Untuk Kampanye Calon Gubernur Harus Rogoh Kocek Rp100 Miliar

Jumat, 12 Januari 2018 | 05:33 WIB
0
480
Untuk Kampanye Calon Gubernur Harus Rogoh Kocek Rp100 Miliar

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, tak bisa dipungkiri bahwa ada politik uang dalam pesta demokrasi di Indonesia, termasuk dalam Pilkada 2018 ini. Konstestasi politik itu dinilai menjadi ajang bagi-bagi uang oleh pasangan calon kepala daerah agar masyarakat memilih mereka.

Untuk mencegah sikap tidak terpuji ini Polri bersama Komisi Pemberantasan Korupsi berencana membentuk satuan tugas (Satgas) untuk menangani money politics yang terjadi.

"Saya sudah koordinasi dengan Ketua KPK Minggu lalu bahwa kita juga akan mengawasi money politics karena ini berdampak negatif pada proses demokrasi kita," ujar Tito sebagaimana diberitakan Kompas.com di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Jumat 29 Desember 2017.

Tito menilai, proses demokrasi memang membutuhkan dana yang besar. Ia memperkirakan untuk kampanye saja, seorang calon bupati misalnya, harus menyiapkan setidaknya Rp 30-40 miliar, atau untuk calan Gubenur Rp 100 miliar.

"Begitu sudah terpilih jadi kepala daerah, gaji seorang bupati paling top dengan segala tunjangan Rp300 juta. Dikali 12 bulan, Rp3,6 miliar. Dalam lima tahun yang keluar berapa? Apa mau tekor?" kata Tito.

Tito menambahkan, ketika kampanye selesai, maka modal tersebut harus kembali dan yang sering terjadi adalah dilakukan dengan cara-cara kotor dengan mengambil komisi dari proyek misalnya, atau perijinan, dan lain sebagainya yang mengakibatkan kepala daerah terpakasa untuk melakukan korupsi. "Itu terjadi, orang tidak melihat program kampanye tapi dilihat yang datang ada duit enggak," kata Tito.

[irp posts="7900" name="Abraham Samad Ajak Kandidat Peserta Pilkada Luncurkan Program Ini"]

Diketahui, Satgas yang melibatkan pihak Polri dan KPK tersebut rencananya akan bergerak pada Januari 2018 dengan membagi porsi dalam penanganan perkaranya. "Polri-KPK punya kemampuan yang kira-kira nanti menyangkut figur-figur yang bisa ditangani KPK, mereka tangani. Yang tidak bisa sama KPK, serahkan ke Polri," kata Tito.

"Kita lihat nanti wilayah mana yang rawan money politic sehingga kecenderungan money politic ini membuat masyarakat takut disuap," lanjut dia.

19 calon tunggal

Pemilihan Kepala Daerah serentak 2018 yang akan terselenggara di 17 Provinsi dengan kepesertaan 171 daerah mendapatkan berbagai sambutan dari semua kalangan, baik dari pengusaha, politikus, hingga rakyat kecil. Salah satu sambutan tersebut datang dari Koodinator Divisi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz.

Ia memberikan prediksi yang cukup mengejutkan terkait Pilkada serentak. Sebab, persoalan Pilkada tahun sebelumnya disebut-sebut terulang pada 2018.

Adapun yang menjadi sorotan ICW adalah, pertama adanya sejumlah masalah dalam Pilkada serentak tahun ini, mulai dari adanya mahar politik, kampanye berbiaya tinggi, hingga politik uang.

"Demokrasi memang pasang surut, tapi persoalannya konstan. Ada potensi pengulangan masalah yang terjadi sebelumnya," kata Fariz seperti dikutip Kompas.com di sekretariat ICW, Jakarta, Kamis 11 Januari 2018.

[caption id="attachment_8003" align="alignleft" width="449"] Donal Fariz (Foto: jawapos.com)[/caption]

Fariz mengatakan, adapun masalah lainnya yang terjadinya adalah transaksi jual beli pencalonan antara partai politik. Dalam kajiannya, Fariz mengungkapkan partai manapun tidak mungkin pula mengakui adanya praktik tersebut. Namun, kata dia, untuk mendapatkan pinangan dari salah satu partai, bakal calon kepala daerah harus menyiapkan dana hingga Rp 20 miliar, yang diambil dari subsidi negara yang diberikan kepada masing-masing kandidat.

"Dengan subsidi negara pada kandidat, terjadi pergeseran. Partai merasa bisa menarik uang besar karena toh sudah disubsidi negara," kata Donal.

Selain itu, tambah Donal, masalah yang kedua adalah munculnya nama-nama kandidat yang bermasalah baik secara hukum atau yang pernah tersangkut hukum, yang kemudian menjadi bagian dari dinasti politik.

Adapun yang ketiga, kata dia, besarnya jumlah calon tunggal pada Pilkada serentak 2018 dibandingkan pada Pilkada serentak pada tahun 2015 dan 2017. Saat ini, ada 19 daerah yang memiliki calon tunggal.

[irp posts="7933" name="Pilkada Tiga Provinsi di Pulau Jawa: Pragmatis, Intrik, dan Drama"]

Selain itu, ada pula potensi kampanye dengan biaya tinggi. Hal itu diakibatkan naiknya batasan sumbangan dana kampanye. Meskipun ada larangan pemberian uang kepada pemilih, namun setiap calon diperbolehkan untuk memberikan sesuatu kepada pemilih dengan harga maksimal Rp25.000.

"Jual beli izin usaha, jual beli jabatan, suap proyek, dan politisasi program pemerintah untuk kampanye," kata Donal.

Dia juga memprediksikan, politisasi birokrasi dan pejabat negara, baik dari birokrat, guru, hingga aparat TNI dan Polri juga akan muncul dalam Pilkada 2018, disamping politik uang, manipulasi laporan dana kampanye, suap kepada penyelenggara pemilu, dan korupsi untuk mengumpulkan modal.

"Contohnya, praktik korupsi incumbent cari sumber pendanaan dari kewenangan yang mereka miliki. Demokrasi yang berkembang secara prosedural belum dikuatkan dengan demokrasi substansial," kata Donal.

***