Sulit Dipercaya Kalau Prabowo Subianto Lagi Bokek

Senin, 15 Januari 2018 | 06:40 WIB
0
645
Sulit Dipercaya Kalau Prabowo Subianto Lagi Bokek

Jagad perpolitikan hari-hari ini mulai ramai dan panas karena adanya konferensi pers La Nyalla Mattalitti tentang keharusan dirinya membayar "uang mahar” kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Ia pun curhat karena merasa diperas.

Bahkan ada tambahan informasi yang menarik dari calon pilgub Jabar yaitu Deddy Mizwar, bahwa Prabowo berkali-kali bilang kepada dirinya (Demiz) tak punya uang alias bokek, sebagaimana diberitakan RMol.co. Berbeda dengan La Nyalla, Deddy Mizwar mengaku tak pernah dimintai mahar oleh Prabowo saat mengikuti penjaringan cagub dari Partai Gerindra.

Prabowo memang sempat menyinggung soal uang. ”Pak Prabowo bilang sudah nggak punya uang, tapi nggak berani minta,” kata Deddy Mizwar. Dan ia tak mengeluarkan uang sepersenpun dalam proses penjaringan tersebut.

Dari keterangan Deddy Mizwar ini kita akan tahu bagaimana kondisi keuangan Prabowo yang ingin maju dalam Pilpres 2019. Tayangan iklan juga belum ada, tidak seperti waktu 2014 di mana iklan tentang dirinya sebagai bakal calon pemimpin negeri ini sudah bersliweran jauh sebelum sebelum Pilpres 2014 berlangsung.

Pernyataan La Nyalla ini menggegerkan jagad politik dan membikin kalang kabut kader-kader Gerindra. Tentu saja akan ada pasukan khusus untuk membantahnya dan bilang bahwa itu cuma "Fitnah” belaka. Wajarlah membantah, sebab pernyataan La Nyalla ini kalau dibiarkan bisa merusak nama baik Prabowo atau Partai Gerindra.

Bahkan kepercayaan atau guru agama Prabowo yaitu Ustadz Sambo (Garda 212) juga mengadakan konpres untuk membantah apa yang dikatakan La Nyalla itu. Diakui oleh yang bersangkutan bahwa syarat didukung Partai Gerindra adalah uang, elektabiltas dan kontrak politik.

La Nyalla bukan orang sembarangan karena ia juga mantan ketua PSSI dan punya banyak jaringan, mungkin kalau yang ngomong orang daerah lainnya ga bakal ngaruh.

Bahkan ada berita yang terbaru yaitu Siswandi, calon walikota Cirebon gagal maju karena tidak mendapatkan rekomendasi dari PKS. Lagi-lagi karena dimintai “mahar” untuk bisa maju sebagai calon Walikota Cirebon. Ini juga terjadi di menit-menit akhir pendaftaran. Sekarang masuk wilayah hukum karena yang bersangkutan ingin melaporkan kasus ini.

Memang benar tidak semua calon yang ingin maju dalam pilkada dimintai mahar oleh partai pengusungnya. Dalam hal ini Gerindra memberikan contoh seperti Ridwan Kamil (sampai memberikan testimoni dalam cuitan), Ahok, Jokowi (waktu pilgub DKI), dan Sudirman Said di Jawa Tengah.

Apa yang dikatakan La Nyalla adalah benar 100% dan apa yang disampaikan pihak Gerindra terhadap beberapa nama yang maju pilkada tidak pakai mahar pun benar 100% kok.

Lha terus pijimane....??

Banyak partai politik yang menerapkan sistem “Dipilah dan Dipilih”, maksudnya yaitu tidak semua calon yang ingin maju Pilkada dimintai “mahar” untuk mendapatkan rekomendasi partai. Tetapi lebih banyak yang dimintai “mahar politik”.

Partai-partai tidak memungut atau meminta mahar politik untuk tokoh-tokoh tertentu apakah dari daerah atau nasional yang mempunyai nilai jual atau elektabilitas tinggi dan bisa menaikkan citra partai pengusungnya. Syukur-syukur mau menjadi kader partai yang mengusungnya.

Contoh seperti Ridwan Kamil yang tidak dimintai mahar waktu nyalon Walikota dulu, bahkan tokoh Mahfud MD yang pernah ditawari untuk maju pilgub Jatim juga mengaku tidak dimintai mahar seandainya mau maju pilkada.

Yenny Wahid dan Mahfud MD adalah dua tokoh yang pernah ditawari untuk maju pilgub Jatim. Seandainya dua tokoh ini maju pilgub tidak akan dimintai mahar politik karena partai yang memintanya, bukan mereka yang ingin atau ngebet ingin maju pilkada. Dua tokoh ini punya nilai jual dan citra yang bisa mengangkat nama partai pengusungnya.

Inilah yang dinamakan “Dipilah”. Jadi memang benar ada calon yang maju pilkada tanpa “mahar” tapi itu jumlahnya sedikit hanya segelintir calon karena bernasib baik.

Nah,calon-calon kepala daerah untuk tingkat Walikota/Bupati yang berasal dari daerah hampir pasti dimintai mahar karena biasanya calon-calon dari daerah ini sangat ngebet ingin mendapatkan rekomendasi dari partai pengusung. Karena jarang ter-ekspose media masa atau berita, bahkan rela menunggu berhari-hari di Jakarta hanya untuk mendapatkan rekomendasi ini, padahal mereka berasal dari daerah.

Jumlah calon tingkat Kota/Bupati ada 300 lebih, bayangankan kalau tiap calon yang ingin dapat rekomendasi partai dimintai mahar 5 miliar!

Calon-calon dari daerah inilah yang sering kali diperas/dipalak oleh partai atau oknum-oknum partai karena ingin surat rekomendasi. Banyak partai menerapkan sistem seperti investasi bodong yaitu ada segelintir orang atau calon yang diuntungkan, tetapi lebih banyak yang dirugikan karena sasarannya “Dipilah dan Dipilih” itu.

Dan tidak mungkin calon-calon yang sudah mendapat rekomendasi partai akan mengaku kalau mereka membayar mahar, betul? Pasti mereka akan ngomong tanpa mahar.

Mahar-mahar ini 'kan untuk kas partai dan uang operasinal karena memang membutuhkan uang yang sangat besar untuk maju dalam pilkada. Gara-gara mahar nama partai dan sang tokoh namanya tercoreng dan semakin berat untuk menuju 2019.

Untuk sementara, "Sang Macan Asia" belum bisa mengaum?

***

Editor: Pepih Nugraha