementara sejumlah purnawirawan militer lainnya seperti Jenderal (Purn) Luhut B Panjaitan menduduki posisi Menteri Koordinator Bidang Kemartiman, Jenderal (Purn) Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, sementara Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu mendapat posisi sebagai Menteri Pertahanan. Berdasarkan peraturan jabatan anggota Wantimpres ini setara dengan jabatan menteri.
Jabatan-jabatan yang diberikan kepada sejumlah purnawirawan militer dan polisi ini, merupakan jabatan-jabatan strategis dan memiliki peran penting dalam pemerintahan Joko Widodo. Sejumlah pertanyaan pun dimunculkan, ada apa dengan militer sehingga Presiden menjalin hubungan yang mesra dengan para purnawirawan ini?
Hampir bisa dipastikan, reshuffle keempat dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini bukan dimaksudkan untuk mempertegas pelaksanaan target dan tujuan utama pemerintahan Joko Widodo. Reshuffle yang diyakini juga sebagai reshuffle terakhir dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini sangat bernuansa politis.
Kehadiran Idrus Marham sebagai Menteri Sosial diyakini sebagai sebuah keputusan politik untuk Pemilu Presiden 2019. Begitu juga dengan “pemberian izin dan restu” kepada Khofifah Indar Parawangsa yang lebih memilih bertarung dalam Pilkada Jawa Timur untuk merebut kursi Gubernur Jawa Timur. Yang lebih politis adalah pemberian jabatan kepada Jenderal (Purn) Moeldoko itu.
Jabatan Kepala Staf Presiden merupakan jabatan yang sangat strategis yang sebelumnya dijabat oleh Jenderal (Purn) Luhut B Panjaitan.
Pada suatu kesempatan bertemu dengan Teten Masduki, beberapa saat setelah dilantik sebagai Kepala Staf Presiden, mantan aktivis ini mengungkapkan, tugas Kepala Staf adalah memberikan informasi strategis kepada presiden, membantu Presiden merancang komunikasi politik antarlembaga dan publik, dan Kepala Staf Presiden juga mengatur arus lalu lintas sejumlah tokoh masyarakat yang ingin bertemu presiden serta mengatur agenda-agenda penting Presiden.
[irp posts="5241" name="Nampak Adanya Komunikasi Yang Mampat antara Jokowi dan Gatot"]
Sejumlah survei melansir bahwa masyarakat sangat menginginkan hadirnya tokoh militer dalam struktur kepemimpinan mendatang. Keinginan dan kerinduan ini bisa jadi lantaran kehampaan dan kebosanan masyarakat menyusul situasi dan kondisi keamanan yang tidak menentu sejak hasil pemilu Presiden 2014 diumumkan.
Dalam berbagai survei, sejumlah nama dan tokoh militer masih menjadi pilihan utama. Ini berbeda dengan suasana Pemilu Presiden 2014 yang menginginkan supremasi sipil tampil sebagai pemimpin nasional.
Di Pemilu Presiden 2019 mendatang, sejumlah nama purnawirawan militer selain nama Prabowo mulai bermunculan. Sebut saja nama mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Mayor (purn) Agus Harimurti, putra Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, serta serta Letjen (Purn) Edy Rahmayadi, mantan Pangkostrad dan kini bertarung dalam Pilkada Gubernur Sumut yang didukung sejumlah partai seperti Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan Nasdem juga .
Nama-nama mantan purnawirawan militer itu (termasuk Agus Harimurti), memiliki popularitas dan elektabilitas yang cukup memadai. Padahal kemunculan mereka di dunia politik praktis masih seumur jagung. Terutama nama Jenderal Gatot Nurmantyo, popularitas dan elektabilitas Gatot melebihi nama-nama sejumlah politisi sipil yang sebelumnya sudah muncul.
Popularitas Gatot cukup signifikan untuk di drive, baik sebagai calon Presiden maupun sebagai calon Wakil Presiden. Demikian juga nama Agus Harimurti, putra mantan Presiden SBY ini lebih memilih dunia politik ketimbang karier di militer.
Kehadiran mantan purnawirawan militeri di luar pemerintahan Joko Widodo ini menjadi perhatian yang sangat serius bagi tim Joko Widodo yang sudah berancang-ancang untuk tampil kembali dalam perhelatan pemilu presiden 2019.
Bisa jadi, kehadiran para mantan purnawirawan ini di “dua kubu” akan bersatu dengan berbagai konsekwensinya. Namun bisa jadi pula kehadiran mereka dalam kancah politik ini untuk saling berebut pengaruh, apalagi, dalam sejarah kemiliteran di era now ini, senioritas tidak lagi menjadi penting.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews