Dari Pentas Dondang Azab di Sawah Besar

Jumat, 12 Januari 2018 | 09:55 WIB
0
500
Dari Pentas Dondang Azab di Sawah Besar

Kami adalah Anak Talang. Suku Tua yang terbuang. Suku yang paling berhak atas kepemilikan hutan dan lahan di Indragiri, Riau. Karena tanah adalah pemberian Sultan. Bagi kami, Raja adil raja disembah. Raja zalim raja disanggah. Kami bersultan ke Reteh dan beraja ke Rengat. Kami memelihara hutan ratusan tahun, buah dari "pengabdian" kami yg tak henti kepada raja.

Tanah dan hutan kami sejauh mata memandang. Adat kami tak lekang di panas, tak lapuk di hujan.

Dari arus Talang Baligan, Talang Pejangki, Talang Aurcina, Talang Cenaku, Talang Gedabu, Talang Manggayahan, Talang Pantiani, Talang Alim, Talang Sipang, sampai ke Talang Anak. Begitu juga saudara kami, Suku Sakai di sepanjang Mandau dan Kampar. Juga "anakperut" kami Suku Kubu  dan Anak Dalam di Batanghari, Jambi.

Tapi kini, semua musnah dan kami menjadi lelah. Lahan dan hutan kami, hanya tinggal di bibir untuk didendang dan diratap. Kalaupun masih tersisa, hanya remahnya saja. Kerakusan, keserakahan, ketamakan, ketidakadilan, kesewenangan dan kekuasaan,  menjajah serta menjalar hingga ke perut dan darah kami.

Kami tinggal Suku Tua  tak bermarwah. Menunggu ajal dan mati. Hutan kami porak-poranda. Kami terkurung azab kebodohan. Kami   larut dalam pengkhianatan. Kami meratap memuai nasib. Kami ibarat bait seloko; azab yang sebenarnya adalah pengkhianatan/ pengkhianatan yang sebenarnya adalah kehilangan/ azab yang sesungguhnya adalah janji/ janji yang sesungguhnya adalah petaka.

Kami masuk dalam kepungan rimba api. Nak lari Bapak mati. Nak tinggal Mak mati. Nak menuntut, yang kami dapat adalah janji. Yang kami nikmati adalah kehilangan. Yang tinggal pada  kami adalah dondang, adalah sayang; Dondang Azab. Kami terpuruk dalam kebodohan dan sengketa karut.

Talang Mamak hari ini,  terbelenggu azab sosial yang  tak pernah usai. Zaman yang terus berubah dan waktu terus bergerak, membuat kami lelah. Membuat kami marah.

Azab membunuh janji janji. Ratap membenam kata kata. Apalah lagi, apa nak dondang. Sayang hati dah pergi. Menunggu perih. Menunggu pedih. Tinggalah dondang tinggalah sayang, Kami mati di dalam kandang.

Cerita miris tentang nasib Suku Anak Dalam Talang Mamak, di hutan Puaka Indragiri Hulu, Riau ini, dituangkan dalam naskah drama dan teater oleh Syahfitra Harahap. Naskah ini, kemudian dipentaskan di Sawah Besar, Selangor Malaysia akhir Agustus 2017. Pentas teater dengan judul, Dondang Azab, disutradarai oleh Qori Islami, salah seorang sutradara wanita yang dimiliki Riau.

Pentas teater ini banyak mendapat sambutan dari para peminat seni dan budaya di Malaysia, termasuk para wartawan yang memberikan pujian bahkan kritikan positif melalui media masing masing.

Dondang Azab yang dilakonkan oleh lima pemain; Hardi sebagai Wahab Muda, Amnessa sebagai Wahab Tua, Intan sebagai Iblis, Syahfitra sebagai Burkan, dan Hanif Muis sebagai Patih, benar benar memukau para penonton dan pengamat teater negeri jiran. "Naskah yang kuat dan pemain yang prima," puji Tokoh Teater Malaysia, Shamsuddin Osman. Dia juga menyanjung aransemen pemusik Hengky Cs yang begitu lembut dan kadang menyentak dalam beberapa adegan.

Dondang Azab, dimulai dengan sikap Wahab yang resah dan gelisah. Dalam kondisi inilah datang syetan wanita yang diperankan Intan, menggoda agar Wahab menjual lahan dan kebun mereka, serta membunuh istrinya yang sedang sekarat sakit. Wahab pun tergoda. Hutan yang sudah diwariskan leluhurnya sejak ribuan tahun, dia  dijual kepada para pengusaha perkebunan. Tentu saja sikap Wahab mendapat tantangan keras dari adiknya, Burkan. Merekapun bertengkar hebat sampai terlibat perkelahian dengan menggunakan senjata tajam.

Untung saja, saat kakak beradik itu bersabung nyawa, datanglah Patih, tetua adat melerai dan memberikan hukuman kepada keduanya. Wahab diberi hukuman adat merawat dan menjaga istrinya sampai sembuh, sedang Burkan tidak boleh keluar dari "Wilayah Petalangan."

Namun Wahab yang sudah dirasuki Iblis, bukan malah menjaga istrinya yang sedang sakit. Sebaliknya, dia justru mencekik leher istrinya sampai mati. Mengetahui hal ini, Patih menjadi murka dan serta merta mengucapkan "Sumpah Talang" kepada Wahab; Ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, di tengah tengah digirik kumbang. Wahab pun aterbuang dari negerinya.

Didera kondisi demikian, Wahab menjadi stres dan kehilangan akal sehat. Hidupnya menjadi tak menentu hingga masa tuanya. Istri meninggal, hutan terjual, saudara menjauh dan diapun terusir dari kampung halaman. Akhirnya, Wahab tua yang diperankan oleh Amnessa, bunuh diri dengan menjerat lehernya sendiri.

Tragis memang. Tapi itulah potret sebagian masyarakat terasing Talang Mamak yang masih mendiami beberapa hutan alam di Indragirihulu Riau. Nasib mereka semakin hari semakin memprihatinkan, sementara pemerintah daerah juga belum sepenuh hati memberikan perhatian.

Dondang Azab Tinggallah Sayang, adalah puisi panjang  saya yang kemudian digubah oleh Syahfitra Harahap menjadi naskah lakon panggung dengan judul; Dondang Azab. Karena itulah,  saya memberikan apresiasi yang luar biasa kepada Syahfitra, Qory Islami dan pemusik dari Panggung Toktan Pekanbaru, yang mementaskan naskah ini di berbagai tempat, dalam dan luar negeri.

Saya juga berterimakasih kepada Abang saya, Penyair A Aris Abeba, yang mengusung Dondang Azab ke beberapa negara (naskah digubah dalam bahasa Inggris), serta Ayahanda Yassin Salleh BT, Ketua Ziarah Karyawan (ZK) Malaysia yang memberikan panggung kepada Dondang Azab. Naskah Dondang Azab selain di Selangor, pernah pula dibawa ke Basel, Zurich, Swiss serta Kota Vadus, Lienstentein, negara kecil di kaki pegunungan Alpen.

Meskipun pada panggung Sawah Besar Selangor, Dondang Azab tampil bersamaan dengan Pementasan Teater Paksi Rakyat dan ZK Malaysia yang juga sangat diminati, tapi Dondang Azab, tetap mendapat tempat tersendiri. Ini dibuktikan dengan berita berita di Harian dan Media Online Malaysia, sehari setelah pementasan.

Pada penampilan itu, tuan rumah mengusung naskah Uda dan Dara karya Seniman Negara Malaysia, Usman Awang (Alm). Uda dan Dara berkisah tentang  percintaan dua remaja yang ditentang oleh  orangtua, karena status sosial yang berbeda, disutradarai Shamsuddin Osman.

Menurut Dinsman, panggilan akrab Syamsuddin,  Uda dan Dara memiliki alur cerita yang kuat, seperti halnya Dondang Azab.  Menarik untuk ditonton dan dikritisi, terutama kisah nyata tentang Suku Talang Mamak yang perlu perhatian semua pihak. "Satu saat, saya akan ke Indragiri untuk melihat langsung nasib Suku Talang yang melegenda itu," ujarnya.

***

H. Dheni Kurnia adalah Penyair, Wartawan Senior dan Pecinta olahraga Karate dan Pencak Silat.