Agama: Antara Warisan dan Pencarian

Kamis, 4 Januari 2018 | 11:41 WIB
0
403
Agama: Antara Warisan dan Pencarian

Sebagai pencarian, agama adalah proses yang tak pernah selesai. Orang terus menemukan dimensi baru dari agama yang dipeluknya. Beragam tantangan baru pun terus datang. Namun, ketika waktunya tiba, dan kita harus mewariskan agama kita ke anak cucu kita, wariskanlah agama sebagai sebuah bentuk pencarian.

Dari beragam warisan yang diberikan orangtua kita, agama merupakan salah satunya. Jika anda lahir di Arab Saudi, maka kemungkinan besar, orangtua anda akan mewariskan Islam sebagai agama anda. Jika anda lahir di Jerman, maka anda akan mewarisi agama Kristen ataupun Katolik dari orang tua anda. Jika anda lahir di Thailand, Nepal atau Tibet, maka Buddha akan menjadi agama warisan anda.

Sebagai warisan, seperti sudah kita lihat sebelumnya, agama amat terkait dengan letak geografis kelahiran seseorang. Di negara-negara komunis ataupun sekuler, ada juga kemungkinan, anda tidak akan mewarisi agama apapun. Anda menerima ajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan universal dari orangtua anda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan d isini.

Sebagai warisan

Pertama, jika kita hanya melihat agama sebagai warisan, maka kita dengan mudah terjebak pada formalisme agama. Artinya, kita akan melihat agama semata sebagai seperangkat aturan dan ritual yang harus dipatuhi, tanpa pendalaman lebih jauh. Agama hanya menjadi sekedar larangan sekaligus upacara-upacara yang miskin makna. Ini tentu merupakan penyempitan dari agama itu sendiri.

Kedua, jika kita hanya memahami agama sebagai warisan, maka pemahaman beragama kita akan menjadi dangkal. Orang cenderung menerima warisan begitu saja, tanpa niat mengembangkannya. Kedangkalan akan melahirkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman akan melahirkan penderitaan.

Ketiga, jika terjebak pada kedangkalan, maka agama akan berubah menjadi agama massa. Artinya, agama berubah menjadi gaya hidup hasil ikut-ikutan semata. Tidak ada penghayatan pribadi di dalamnya. Agama hanya menjadi kulit dan topeng semata, supaya diterima masyarakat.

Keempat, ketika agama hanya sekedar menjadi warisan, maka ia akan mudah digunakan sebagai alat politik. Agama akan diumbar, guna memperoleh suara di dalam pemilihan umum, seperti pada Pilkada Jakarta 2017 lalu. Akibatnya, orang seolah kehilangan akal sehat, dan terjebak di dalam kebingungan. Agama juga bisa digunakan untuk menggiring warga menjadi konsumen, yakni sebagai alat ekonomi semata.

[irp posts="6875" name="Tuhan Menurunkan Agama untuk Manusia"]

Jika agama hanya dilihat sebagai warisan, maka ia akan membunuh akal sehat dan pemikiran kritis. Maka dari itu, kita harus melihat agama dengan cara baru, yakni agama sebagai pencarian. Sebagai pencari, orang harus meninggalkan apa yang usang, dan tak lagi cocok dengan perubahan jaman. Sebagai pencari, akal sehat dan hati nurani adalah penunjuk jalan utama.

Sebagai pencarian

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, agama harus bergerak dari warisan orang tua menjadi pencarian akan yang transenden. Yang transenden ini adalah sesuatu yang melampaui manusia, dan menjadi alasan dari keberadaan segala sesuatu. Ia memiliki beragam nama, mulai dari Dewa, Tuhan, Allah dan sebagainya.

Kedua, sebagai pencarian, agama lalu bergerak ke inti, dan meninggalkan formalitas. Segala bentuk aturan dan ritual menjadi sampingan. Pengalaman kesatuan dengan yang transenden lalu menjadi tujuan utama. Pengalaman inilah yang merupakan inti terdalam semua agama.

Ketiga, pengalaman akan yang transenden akan membawa kedamaian sejati di dalam hati. Kedamaian ini tidak berasal dari luar diri, seperti dari uang, harta, seks ataupun makanan, melainkan dari dalam. Kedamaian di dalam diri adalah kunci dari kedamaian di dunia. Inilah yang banyak dilupakan sekarang ini.

Keempat, sebagian hasil dari proses pencarian, agama tidak lagi hanya sekedar topeng ataupun kulit semata, guna diterima secara sosial, melainkan menjadi otentik. Agama otentik adalah agama yang asli, yang lahir dari penghayatan dan kedalaman diri. Pada titik ini, agama lalu berubah wujud menjadi spiritualitas. Ia tercermin nyata tidak hanya dalam cara berdoa, tetapi juga di dalam hubungan antar manusia.

Kelima, sebagai hasil dari pencarian, dan berkembang menjadi spiritualitas, maka agama pun tidak lagi gampang dipelintir untuk kepentingan politik dan ekonomi. Orang tidak gampang dihasut dan ditipu dengan menggunakan ajaran-ajaran agama tertentu. Akal sehat dan pemikiran kritis pun berkembang di dalam hidup beragama. Orang juga akan sadar, bahwa agama harus dilepaskan dari kepentingan politik praktis yang seringkali kotor.

Keenam, seorang pencari akan melepaskan apa yang tak pas, dan memeluk apa yang cocok dengannya. Maka dari itu, sebagai bagian dari pencarian, pindah agama adalah sebuah kemungkinan yang terbuka lebar. Tak semua warisan baik bagi pribadi tertentu. Adalah hak asasi setiap manusia untuk memeluk agama yang bisa memberikan kedamaian bagi dirinya, sekaligus mendorongnya untuk menyebarkan kedamaian itu di lingkungan sekitarnya.

Sebagai pencarian, agama adalah proses yang tak pernah selesai. Orang terus menemukan dimensi baru dari agama yang dipeluknya. Beragam tantangan baru pun terus datang. Namun, ketika waktunya tiba, dan kita harus mewariskan agama kita ke anak cucu kita, wariskanlah agama sebagai sebuah bentuk pencarian.

Sebagai pencarian, agama adalah proses yang tak pernah selesai. Orang terus menemukan dimensi baru dari agama yang dipeluknya. Beragam tantangan baru pun terus datang. Namun, ketika waktunya tiba, dan kita harus mewariskan agama kita ke anak cucu kita, wariskanlah agama sebagai sebuah bentuk pencarian.

***