Sewa rahim (Surrogate Mother) atau jika ditransliterasi Indonesia menjadi surogasi adalah proses penanaman ovum seorang wanita yang subur beserta sperma suaminya yang sah ke dalam rahim wanita lain dengan sebuah perjanjian.
Sewa rahim mencuat ke publik setelah presenter Jeremy Tety mengucapkan bahwa pengidap lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) tetap bisa memiliki keturunan lewat proses penyewaan rahim.
"Siapa yang bilang sejenis tidak bisa menghasilkan keturunan? Iya nggak? Kalau di luar bisa sewa rahim, maaf ya, mungkin di Indonesia belum bisa," katanya dalam acara Debat yang tayang di TV One pada 6 Juli 2015. Video itu ramai diperbincangkan di linimasa media sosial.
Berangkat dari definisi di atas maka sudah tentu pengidap LGBT, bagaimanapun caranya tak bisa memiliki anak dari pasangannya. Karena proses pembuahan terjadi ketika sperma bertemu dengan sel telur. Meskipun menyewa rahim, secara biologis anak tersebut akan mengandung genetika perempuan yang disewanya.
Wanita normal mana yang tega mengorbankan jiwa dan raganya untuk pasangan yang tak jelas stastusnya? Belum lagi si buah hati tak bisa dimilikinya? Jeremy, dan teman-teman pengidap LGBT perlu belajar lebih jauh soal anak dan pengasuhan. Melahirkan manusia bukan soal sperma, rahim, dan kebutuhan seksual lainnya.
Alih-alih solusi, surogasi jutsru tak manusiawi. Banyak masalah menyertai praktiknya; pelanggaran etika, eksploitasi perempuan,komersialisasi rahim yang rawan pelanggaran Hak Asasi Manusia, mafia sperma, kerentanan psikologis dan sosial seorang ibu dan bayi yang dilahirkan, hingga benturan ketentuan agama.
Di India praktik surogasi banyak menimbulkan pengalaman miris. Rahim wanita dikomersialisasi dan dieksploitasi. Penghasilan rendah mendorong wanita di sana rela melakukan apa aja, termasuk menyewakan rahimnya. Banyak wanita penyewa rahim mengalami gangguan psiklogis terkait bayi yang dikandungnya.
Anandi Chelappan, wanita penyewa rahim kerap menangis pada bulan pertama pasca-melahirkan bayi “titipan”. Ikatan emosional dengan bayinya tak mudah dilupakan. Ia pernah memohon kepada dokter untuk melihat bayinya, tetapi tidak diizinkan. Sungguh memilukan.
[irp posts="6664" name="LGBT: Angka-angka, Gerakan, dan Proyeksi ke Depan"]
Selama proses surogasi, Anandhi tinggal di sebuah asrama. Keluarganya hanya diizinkan berkunjung sebulan sekali. "Salah seorang anakku berusia empat tahun kala itu. Dia bertanya apakah aku akan punya bayi. Yang kukatakan adalah bahwa aku sedang sakit, itulah mengapa perutku membengkak dan harus dirawat di rumah sakit," jelasnya dikutip liputan6.com.
Sumathi, penyewa rahim lainnya mengaku kesulitan untuk tidur selama tiga bulan pasca-melahirkan. Ingatannya terus melayang-layang ke bayi itu bahkan tak jarang ia harus mengonsumsi obat-obatan untuk menenangkan diri.
Setiap 4 November, Sumathi dan keluarganya merayakan ulang tahun sang bayi. Dia berharap bayi yang pernah dititipkan di rahimnya baik-baik saja. Ia tak pernah bertemu orangtua bayi dan tak tahu siapa mereka. "Aku bahkan tidak tahu bayi yang kulahirkan perempuan atau laki-laki!," jelas Sumathi.
Tribbunnews.com mengutip Families Through Surrogacy, organisasi surogasi nirlaba internasional, memperkirakan biaya rata-rata di berbagai negara: Amerika $100.000 (sekitar 1,4 miliar rupiah), India $47.350 (sekitar 676,4 juta rupiah), Thailand $ 52.000 (sekitar 742,8 juta rupiah), Ukraina $ 49.950 (sekitar 713,5 juta rupiah). Georgia $ 49.950 (sekitar 713,5 juta rupiah). Di Meksiko $ 45.000 (sekitar 642,8 juta rupiah). Keuntungan besar menjadikan sewa rahim bisnis segar
Indonesia sudah tepat melarang sewa rahim lewat UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan. Thailand yang terkenal sebagai pusat prostitusi dunia, LGBT pun marak di sana menetapkan sewa rahim sebagai tindakan kriminal pada Agustus 2015.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews