Istri Pertamanya

Jumat, 12 Januari 2018 | 21:33 WIB
0
966
Istri Pertamanya

"Maukah kamu menikah denganku?" Boris berbisik, napasnya terasa hangat di telingaku.

"Semua naik!"

Meski aku telah menyiapkan jawaban, tapi kami harus bergegas naik kereta. Maka aku menelan kata-kataku.

Aku mengikuti Boris melintasi dua gerbong kereta sampai menemukan tempat duduk kami. Dia mengangkat bagasi kami ke kabin atas saat aku bergeser ke kursi di sebelah jendela.

Ini perjalanan pertama kami bersama dengan kereta api, dan kedua kalinya dia melamarku. Yang pertama saat umur kami masih lima tahun. Junaid, teman akrab Boris menjadi pendeta yang menikahkan kami di hari terakhir sekolah, di bawah perosotan taman kanak-kanak.

Kereta mulai bergerak dan Boris duduk di sisiku.

"Aku minta maaf, melamarmu seperti itu. Aku tak dapat menahannya lagi, Sonya."

Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Sonya, tanganmu dingin," katanya. Dia melepaskan syal yang melingkar di lehernya untuk membungkus tanganku yang gemetar.

Apakah aku kedinginan? Tidak. Aku takut. Apakah mereka akan menyukaiku?

Kondektur meminta tiket kami. Boris mengobrol dengannya seolah mereka sahabat lama.

Aku menatap ke luar jendela. Pohon-pohon waru berlari semakin kencang bersamaan dengan bertambahnya laju kereta. Ketakutan semakin mencengkeram dadaku. Ingin aku berteriak agar kereta berhenti. Terlalu banyak yang menunggu kami di ujung sana.

Aku belum siap.

Namun, aku harus siap. Sepanjang hidupku, yang kuinginkan hanyalah Boris. Bahkan, ketika di SMA saat dia sama sekali tidak melirikku karena dadaku yang rata dan wajahku yang biasa.

Gagah dan tampan, dia adalah pemuda yang didambakan setiap gadis di sekolah. Malam perayaan kelulusan yang mengubah segalanya bagi kami.

Teman kencanku, seorang anak pendiam yang kusangka bisa kupercaya, mulai meraba-raba tubuhku di lorong gelap di di belakang aula sekolah. Belum pernah ada pemuda yang menyentuhku, dan belum pernah ada yang mengabaikan kata ‘tidak’ dariku. Namun, yang satu ini memang degil.

Aku terlalu takut untuk berteriak. Terlalu malu jika untuk memulai masalah. Apakah aku masih terlalu muda sehingga diperkosa lebih baik daripada malu di depan publik?

Boris menyelamatkanku malam itu.

Dia melihatku meninggalkan aula, dan karena curiga dia mengikuti kami. Anak laki-laki itu ditariknya lepas dariku dan ditinjunya sampai akhirnya aku memohon agar dia berhenti.

"Sayang, kau membuatku gugup. Bukan pertanda baik saat gadis yang kamu cintai memalingkan wajahnya darimu."

Aku menoleh.

Kondektur telah pindah ke penumpang lain dan Boris duduk kaku di kursinya. Seulas senyum tersungging di sudut bibirnya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Kelihatannya sesuatu yang rumit" lanjutnya.

Aku membalasnya dengan senyuman kecil.

"Malam itu."

Jawabanku pasti meyakinkannya karena bahunya mengendur dan dia mulai membuka resleting jaketnya.

"Sudah lama sekali, Sayang."

Boris berdiri dan melepaskan jaket kulitnya. "Apa yang terjadi dengan kita?"

"Aku tak tahu. Lamaranmu ... seperti baru kemarin saat kita masih SMA."

Malam itu menjadi awal baru kami. Kami menjadi teman lagi. Lebih dari sekadar teman.

Malam sebelum kami berpisah, sementara orang tuanya pergi menonton film di bisokop, kami saling memberi. Yang pertama bagiku.

Tradisi keluarga mengantarku ke selatan Australia. Boris sendiri beruntung lolos di perguruan tinggi negeri di kota yang sama dengan tempat kami dibesarkan, - kota yang sama dengan tujuan kereta kami meluncur sekarang. Saat itu, kondisi ekonomi keluarganya tak memungkinkannya memilih universitas yang jauh.

"Seandainya saja aku tidak pernah kuliah," bisikku.

Setiap minggu tahun pertama, kami berbalas surat-surat panjang berlembar-lembar dan menelepon pada Sabtu malam. Semuanya berubah ketika tahun berikutnya tubuhku akhirnya menyesuaikan diri dengan usia.

Aku belum pernah menarik sebelumnya. Hanya Boris yang mengatakan aku cantik.

Ketika seorang mahasiswa yang lebih tua dariku mengajak berkencan, aku mengiyakan.

"Sonya, ayolah, Sayang. Kita telah melewati masa-masa itu."

Aku menghapus butir air mata dari pipiku. Dia menatapku.

"Aku telah memaafkanmu sejak dulu, kamu tahu itu."

Dia menyentuh dahinya ke wajahku.

"Aku sangat menyesal."

"Dan aku menyesali apa yang telah kulakukan."

Kali ini, Boris yang menghela napas panjang. Dia bersandar di kursinya, dan untuk pertama kalinya sejak kami bertemu lagi, tahun-tahun itu tampak tergurat di wajahnya.

"Seharusnya aku memaafkanmu saat itu juga. Seharusnya aku tidak tidur dengan Saskia."

"Tapi sudah terlambat."

Aku ikut bersandar, dan menyadari bahwa tanganku tak lagi gemetar. Aku melepaskan syal dan mengembalikan pada pemiliknya.

"Aku ingin membalasmu," dia menggigit bibirnya, menggelengkan kepala,"tapi aku justru lebih menyakitimu dari yang seharusnya. Saskia hamil. Apa yang bisa kulakukan?"

Apa yang bisa dia lakukan?

Aku mengulurkan tangan dan menarik wajahnya kembali ke wajahku.

"Kamu bisa melakukan apa yang harus kamu lakukan. Kamu bisa menikahi ibu anakmu, kamu bisa menghabiskan hidupmu menjadi suami yang setia, ayah yang baik, dan," aku mengacak-acak rambut putih tebal di kepalanya, "seorang kakek yang hebat."

"Begitu banyak waktu terbuang."

"Bukan hilang. Kamu memiliki rumah tangga yang luar biasa dengan Saskia. Memang bukan giliran kita."

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Boris, apakah menurutmu, anak-anakmu akan menyukaiku?"

"Sonya, mereka pasti akan mencintaimu."

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan mencium pipinya. Bibirnya terbuka. Tubuhku bergetar hangat seperti 47 tahun silam.

"Tanyakan lagi."

Tangannya gemetar saat membelai pipiku.

"Maukah kamu menikah denganku?"

"Tentu!"

***

Bandung, 12 Januari 2018